Jelang Akhir Tahun, Apa The Fed Bakal Bikin Kejutan Lagi?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
11 December 2019 19:48
Jelang Akhir Tahun, Apa The Fed Bakal Bikin Kejutan Lagi?
Foto: Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell (REUTERS/Leah Millis)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sepanjang tahun 2019, arah kebijakan moneter AS menjadi salah satu topik yang paling banyak diperbincangkan oleh pelaku pasar keuangan dunia. Maklum, di tahun ini perlambatan ekonomi dunia begitu kental terasa, sehingga arah kebijakan moneter, utamanya dari bank sentral negara-negara dengan nilai perekonomian raksasa seperti AS, menjadi sangat krusial.

Kala tingkat suku bunga acuan dipangkas, bank akan terdorong untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang.

Di sepanjang tahun 2019, The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS telah memangkas tingkat suku bunga acuan sebanyak tiga kali, masing-masing sebesar 25 bps, yakni pada bulan Juli, September, dan Oktober. Jika ditotal, federal funds rate sudah dipangkas sebesar 75 bps oleh Jerome Powell (Gubernur The Fed) dan koleganya di bank sentral.

Perang dagang AS-China, perlambatan ekonomi global, dan inflasi yang rendah menjadi faktor yang membuat The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps tersebut.

Memasuki pertengahan bulan Desember, ada satu kesempatan lagi bagi The Fed untuk memangkas tingkat suku bunga acuan. Kemarin waktu setempat (10/12/2019), The Fed memulai pertemuan selama dua hari. Hasil dari pertemuan tersebut akan diumumkan pada besok dini hari waktu Indonesia (12/12/2019).

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 11 Desember 2019, probabilitas The Fed akan menahan fed fund futures di posisi saat ini (1,5%-1,75%) berada di level 97,8%.

Terlihat pelaku pasar begitu yakin bahwa The Fed akan menginjak rem dari melonggarkan kebijakan moneter lebih lanjut. Maklum, The Fed sudah banyak memberikan sinyal bahwa pihaknya tak akan mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang kelewat agresif.

Dalam konferensi pers pasca mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada bulan September, Powell memang menyebut bahwa pihaknya akan melakukan hal yang diperlukan guna mempertahankan ekspansi ekonomi.

Namun kemudian, Powell mengatakan bahwa pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada bulan Juli dan September sebagai "penyesuaian di pertengahan siklus/midcycle adjustment" dan bukan merupakan strategi untuk mendorong tingkat suku bunga acuan lebih rendah lagi.

Pernyataan tersebut lantas menegaskan komentar Powell di bulan Juli bahwa The Fed tidaklah sedang memulai era panjang pemangkasan tingkat suku bunga acuan.

"Biar saya perjelas: yang saya maksud adalah itu (pemangkasan tingkat suku bunga acuan) bukanlah merupakan awal dari pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang agresif," kata Powell pada bulan Juli silam, dilansir dari CNBC International.

"Kami tak melihat arahnya ke sana (era panjang pemangkasan tingkat suku bunga acuan). Anda akan melakukannya jika Anda melihat pelemahan ekonomi yang signifikan dan jika Anda berpikir bahwa federal funds rate perlu dipangkas secara signifikan. Itu bukanlah skenario yang kami lihat."

Kemudian, dalam pernyataan resminya pasca memangkas tingkat suku bunga acuan pada bulan Oktober, The Fed menghilangkan suatu pernyataan yang sudah mereka gunakan sejak bulan Juni yakni pernyataan bahwa pihaknya berkomitmen untuk "bertindak sebagaimana diperlukan guna mempertahankan ekspansi (ekonomi)".

The Fed kemudian mengganti pernyataan tersebut dengan pernyataan yang lebih defensif.

"Komite akan terus memonitor implikasi dari informasi-informasi di masa depan terhadap prospek perekonomian sembari melakukan penilaian terkait dengan besaran yang tepat mengenai rentang dari federal funds rate," tulis The Fed dalam pernyataan resminya.

Dalam konferensi pers pasca memangkas tingkat suku bunga acuan pada bulan Oktober, Powell mengatakan bahwa The Fed akan cenderung mempertahankan tingkat suku bunga acuan di level saat ini. Dirinya mengatakan bahwa pejabat-pejabat bank sentral memandang stance kebijakan moneter saat ini akan layak dipertahankan di masa depan.

Untuk diketahui, Desember biasanya merupakan bulan yang bersahabat bagi Wall Street. Dalam 18 tahun terakhir, indeks S&P 500 yang merupakan indeks saham terbaik guna merepresentasikan pergerakan pasar saham AS hanya membukukan imbal hasil negatif secara bulanan di bulan Desember sebanyak enam kali.



Namun, pada tahun ini situasinya tampak akan sulit. Jika dihitung dari posisi akhir November hingga penutupan perdagangan kemarin, indeks S&P 500 justru melemah sebesar 0,27%. Sementara itu, dua indeks saham acuan lainnya di AS yakni Dow Jones dan Nasdaq Composite membukukan koreksi masing-masing sebesar 0,6% dan 0,57%.

Pemangkasan tingkat suku bunga acuan oleh The Fed bisa menjadi kunci dalam mendongkrak kinerja Wall Street di sisa bulan ini. Mengingat pasar saham AS merupakan kiblat dari pasar saham dunia, kinclongnya kinerja Wall Street tentu akan membawa angin segar bagi pasar saham negara-negara lain, termasuk Indonesia.

Tapi, mungkinkah The Fed memberikan kejutan dengan kembali memangkas tingkat suku bunga acuan?

Guna memproyeksikan hasil pertemuan The Fed yang akan diumumkan pada esok dini hari, tentu perkembangan perang dagang AS-China perlu dicermati.

Pasalnya, seperti yang sudah disebutkan di halaman satu, perang dagang AS-China telah menjadi salah satu faktor yang melandasi keputusan The Fed untuk memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps di sepanjang tahun 2019, di samping juga perlambatan ekonomi globa, dan inflasi yang rendah.

Sekedar mengingatkan, beberapa bulan yang lalu AS dan China sempat begitu dekat untuk menandatangani kesepakatan dagang. Namun, rencana ini kandas di tengah jalan dan perang dagang justru menjadi tereskalasi.

Kini, kedua negara telah fokus dalam menyusun kesepakatan dagang tahap satu. Rencananya, kesepakatan dagang tahap satu akan menjadi pintu bagi kedua negara untuk kemudian menandatangani kesepakatan dagang yang lebih menyeluruh.

Perkembangan terbaru terkait negosiasi dagang kedua negara pun terbilang positif. Wall Street Journal melaporkan bahwa AS berencana untuk menunda pengenaan bea masuk tambahan terhadap produk impor asal China yang dijadwalkan akan mulai berlaku pada 15 Desember mendatang, seperti dilansir CNBC International. Untuk diketahui, nilai produk impor asal China yang akan terdampak oleh kebijakan ini mencapai US$ 160 miliar.

Ditundanya pengenaan bea masuk tambahan terhadap produk impor asal China tersebut dilakukan oleh AS seiring dengan upaya yang tengah dilakukan kedua belah pihak untuk memfinalisasi kesepakatan dagang tahap satu.

Namun, di sisi lain ada kemungkinan bahwa perang dagang AS-China akan berlarut-larut hingga tahun 2020. Beberapa waktu yang lalu, Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa AS mungkin lebih baik menunggu hingga pasca pemilihan presiden tahun 2020 untuk meneken kesepakatan dagang dengan China. Sebagai informasi, pemilihan presiden AS pada tahun depan baru akan digelar pada bulan November.

Lebih lanjut, Trump sudah mengungkapkan bahwa dirinya tak memiliki tenggat waktu untuk meneken kesepakatan dagang dengan China. Pernyataan serupa juga dilontarkan oleh pihak Beijing.

Lebih lanjut, sebelum pemberitaan positif terkait negosiasi dagang AS-China dari Wall Street Journal dipublikasikan, ada pemberitaan negatif yang jika benar adanya, berpotensi membuat kesepakatan dagang AS-China semakin sulit untuk diteken.

Financial Times melaporkan bahwa Partai Komunis China telah memerintahkan seluruh kantor pemerintahan untuk secara total menghilangkan ketergantungan terhadap perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) buatan negara lain dalam jangka waktu tiga tahun, seperti dilansir dari CNBC International.

Layaknya formasi di permainan sepak bola, kebijakan ini disebut dengan istilah “3-5-2”. Hal ini lantaran penggantian hardware dan software buatan negara lain tersebut akan dilakukan secara bertahap, tepatnya 30% pada tahun 2020, 50% pada tahun 2021, dan 20% pada tahun 2022, tulis Financial Times dalam pemberitaannya.

Pemberitaan dari Financial Times tersebut mengutip sebuah publikasi dari sekuritas asal China yang bernama China Securities. Analis di China Securities memproyeksikan bahwa sebanyak 20 hingga 30 juta hardware di China perlu untuk diganti guna memenuhi kebijakan tersebut.

Menurut China Securities, perintah untuk secara total menghilangkan ketergantungan terhadap hardware dan software buatan negara lain datang pada awal tahun ini. Walaupun tak ada pengumuman yang disampaikan terkait dengan kebijakan ini kepada publik, dua perusahaan keamanan siber (cybersecurity) menginformasikan kepada Financial Times bahwa klien-klien mereka yang merupakan bagian dari pemerintah China telah menjelaskan kebijakan tersebut kepada mereka.

Untuk diketahui, walaupun kantor pemerintahan China kebanyakan menggunakan Personal Computer (PC) produksi dalam negeri seperti Lenovo, software yang digunakan tetaplah Microsoft.

Kantor pemerintahan China juga diketahui menggunakan hardware buatan Dell dan Hewlett Packard (HP) yang berasal dari Negeri Paman Sam. Sementara itu, PC rakitan Lenovo juga menggunakan prosesor Intel yang lagi-lagi berasal dari AS.

Hingga kini, China belum memiliki alternatif terhadap Windows besutan Microsoft yang merupakan operating system untuk PC paling populer di dunia. Pada tahun ini, sejatinya Huawei yang merupakan raksasa telekomunikasi asal China merilis HarmonyOS yang merupakan operating system besutannya sendiri, namun hingga kini belum jelas apakah operating system tersebut akan bisa digunakan untuk kepentingan pemerintah.

Jika pemberitaan tersebut benar adanya, pihak Washington bisa tersulut dan membuat perang dagang kedua negara semakin sulit untuk dicari solusinya.

Dengan memperhatikan perkembangan negosiasi dagang AS-China di mana ada potensi yang besar bahwa perang dagang antar keduanya akan berlarut-larut atau bahkan tereskalasi, ruang bagi The Fed untuk mengeksekusi kembali pemangkasan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps kami nilai masih terbuka.

Untuk diketahui, The Fed memiliki dua mandat yang ditetapkan oleh Kongres AS, yakni kestabilan harga (inflasi) dan tingkat penyerapan tenaga kerja yang maksimum.

Berbicara mengenai inflasi, saat ini tingkat inflasi AS berada di level yang rendah. Untuk diketahui, acuan yang digunakan oleh The Fed untuk mengukur tingkat inflasi adalah Core Personal Consumption Expenditures (PCE) price index.

Data teranyar, Core PCE price index tercatat tumbuh sebesar 1,6% secara tahunan pada Oktober 2019, masih cukup jauh di bawah target The Fed yang sebesar 2%. Pertumbuhan Core PCE price index yang hanya mencapai 1,6% pada Oktober 2019 merupakan laju pertumbuhan paling lambat dalam tiga bulan.

Kali terakhir Core PCE price index mencapai target The Fed adalah pada Desember 2018 silam kala pertumbuhannya adalah 2%, sama persis dengan target. Selepas itu, pertumbuhan Core PCE price index selalu berada di bawah angka 2%.



Sementara itu, jika kita berbicara mengenai pasar tenaga kerja, saat ini pasar tenaga kerja AS sedang berada dalam posisi yang sangat-sangat oke. Per November 2019, tingkat pengangguran di AS berada di level 3,5%, menandai level terendah dalam 50 tahun terakhir. Tingkat pengangguran AS berhasil turun dari capaian bulan Oktober yang sebesar 3,6%.

Turunnya tingkat pengangguran AS ke level terendah dalam 50 tahun terakhir tak lain didorong oleh penciptaan lapangan kerja yang begitu fantastis. Untuk periode November 2019, penciptaan lapangan kerja di luar sektor pertanian diumumkan mencapai 266.000, jauh di atas konsensus yang sebanyak 181.000, seperti dilansir dari Forex Factory.



Dengan memperhatikan dua indikator yang menjadi mandat dari The Fed, jelas bahwa ruang pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut masih terbuka, seiring dengan inflasi yang masih berada di bawah target.

Jika memperhatikan angka pertumbuhan ekonomi, juga jelas terlihat bahwa perlambatan sedang menerpa perekonomian AS.

Pada kuartal I-2019, perekonomian AS tercatat tumbuh sebesar 3,1% (QoQ annualized), jauh lebih pesat dibandingkan pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu (kuartal I-2018) yang hanya mencapai 2,2%.

Namun, dalam dua kuartal berikutnya perekonomian AS bak kehilangan tenaga. Pada kuartal II-2019, perekonomian AS tercatat hanya tumbuh sebesar 2%, jauh melambat dibandingkan capaian pada kuartal II-2018 yang mencapai 4,2%. Kemudian pada kuartal III-2019, perekonomian AS hanya mampu tumbuh 2,1%, lebih lambat ketimbang pertumbuhan pada kuartal III-2018 yang mencapai 3,4%.

Lebih lanjut, data yang dirilis secara bulanan juga menunjukkan bahwa perekonomian AS tengah berada di dalam tekanan. Kini, empat bulan secara beruntun sudah aktivitas manufaktur di AS terkontraksi. Padahal, sektor manufaktur berkontirbusi besar dalam membentuk perekonomian AS.

Kontraksi pada sektor manufaktur AS ditunjukkan oleh data Manufacturing PMI yang dipublikasikan oleh Institute for Supply Management (ISM). Teranyar, untuk periode November 2019 Manufacturing PMI AS tercatat berada di level 48,1.

Sebagai informasi, angka di atas 50 berarti aktivitas manufaktur membukukan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi. Lantas, tiga bulan sudah aktivitas manufaktur di AS selalu terkontraksi.



Lebih lanjut, aktivitas di sektor jasa yang juga merupakan elemen krusial bagi perekonomian AS tak bisa dibilang membanggakan. Pada periode Agustus-Oktober 2019, sektor jasa di AS memang masih membukukan ekspansi, terlihat dari Services PMI versi Markit yang terus berada di atas level 50. Namun, nilainya hanya berada di batas bawah 50, jauh berbeda dengan bulan-bulan sebelumnya.



Jika dibiarkan berlanjut, kombinasi lemahnya aktivitas manufaktur dan jasa akan menekan perekonomian AS secara keseluruhan. Ketika ini yang terjadi, inflasi akan semakin sulit dipacu ke level 2%, sementara tingkat pengangguran akan bergerak ke atas, yang berarti mandat dari The Fed menjadi semakin jauh dari dicapai.

Dengan mencermati berbagai data ekonomi tersebut, lagi-lagi ruang untuk mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi terbuka.

Namun, untuk pertemuan kali ini Tim Riset CNBC Indonesia memproyeksikan bahwa tingkat suku bunga acuan akan dipertahankan. Alasannya, dari pernyataan-pernyataan pejabat The Fed dalam beberapa waktu terakhir, khususnya sang gubernur Jerome Powell, terlihat bahwa pihaknya sudah relatif puas dengan laju perekonomian di level saat ini.

Apalagi, walaupun memang ada tekanan signifikan yang menyelimuti perekonomian AS, pertumbuhannya diproyeksikan masih akan berada di level 2,35% oleh International Monetary Fund (IMF) pada tahun ini.

Jika berkaca kepada sejarah, pertumbuhan ekonomi di level 2,35% terbilang cukup tinggi bagi AS, apalagi kini perekonomiannya sudah dipengaruhi oleh yang namanya high-base effect lantaran pertumbuhan ekonomi di tahun 2018 nyaris mencapai 3%.



Jadi, walaupun ruang bagi The Fed untuk memangkas tingkat suku bunga acuan masih terbuka, Tim Riset CNBC Indonesia meyakini bahwa ruang tersebut belum akan dieksekusi pada pertemuan kali ini. Kemungkinan besar, ruang pemangkasan tingkat suku bunga acuan baru akan dieksekusi pada tahun depan.

Selain karena pertumbuhan ekonomi yang terbilang masih cukup tinggi, ada faktor lain yang patut dipertimbangkan kala mencoba memproyeksikan hasil pertemuan The Fed kali ini.

Sepanjang tahun 2019, Presiden AS Donald Trump terus-menerus menyerang Powell dan koleganya di The Fed. Trump menganggap bahwa The Fed kelewat lamban dalam memangkas tingkat suku bunga acuan sehingga perekonomian AS tak bisa tumbuh secara maksimal.

Saking kesalnya, presiden AS ke-45 tersebut sempat menyindir bahwa para pejabat bank sentral AS memakan gaji buta. Kekesalan Trump ini dipicu oleh hasil pertemuan European Central Bank (ECB) selaku bank sentral Eropa.

Pada bulan September, ECB mengumumkan bahwa pihaknya memangkas deposit rate sebesar 10 basis poin (bps), dari yang sebelumnya -0,4% menjadi -0,5%.

Tak sampai disitu, ECB juga mengumumkan bahwa program quantitative easing (QE) yang disetop pada akhir tahun lalu akan kembali diaktifkan. Setiap bulannya, ECB akan menyuntikkan dana senilai 20 miliar euro ke sistem perbankan atau setara dengan US$ 21,9 miliar. Program ini akan berlangsung selama yang diperlukan, dilansir dari CNBC International.

“European Central Bank, bertindak dengan cepat, memangkas bunga sebesar 10 basis poin. Mereka mencoba, dan sukses, dalam mendepresiasi Euro melawan dolar AS yang SANGAT kuat, menyakiti ekspor AS…. Dan The Fed hanya duduk, duduk, dan duduk. Mereka (negara-negara Uni Eropa) dibayar untuk meminjam uang, sementara kita harus membayar bunga!” cuit Trump melalui akun Twitter pribadinya, @realDonaldTrump.

Sebelumnya, juga melalui media sosial Twitter, Trump menyerang The Fed dengan menyebut para pejabat dari institusi yang diketuai oleh Jerome Powell tersebut “Idiot”. Penyebabnya sama, Trump geram lantaran The Fed dianggap lamban dalam memangkas tingkat suku bunga acuan.

"The Federal Reserve harus memangkas tingkat suku bunga acuan menjadi nol, atau negatif, dan sehabis itu kita harus mulai melakukan refinancing atas utang kita. BIAYA BUNGA BISA DITEKAN DENGAN SIGNIFIKAN. Kita punya mata uang yang hebat, kekuatan, dan neraca….” cuit Trump kemarin (11/9/2019).

“….AS haruslah selalu menikmati tingkat suku bunga yang terendah (jika dibandingkan negara-negara lain). Tak ada inflasi! Itu hanyalah kenaifan dari Jay Powell dan The Federal Resrve yang tak mengizinkan kita untuk melakukan hal yang banyak negara sudah lakukan. Sebuah kesempatan sekali seumur hidup yang kita lewatkan karena para “Idiot”.”

Untuk diketahui, kebanyakan bank sentral di dunia, termasuk AS, merupakan institusi yang independen. Arah kebijakan dari bank sentral tak bisa disetir oleh kepentingan politik.

Lantas, pernyataan-pernyataan bernada hawkish dari Powell terkait dengan potensi pelonggaran moneter lebih lanjut di masa depan bisa jadi juga dilandasi oleh keinginan untuk menjaga citra The Fed di mata publik. Powell bisa jadi sedang menjaga pandangan masyarakat bahwa The Fed tetaplah merupakan sebuah institusi yang independen.

Pada awal Oktober 2019, momen yang unik bisa kita dapati kala Powell memberikan pidato singkat menjelang pemutaran perdana dari film mengenai mantan Gubernur The Fed Marriner Eccles. Ecless merupakan orang nomor satu di bank sentral AS dalam periode 1934-1948.

Dalam pidato singkatnya, Powell menyebut bahwa Eccles “berjasa lebih daripada orang lain seiring dengan fakta bahwa AS kini memiliki bank sentral yang independen – sebuah bank sentral yang mampu mengambil keputusan-keputusan dengan dasar kepentingan ekonomi yang terbaik dalam jangka panjang, tanpa dicampuri tekanan politik di masa saat ini.”

Jelas bahwa di sini Powell menekankan terkait independensi bank sentral, independensi yang membuat pihak manapun, termasuk sang presiden yang sejatinya menominasikan calon Gubernur The Fed, tak bisa mencampuri kebijakan bank sentral.

Hal ini semakin jelas terlihat kala Powell menutup pidato singkatnya. Dirinya membacakan ulang kutipan dari Eccles yang diabadaikan dalam sebuah plakat yang terletak di markas The Fed di Washington: “Pengelolaan dari bank sentral harus benar-benar bebas dari bahaya yang datang dari kontrol politik dan kepentingan pribadi, baik secara tunggal maupun gabungan.”

Bisa dikatakan, Powell memanfaatkan momen tersebut untuk ‘menyerang’ balik Trump dengan mengingatkan secara keras bahwa sejatinya Trump memang tak punya kuasa untuk ikut campur dalam urusan rumah tangga bank sentral.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular