Sayang Sekali, Rupiah Belum Bisa Ikut 'Pesta' Mata Uang Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 December 2019 10:07
Sayang Sekali, Rupiah Belum Bisa Ikut 'Pesta' Mata Uang Asia
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs acuan Bank Indonesia (BI). Rupiah pun melemah di perdagangan pasar spot, meski dibuka stagnan.

Pada Kamis (12/12/2019), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.042. Rupiah melemah 0,12% dibandingkan posisi hari sebelumnya.

Sedangkan di pasar spot, rupiah juga meniti jalur merah. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.035 di mana rupiah melemah 0,04%.

Kala pembukaan pasar, rupiah masih bisa stagnan. Namun selepas itu rupiah terjerumus ke zona merah, meski pelemahannya tipis saja.


Rupiah bergerak berlawanan dengan mata uang Asia lainnya yang mayoritas menguat. Selain rupiah, hanya won Korea Selatan yang mengalami depresiasi.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 10:06 WIB:

 

Setidaknya ada dua faktor domestik yang membebani langkah rupiah. Pertama, investor masih punya pembenaran untuk melakukan aksi profit taking (ambil untung).

Sejak awal tahun, rupiah masih membukukan penguatan signifikan yaitu 2,37%. Bahkan rupiah menjadi mata uang terbaik kedua di Asia, hanya kalah dari baht Thailand.


Cuan yang didapat dari menjual rupiah, terutama jika dipegang sejak awal tahun, memang masih tinggi. Ini menjadi perangsang bagi investor untuk mencairkan keuntungan.

Kedua, jelang akhir tahun kebutuhan valas korporasi sedang tinggi. Ada kebutuhan untuk membayar dividen, utang, impor, dan sebagainya. Rupiah mengalami tekanan jual sehingga nilainya cenderung melemah.



Dua faktor domestik ini membuat rupiah belum bisa bergabung di 'pesta' mata uang Asia. Ya, mata uang Asia sedang terbuai karena hasil rapat Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed).

Dini hari tadi waktu Indonesia, komite pengambil keputusan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di 1,5-1,75%. Keputusan ini sesuai dengan ekspektasi pasar.

Namun hal yang menarik adalah pernyataan Ketua Jerome 'Jay' Powell saat konferensi pers usai rapat. Powell menyebut bahwa prospek perekonomian AS lumayan cerah.

"Proyeksi kami tetap bagus, meski ada risiko di perekonomian global. Seiring perjalanan, kami menyesuaikan posisi (stance) kebijakan moneter ke arah memberikan bantalan dan semacam asuransi. Perubahan ini akan membantu perekonomian menuju outlook yang sesuai," kata Powell.


Pernyataan ini bisa diartikan bahwa ke depan ruang pelonggaran moneter sudah semakin sempit dan kebijakan moneter akan bias ke arah stabilitas. Netral cenderung ketat.


Sikap Powell yang optimistis itu tentu bukan tanpa dasar. Risiko resesi di AS sepertinya sudah menjauh, bahkan Negeri Adidaya mampu membukukan pertumbuhan ekonomi 2,1% pada kuartal III-2019, membaik dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 2%.

Untuk kuartal IV-2019, The Fed Atlanta memperkirakan ekonomi AS tumbuh 2%. Lebih baik dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 1,5%.

Kemudian di sisi tenaga kerja, US Bureau of Labor Statistics melaporkan perekonomian AS menciptakan 266.000 lapangan kerja non-pertanian selama November 2019. Ini adalah penciptaan lapangan kerja tertinggi sejak Januari.

Ini adalah tanda-tanda ekonomi AS sudah 'sembuh'. Ditambah lagi asa damai dagang dengan China jangan dulu dicoret dari daftar, masih ada peluang besar untuk menuju ke sana. Jadi kalau ekonomi AS masih akan ekspansif, untuk apa stimulus moneter dalam 'dosis' yang lebih kuat?

AS adalah perekonomian terbesar di dunia. Ketika sang lokomotif sudah kuat dan melaju kencang, maka gerbong-gerbong di belakangnya akan ikut berlari (meski ada jeda).

Jadi, apakah nestapa perekonomian global sudah menyentuh titik dasarnya dan siap untuk bangkit (bottoming out)? Kalau melihat optimisme Powell, sepertinya memang demikian.


Kepercayaan diri pelaku pasar pun meningkat, dan mulai berani bermain agresif. Saat arus modal mengalir deras ke aset-aset berisiko di negara berkembang, kala itu lah mata uang Asia akan menguat.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular