
Rupiah Lemas di Kurs Tengah BI dan Spot, Ini Sebabnya
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
16 December 2019 10:06

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Rupiah juga masih terjebak di zona merah di perdagangan pasar spot.
Pada Senin (16/12/2019), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor menunjukkan angka Rp 14.004. Rupiah melemah 0,16% dibandingkan posisi akhir pekan lalu.
Sementara di 'arena' pasar spot, rupiah juga melemah. Pada pukul 10:00 WIB, US$ dihargai Rp 13.995 di mana rupiah melemah 0,11%. Kala pembukaan pasar, rupiah sudah melemah 0,07%.
Namun rupiah tidak sendiri, karena berbagai mata uang utama Asia juga melemah di hadapan greenback. Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 10:05 WIB:
Investor sepertinya belum terlalu yakin untuk masuk ke aset-aset berisiko di pasar keuangan Asia. Walau ada kabar gembira di mana AS-China berhasil menyepakati perjanjian damai dagang fase I.
"Kami telah menyetujui kesepakatan fase I yang begitu besar dengan China. Mereka sepakat untuk melakukan berbagai perubahan struktural dan pembelian besar-besaran terhadap produk pertanian, energi, dan manufaktur AS. Bea masuk dengan tarif 25% tetap tidak berubah, tetapi sisanya (turun) menjadi 7,5%.
"Rencana pengenaan bea masuk baru pada 15 Desember tidak akan terjadi karena pada kenyataannya kami sudah membuat kesepakatan. Kami akan memulai negosiasi untuk fase II sesegera mungkin, tidak menunggu setelah Pemilu 2020. Ini adalah kesepakatan yang luar biasa bagi kita semua. Terima kasih!" cuit Trump dalam utas (thread) di Twitter.
Robert Lighthizer, Kepala Kantor Perwakilan Dagang AS, menyebutkan kesepakatan ini mencakup komitmen China untuk membeli barang dan jasa AS senilai US$ 200 miliar dalam kurun waktu dua tahun ke depan. Plus komitmen pembelian produk pertanian AS senilai US$ 32 miliar, juga dalam dua tahun ke depan. Ada lagi, Beijing pun akan menambah pembelian produk pertanian senilai US$ 5 miliar di luar angka-angka tersebut.
"Ini adalah sebuah langkah yang sangat-sangat penting dalam menyeimbangkan hubungan dagang AS-China. Ini adalah waktu yang tepat bagi mereka untuk membeli," kata Lighthizer, dikutip dari Reuters.
Namun, masih ada yang mengganjal. Lighthizer mengatakan kesepakatan dagang dengan China memang sudah tercapai secara prinsip, tetapi naskah perjanjiannya belum selesai. Masih perlu sedikit revisi di sejumlah butir kesepakatan.
Penantian terhadap revisi ini yang membuat investor belum terlalu berani bermain agresif. Masih ada sedikit rasa wait and see, yang membuat arus modal belum mengalir deras ke pasar keuangan Asia.
Selain itu, ada faktor domestik yang membebani langkah rupiah. Pada pukul 11:00 WIB, Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data perdagangan internasional periode November 2019.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor terkontraksi atau tumbuh negatif 2,05% year-on-year (YoY). Kemudian impor juga mengalami kontraksi 13,41% YoY, dan neraca perdagangan defisit US$ 132 juta.
Sementara konsensus yang dihimpun dua kantor berita asing juga menghasilkan angka yang searah. Konsensus Bloomberg memperkirakan ekspor terkontraksi 2,6% YoY, impor minus 13,5% YoY, dan neraca perdagangan tekor US$ 132 juta. Kemudian konsensus dari Reuters membuahkan kontraksi ekspor 1,18% YoY, impor turun 13,32% YoY, dan neraca perdagangan negatif US$ 130 miliar.
Jika benar ekspor November masih merah, maka kontraksi akan terjadi selama 13 bulan beruntun. Jadi terakhir kali ekspor Indonesia tumbuh positif adalah pada Oktober 2018, lebih dari setahun lalu!
Artinya, pasokan devisa dari perdagangan belum bisa diandalkan untuk menopang rupiah. Mata uang Tanah Air masih akan sangat bergantung kepada arus modal asing di pasar keuangan alias hot money, yang bisa datang dan pergi kapan saja.
Ini menandakan fundamental rupiah masih lemah. Rupiah bisa melemah sewaktu-waktu, jika investor kurang berkenan untuk masuk pasar keuangan Indonesia. Ancaman penarikan modal (capital reversal) yang menghantui membuat rupiah rentan terdepresiasi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Pada Senin (16/12/2019), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor menunjukkan angka Rp 14.004. Rupiah melemah 0,16% dibandingkan posisi akhir pekan lalu.
Sementara di 'arena' pasar spot, rupiah juga melemah. Pada pukul 10:00 WIB, US$ dihargai Rp 13.995 di mana rupiah melemah 0,11%. Kala pembukaan pasar, rupiah sudah melemah 0,07%.
Investor sepertinya belum terlalu yakin untuk masuk ke aset-aset berisiko di pasar keuangan Asia. Walau ada kabar gembira di mana AS-China berhasil menyepakati perjanjian damai dagang fase I.
"Kami telah menyetujui kesepakatan fase I yang begitu besar dengan China. Mereka sepakat untuk melakukan berbagai perubahan struktural dan pembelian besar-besaran terhadap produk pertanian, energi, dan manufaktur AS. Bea masuk dengan tarif 25% tetap tidak berubah, tetapi sisanya (turun) menjadi 7,5%.
"Rencana pengenaan bea masuk baru pada 15 Desember tidak akan terjadi karena pada kenyataannya kami sudah membuat kesepakatan. Kami akan memulai negosiasi untuk fase II sesegera mungkin, tidak menunggu setelah Pemilu 2020. Ini adalah kesepakatan yang luar biasa bagi kita semua. Terima kasih!" cuit Trump dalam utas (thread) di Twitter.
Robert Lighthizer, Kepala Kantor Perwakilan Dagang AS, menyebutkan kesepakatan ini mencakup komitmen China untuk membeli barang dan jasa AS senilai US$ 200 miliar dalam kurun waktu dua tahun ke depan. Plus komitmen pembelian produk pertanian AS senilai US$ 32 miliar, juga dalam dua tahun ke depan. Ada lagi, Beijing pun akan menambah pembelian produk pertanian senilai US$ 5 miliar di luar angka-angka tersebut.
"Ini adalah sebuah langkah yang sangat-sangat penting dalam menyeimbangkan hubungan dagang AS-China. Ini adalah waktu yang tepat bagi mereka untuk membeli," kata Lighthizer, dikutip dari Reuters.
Namun, masih ada yang mengganjal. Lighthizer mengatakan kesepakatan dagang dengan China memang sudah tercapai secara prinsip, tetapi naskah perjanjiannya belum selesai. Masih perlu sedikit revisi di sejumlah butir kesepakatan.
Penantian terhadap revisi ini yang membuat investor belum terlalu berani bermain agresif. Masih ada sedikit rasa wait and see, yang membuat arus modal belum mengalir deras ke pasar keuangan Asia.
Selain itu, ada faktor domestik yang membebani langkah rupiah. Pada pukul 11:00 WIB, Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data perdagangan internasional periode November 2019.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor terkontraksi atau tumbuh negatif 2,05% year-on-year (YoY). Kemudian impor juga mengalami kontraksi 13,41% YoY, dan neraca perdagangan defisit US$ 132 juta.
Sementara konsensus yang dihimpun dua kantor berita asing juga menghasilkan angka yang searah. Konsensus Bloomberg memperkirakan ekspor terkontraksi 2,6% YoY, impor minus 13,5% YoY, dan neraca perdagangan tekor US$ 132 juta. Kemudian konsensus dari Reuters membuahkan kontraksi ekspor 1,18% YoY, impor turun 13,32% YoY, dan neraca perdagangan negatif US$ 130 miliar.
Jika benar ekspor November masih merah, maka kontraksi akan terjadi selama 13 bulan beruntun. Jadi terakhir kali ekspor Indonesia tumbuh positif adalah pada Oktober 2018, lebih dari setahun lalu!
Artinya, pasokan devisa dari perdagangan belum bisa diandalkan untuk menopang rupiah. Mata uang Tanah Air masih akan sangat bergantung kepada arus modal asing di pasar keuangan alias hot money, yang bisa datang dan pergi kapan saja.
Ini menandakan fundamental rupiah masih lemah. Rupiah bisa melemah sewaktu-waktu, jika investor kurang berkenan untuk masuk pasar keuangan Indonesia. Ancaman penarikan modal (capital reversal) yang menghantui membuat rupiah rentan terdepresiasi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular