Jelang Pengumuman Suku Bunga Acuan BI, IHSG di Zona Merah

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
19 December 2019 12:49
Bank Indonesia Diproyeksikan Tahan Suku Bunga Acuan
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Dari dalam negeri, pelaku pasar mencermati hasil dari gelaran Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) yang dimulai sejak kemarin. Hasil dari RDG tersebut akan diumumkan pada siang hari ini.

Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan 7-Day Reverse Repo Rate akan ditahan di level 5% oleh bank sentral. Dari sebanyak 11 ekonom yang berpartisipasi dalam pembentukan konsensus, seluruhnya memperkirakan BI akan mempertahankan tingkat suku bunga acuan.


Untuk diketahui, di sepanjang tahun ini BI telah memangkas 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps sebanyak empat kali. Jika ditotal, tingkat suku bunga acuan sudah dipangkas sebesar 100 bps pada tahun ini oleh BI.

Ekspektasi bahwa BI akan mempertahankan tingkat suku bunga acuan dan bukan kembali memangkasnya datang pasca The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan pada pekan lalu. Keputusan ini sesuai dengan estimasi dari para ekonom bahwa federal funds rate akan dipertahankan di rentang 1,5%-1,75%.

Di sepanjang tahun 2019, The Fed telah memangkas tingkat suku bunga acuan sebanyak tiga kali, masing-masing sebesar 25 bps, yakni pada bulan Juli, September, dan Oktober. Jika ditotal, federal funds rate sudah dipangkas sebesar 75 bps oleh Jerome Powell (Gubernur The Fed) dan koleganya di bank sentral.

Perang dagang AS-China, perlambatan ekonomi global, dan inflasi yang rendah menjadi faktor yang membuat The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps tersebut.

Dalam konferensi persnya pada pekan lalu, Gubernur The Fed Jerome Powell kembali mengindikasikan bahwa era pelonggaran tingkat suku bunga acuan sudah usai. Sikap dari Powell tersebut lantas mengonfirmasi stance dari bank sentral AS yang sudah tak lagi dovish.

Dalam pernyataan resminya pasca memangkas tingkat suku bunga acuan pada bulan Oktober atau kali terakhir The Fed mengeksekusi pelonggaran, The Fed menghilangkan suatu pernyataan yang sudah mereka gunakan sejak bulan Juni yakni pernyataan bahwa pihaknya berkomitmen untuk “bertindak sebagaimana diperlukan guna mempertahankan ekspansi (ekonomi)”.

The Fed kemudian mengganti pernyataan tersebut dengan pernyataan yang lebih defensif.

“Komite akan terus memonitor implikasi dari informasi-informasi di masa depan terhadap prospek perekonomian sembari melakukan penilaian terkait dengan besaran yang tepat mengenai rentang dari federal funds rate,” tulis The Fed dalam pernyataan resminya.

Dari dalam negeri, masalah klasik yang menjadi tantangan bagi BI jika ingin mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan datang dari permasalahan defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD).

Sebagai informasi, transaksi berjalan merupakan faktor penting dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil, berbeda dengan pos transaksi finansial (komponen Neraca Pembayaran Indonesia/NPI lainnya) yang pergerakannya begitu fluktuatif karena berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

Kala CAD begitu dalam, rupiah akan tertekan sehingga membatasi ruang bagi BI untuk memangkas tingkat suku bunga acuan. Sebaliknya, kala CAD membaik, rupiah akan cenderung menguat sehingga membuka ruang bagi bank sentral untuk mengeksekusi pelonggaran kebijakan moneter.


Pada kuartal I-2019, BI mencatat CAD berada di level 2,51% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih dalam ketimbang CAD pada kuartal I-2018 yang berada di level 1,94% dari PDB. Kemudian pada kuartal II-2019, CAD membengkak menjadi 2,93% dari PDB. Pada kuartal III-2019, CAD membaik menjadi 2,66% dari PDB. CAD pada kuartal III-2019 juga lebih baik dari yang sebelumnya 3,22% pada kuartal III-2018.

Kini, justru ada kekhawatiran bahwa CAD di kuartal IV-2019 akan membengkak.

Pada pekan ini, BPS merilis data perdagangan internasional periode November 2019. Sepanjang bulan lalu, BPS mencatat bahwa nilai ekspor mencapai US$ 14,01 miliar, turun 5,67% jika dibandingkan nilai pada November 2018. Sementara itu, nilai impor sepanjang November 2019 tercatat senilai US$ 15,34 miliar, turun 9,24% jika dibandingkan nilai pada November 2018.

Alhasil, neraca dagang Indonesia membukukan defisit senilai US$ 1,33 miliar sepanjang bulan lalu. Defisit tersebut jauh lebih dalam dibandingkan dengan konsensus yang memperkirakan defisit senilai US$ 132 juta. Defisit pada bulan lalu juga merupakan defisit terbesar kedua pada tahun 2019.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(ank/ank)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular