Penyumbang Dividen Itu-itu Saja, Wajar Erick 'Acak-acak' BUMN

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
17 December 2019 17:29
Penyumbang Dividen Itu-itu Saja, Wajar Erick 'Acak-acak' BUMN
Foto: Menteri BUMN Erick Thohir (CNBC Indonesia/Ratu Rina)
Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam beberapa waktu terakhir, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir begitu gencar 'mengacak-acak' alias melakukan bersih-bersih di tubuh BUMN.

Tak tanggung-tanggung, bersih-bersih BUMN a la menteri Erick berujung pada pencopotan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), Ari Askhara. Keputusan mengejutkan ini diambil Erick pasca investigasi terkait kasus penyelundupan Harley Davidson dan sepeda lipat Brompton selesai digelar.

Untuk diketahui, penyelundupan Harley Davidson dan sepeda lipat Brompton dilakukan oleh Ari menggunakan pesawat Airbus A330-900 Neo baru yang diterbangkan ke Indonesia.

Tak sampai di situ, anak hingga cucu usaha BUMN juga ikut terkena bersih-bersih a la Erick. Dalam beberapa waktu terakhir, Kementerian BUMN yang dikomandoi oleh Erick serius menyoroti soal anak usaha perusahaan pelat merah yang jumlahnya begitu banyak. Kementerian BUMN mengatakan evaluasi terhadap seluruh anak dan cucu usaha BUMN akan dilakukan kurang dari tiga bulan.

"Nggak lama, secepatnya. Moratorium kan akan cepat. Ini akan cepet lah, ga sampe tiga bulan. Pokoknya cepat lah," kata Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga di Jakarta, Jumat (13/12/2019).

Untuk diketahui, jika ditotal, saat ini ada 142 BUMN di Indonesia. Sementara itu, anak dan cucu BUMN jika ditotal jumlahnya mencapai 800.

Menteri Erick sendiri mengaku baru mengetahui bahwa ada seratus lebih anak hingga cucu perusahaan di tubuh PT Pertamina (Persero) selaku perusahaan pelat merah yang bergerak di bidang energi.

"Ternyata ada 142 perusahaan di Pertamina," ujar Erick.

Lebih lanjut, selain Pertamina yang ternyata punya 142 anak dan cucu perusahaan, PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) juga tercatat punya sekitar 60 anak dan cucu perusahaan.

"Banyak sekali KRAS punya sampe 60-an. Akan ditanya kepada perusahaan apakah akan digabungkan atau dimerger. Kalau memang tidak ada gunanya tutup aja," kata Arya.

Menteri Erick pun sudah mengambil keputusan resmi untuk mengatur ulang seluruh anak usaha dan perusahaan patungan milik perusahaan pelat merah.

Dalam Surat Kepmen BUMN No SK-315/MBU/12/2019 tentang Penataan Perusahaan atau Perusahaan Patungan di Lingkungan BUMN, disebutkan alasan penataan tersebut adalah untuk mengoptimalisasi keberadaan anak usaha dan perusahaan patungan agar fokus pada bisnis yang sama dengan induknya.
Maklum jika anak dan cucu perusahaan ingin dirombak habis oleh menteri Erick. Pasalnya, anak dan cucu perusahaan pelat merah tersebut ternyata banyak yang bisnisnya tak berkaitan dengan lini bisnis yang sedang digarap oleh sang induk.

Paling populer, ternyata BUMN gemar mendirikan hotel, Pertamina dan PT PANN (Persero) misalnya. Setelah ditelisik lebih jauh, terdapat ada 85 perusahaan BUMN yang memiliki bisnis hotel. Padahal, PT Hotel Indonesia Natour merupakan satu-satynya merupakan BUMN yang lini bisnis utamanya adalah pengoperasian hotel. Hotel-hotel yang dikelola perusahaan berada di bawah merek Inna Group Hotel.

Selain bisnis hotel, banyak BUMN yang punya bisnis logistik. Padahal, hanya ada satu BUMN yang lini bisnis utamanya adalah di bidang logistik, yaitu PT Pos Indonesia (Persero).

"Perkebunan ada, Pelindo, Garuda. Semua ada logistik. Ada 30-an punya logistik," kata Arya.

Tidak hanya hotel dan logistik, sejumlah BUMN juga punya bisnis rumah sakit. Padahal, hanya ada satu BUMN yang lini bisnis utamanya berada di bidang pengoperasian rumah sakit, yaitu Indonesia Healthcare Corporation yang diresmikan di era mantan Menteri BUMN Rini Soemarno.

"Ini punya itu. Saya lagi hitung berapa RS kita punya," ujar Arya.

Untuk diketahui, perusahaan-perusahaan pelat merah berperan krusial dalam menggenjot pembangunan di tanah air melalui setoran dividen yang mereka berikan setiap tahunnya.

Pada tahun 2018, melansir publikasi Laporan Keuangan pemerintah Pusat (LKPP), secara total pemerintah meraup penerimaan senilai Rp 45,06 triliun dari pembayaran dividen perusahaan-perusahaan pelat merah.

Namun, dividen senilai Rp 38,74 triliun atau setara dengan 85,97% dari total dividen yang diterima pemerintah ternyata hanya berasal dari 10 BUMN saja.



Dari total dividen yang diterima pemerintah pada tahun 2018 senilai Rp 45,06 triliun, tiga bank pelat merah yang masuk dalam kategori BUKU IV saja sudah menyumbang Rp 15,9 triliun atau setara dengan 35,3%.

Ini berarti, dari ratusan BUMN yang ada di Indonesia, hanya belasan saja yang benar-benar berkontribusi dalam membangun perekonomian melalui setoran dividen.

Wajar saja fenomena seperti ini bisa terjadi. Pasalnya, dari total laba BUMN senilai Rp 189 triliun, 15 BUMN jika ditotal kontribusinya sudah mencapai 73%. Hal ini diungkapkan sendiri oleh menteri Erick.

"Jadi dari Rp 189 triliun, 73% nilainya dikontribusi oleh 15 perusahaan. Karena itu, harus diefisiensikan supaya bangun ekosistem sehat dengan swasta," kata Erick di Balai Sarbini sabtu (14/12/2019).

Dominasi segelintir BUMN tersebut tentu menjadi masalah. Di satu sisi, terbukti bahwa dari ratusan BUMN yang ada, hanya segelintir yang mampu mengelola bisnisnya dengan baik. Di sisi lain, kalau situasinya seperti ini terus, praktis akan sulit untuk mengharapkan setoran dividen meningkat signifikan.

Untuk diketahui, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2020, pemerintah menargetkan total pendapatan negara senilai Rp 2.233,2 triliun, naik 9,97% dari outlook untuk tahun 2019 yang senilai Rp 2.030,8 triliun. Sementara itu, total belanja negara ditargetkan senilai Rp 2.540,4 triliun, naik 8,49% dari outlook untuk tahun 2019 yang senilai Rp 2.341,6 triliun.

Namun, target penerimaan dividen pada tahun depan hanya dipatok senilai Rp 45,5 triliun, relatif tidak berubah dari target untuk tahun 2019 yang senilai Rp 45,59 triliun. Terlihat jelas bahwa pemerintah sendiri tak berharap banyak dari setoran dividen BUMN dalam membiayai belanjanya.

Saat ini, segelintir BUMN yang memang berkontribusi nyata dalam pembangunan melalui setoran dividen bisa dibilang sudah mature dari sisi bisnis sehingga sulit mengharapkan pertumbuhan laba bersih yang signifikan. Hal ini juga diakui oleh menteri Erick.

"Karena memang ke-15 perusahaan ini lebih banyak fokus di bidang perbankan, telekomunikasi, komunikasi, dan oil and gas," papar Erick pada awal bulan Desember.

Bahkan, Erick yang merupakan mantan bos tim sepak bola papan atas Inter Milan menilai, dalam jangka panjang sektor-sektor tersebut tak akan bisa diandalkan. Dia memberi contoh dunia perbankan yang saat ini sudah mulai tergerus zaman.

"Di mana ketika bicara era disrupsi seperti ini, yang namanya industri perbankan sendiri 10 tahun ke depan juga kita tidak tahu gimana nasibnya, dengan (kehadiran) yang namanya e-payment dan lain-lain," tandasnya.

Untuk diketahui, saat ini bank-bank pelat merah yang masuk ke dalam kategori BUKU IV sedang dilanda kesulitan.

Pada sembilan bulan pertama tahun 2019, laba bersih dari PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) memang masih tumbuh jika dibandingkan dengan capaian periode yang sama tahun sebelumnya, yakni masing-masing sebesar 11,9%, 5,4%, dan 4,7%.

Namun, pertumbuhannya jauh menipis jika dibandingkan pertumbuhan pada periode sembilan bulan pertama tahun 2018. Pada sembilan bulan pertama tahun 2018, laba bersih Bank Mandiri melesat 20,1% secara tahunan, laba bersih BRI melejit 14,6%, dan laba bersih BNI melonjak 12,6%.



Menipisnya pertumbuhan laba bersih dari ketiga bank pelat merah tersebut salah satunya dipicu oleh perlambatan pertumbuhan di pos pendapatan bunga bersih/net interest income yang merupakan pos pendapatan utama mereka.

Pada sembilan bulan pertama tahun 2019, pendapatan bunga bersih dari BRI dan BNI tercatat tumbuh masing-masing sebesar 4,6%, dan 3,3% jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut jauh melambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan pada periode sembilan bulan pertama tahun 2018.

Pada sembilan bulan pertama tahun 2018, pendapatan bunga bersih dari BRI dan BNI tumbuh di level 6,6% dan 10,6%.

Tercatat, hanya Bank Mandiri yang mampu membukukan kenaikan pertumbuhan pendapatan bunga bersih pada sembilan bulan pertama tahun ini, yakni menjadi 8,9%, dari yang sebelumnya 3,9% pada sembilan bulan pertama tahun 2018. Namun tetap saja, lonjakan pertumbuhan pendapatan bunga bersih nyatanya tak mampu mengerek pertumbuhan laba bersih Bank Mandiri.



Tak heran jika pendapatan bunga bersih dari BRI dan BNI melorot. Pasalnya, marjin bunga bersih/net interest margin (NIM) dari keduanya begitu tertekan pada tahun ini. Sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2019, NIM BRI jatuh hingga 60 basis poin (bps) jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, sementara NIM dari BNI turun 40 bps.

Sebagai informasi, NIM merupakan selisih dari bunga yang didapatkan perbankan dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah, dibagi dengan total aset yang menghasilkan bunga. Semakin besar NIM, maka tingkat profitabilitas sebuah bank akan semakin besar.

Tak berlebihan jika NIM dikatakan sebagai 'nyawa' dari operasional sebuah bank. Dengan NIM yang lebih besar, sebuah bank bisa mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi kala menyalurkan kredit dalam besaran yang sama.



Sudah marjin menipis, perbankan juga kini dihadapkan dengan kondisi perekonomian yang lesu yang membuat penyaluran kredit tertekan. Per akhir kuartal III-2018, penyaluran kredit dari Bank Mandiri, BRI, dan BNI tercatat tumbuh masing-masing sebesar 13,8%, 16,5%, dan 15,6% jika dibandingkan dengan posisi per akhir kuartal III-2017. Per akhir kuartal III-2019, pertumbuhannya menyusut menjadi masing-masing sebesar 7,8%, 11,6%, dan 14,7% (dibandingkan posisi per akhir kuartal III-2018).



Tak sampai disitu, perbankan kini juga dihadapkan dengan permasalahan ketatnya likuiditas. Per akhir kuartal III-2019, Loan to Deposits Ratio (LDR) Bank Mandiri tercatat berada di level 94,13%, naik dari posisi per akhir kuartal III-2018 yang sebesar 93,53%. Sementara itu, LDR dari BRI naik menjadi 94,15%, dari sebelumnya 92,69%. Untuk BNI, LDR naik menjadi 96,6%, dari yang sebelumnya 89%.

Mengingat ketiga bank pelat merah tersebut berkontribusi hingga 35,3% dari total setoran dividen yang diterima pemerintah pada tahun 2018, wajar jika pemerintah menjadi konservatif dalam mematok target penerimaan dividen untuk tahun depan.

Kini, memang sudah waktunya menteri Erick melakukan bersih-bersih secara cepat dan masif di tubuh perusahaan-perusahaan pelat merah.

Kalau kondisi yang ada saat ini dibiarkan terus berlarut-larut, yang ada pendapatan negara akan terus seret dan mau tak mau, utang menjadi jawabannya.

Tak hanya bersih-bersih terkait anak dan cucu usaha BUMN, struktur komisaris di tubuh anak dan cucu BUMN juga harus segera dibereskan oleh menteri Erick.

Seperti diketahui, pasca mencopot Ari Askhara dari posisinya sebagai direktur utama Garuda Indonesia, menteri Erick juga mengungkap sejumlah kejanggalan dalam tubuh maskapai pelat merah tersebut. Ari dan empat direksi lainnya tercatat menjadi komisaris di sejumlah anak dan cucu perusahaan.

Ari sendiri menjabat sebagai komisaris utama di enam perusahaan yang berada di bawah naungan Garuda Indnesia, baik sebagai anak maupun sebagai cucu. Ari tercatat menjabat sebagai komisaris utama di PT GMF AeroAsia Tbk (GMFI), PT Citilink Indonesia, PT Aerofood Indonesia, PT Garuda Energi Logistik & Komersial, PT Garuda Indonesia Air Charter, dan PT Garuda Tauberes Indonesia.

Erick mengatakan bahwa dewan komisaris Garuda telah mencopot Ari dari posisinya sebagai komisaris utama di enam perusahaan tersebut. Ia juga menyatakan siap membenahi aturan yang memperbolehkan adanya tumpang tindih direktur utama dan komisaris dalam tubuh perusahaan pelat merah.

"Kemarin itu komisaris di 6 perusahaan. Itu dicopot semua. Saya mesti pelajari peraturan, Kepmen, bahwa pembentukan anak perusahaan, cucu perusahaan, harus ada review lagi," tegasnya.

Struktur tumpang tindih seperti yang didapati di tubuh Garuda Indonesia tentu sangat rawan untuk dieksploitasi oleh konflik kepentingan yang dimiliki pihak-pihak terkait, yang pada akhirnya lagi-lagi akan membuat kinerja dari perusahaan pelat merah tak maksimal.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Next Page
Minim Dividen
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular