
Rupiah Lemas di Kurs Tengah BI dan Spot, Ini Sebabnya
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
16 December 2019 10:06

Selain itu, ada faktor domestik yang membebani langkah rupiah. Pada pukul 11:00 WIB, Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data perdagangan internasional periode November 2019.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor terkontraksi atau tumbuh negatif 2,05% year-on-year (YoY). Kemudian impor juga mengalami kontraksi 13,41% YoY, dan neraca perdagangan defisit US$ 132 juta.
Sementara konsensus yang dihimpun dua kantor berita asing juga menghasilkan angka yang searah. Konsensus Bloomberg memperkirakan ekspor terkontraksi 2,6% YoY, impor minus 13,5% YoY, dan neraca perdagangan tekor US$ 132 juta. Kemudian konsensus dari Reuters membuahkan kontraksi ekspor 1,18% YoY, impor turun 13,32% YoY, dan neraca perdagangan negatif US$ 130 miliar.
Jika benar ekspor November masih merah, maka kontraksi akan terjadi selama 13 bulan beruntun. Jadi terakhir kali ekspor Indonesia tumbuh positif adalah pada Oktober 2018, lebih dari setahun lalu!
Artinya, pasokan devisa dari perdagangan belum bisa diandalkan untuk menopang rupiah. Mata uang Tanah Air masih akan sangat bergantung kepada arus modal asing di pasar keuangan alias hot money, yang bisa datang dan pergi kapan saja.
Ini menandakan fundamental rupiah masih lemah. Rupiah bisa melemah sewaktu-waktu, jika investor kurang berkenan untuk masuk pasar keuangan Indonesia. Ancaman penarikan modal (capital reversal) yang menghantui membuat rupiah rentan terdepresiasi.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor terkontraksi atau tumbuh negatif 2,05% year-on-year (YoY). Kemudian impor juga mengalami kontraksi 13,41% YoY, dan neraca perdagangan defisit US$ 132 juta.
Sementara konsensus yang dihimpun dua kantor berita asing juga menghasilkan angka yang searah. Konsensus Bloomberg memperkirakan ekspor terkontraksi 2,6% YoY, impor minus 13,5% YoY, dan neraca perdagangan tekor US$ 132 juta. Kemudian konsensus dari Reuters membuahkan kontraksi ekspor 1,18% YoY, impor turun 13,32% YoY, dan neraca perdagangan negatif US$ 130 miliar.
Jika benar ekspor November masih merah, maka kontraksi akan terjadi selama 13 bulan beruntun. Jadi terakhir kali ekspor Indonesia tumbuh positif adalah pada Oktober 2018, lebih dari setahun lalu!
Artinya, pasokan devisa dari perdagangan belum bisa diandalkan untuk menopang rupiah. Mata uang Tanah Air masih akan sangat bergantung kepada arus modal asing di pasar keuangan alias hot money, yang bisa datang dan pergi kapan saja.
Ini menandakan fundamental rupiah masih lemah. Rupiah bisa melemah sewaktu-waktu, jika investor kurang berkenan untuk masuk pasar keuangan Indonesia. Ancaman penarikan modal (capital reversal) yang menghantui membuat rupiah rentan terdepresiasi.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular