Nantikan Hasil Pertemuan The Fed, IHSG Ditutup di Zona Merah

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
11 December 2019 16:38
Nantikan Hasil Pertemuan The Fed, IHSG Ditutup di Zona Merah
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali perdagangan ketiga di pekan ini, Rabu (11/12/2019), di zona hijau.

Pada pembukaan perdagangan, IHSG menguat 0,11% ke level 6.190,58. IHSG kemudian bertahan di zona hijau untuk waktu yang lama.

Sayang, menjelang penutupan perdagangan sesi satu, IHSG tergelincir ke zona merah. Per akhir sesi satu, IHSG terkoreksi 0,08% ke level 6.178,85. Per akhir sesi dua, koreksi IHSG adalah sebesar 0,06% ke level 6.180,1.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam menekan kinerja IHSG di antaranya: PT Astra International Tbk/ASII (-1,5%), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (-2,82%), PT Semen Indonesia Tbk/SMGR (-3,25%), PT HM Sampoerna Tbk/HMSP (-0,97%), dan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk/INTP (-2,86%).

Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang justru ditransaksikan di zona hijau: indeks Shanghai naik 0,24%, indeks Hang Seng menguat 0,79%, indeks Straits Times bertambah 0,41%, dan indeks Kospi terapresiasi 0,36%.

Perkembangan terkait perang dagang AS-China yang menggembirakan menjadi faktor yang memantik aksi beli di bursa saham Benua Kuning.

Wall Street Journal melaporkan bahwa AS berencana untuk menunda pengenaan bea masuk tambahan terhadap produk impor asal China yang dijadwalkan akan mulai berlaku pada 15 Desember mendatang, seperti dilansir CNBC International. Untuk diketahui, nilai produk impor asal China yang akan terdampak oleh kebijakan ini mencapai US$ 160 miliar.

Ditundanya pengenaan bea masuk tambahan terhadap produk impor asal China tersebut dilakukan oleh AS seiring dengan upaya yang tengah dilakukan kedua belah pihak untuk memfinalisasi kesepakatan dagang tahap satu.

Pejabat AS dikabarkan telah meminta China untuk terlebih dulu membeli produk-produk agrikultur asal AS sebelum kemudian meneken kesepakatan dagang tahap satu dengan pihaknya. Di sisi lain, pihak China meminta supaya pembelian produk agrikultur asal AS yang akan mereka lakukan memiliki nilai yang proporsional dengan besaran penghapusan bea masuk tambahan yang dilakukan oleh Washington.

Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk tambahan bagi senilai lebih dari US$ 500 miliar produk impor asal China, sementara Beijing membalas dengan mengenakan bea masuk tambahan bagi produk impor asal AS senilai kurang lebih US$ 110 miliar.

Perkembangan tersebut lantas membawa kelegaan bagi pelaku pasar. Pasalnya, sebelumnya ada perkembangan yang membuat mereka pesimitis bahwa kesepakatan dagang tahap satu akan segera bisa diteken.

Financial Times melaporkan bahwa Partai Komunis China telah memerintahkan seluruh kantor pemerintahan untuk secara total menghilangkan ketergantungan terhadap perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) buatan negara lain dalam jangka waktu tiga tahun, seperti dilansir dari CNBC International.

Layaknya formasi di permainan sepak bola, kebijakan ini disebut dengan istilah "3-5-2". Hal ini lantaran penggantian hardware dan software buatan negara lain tersebut akan dilakukan secara bertahap, tepatnya 30% pada tahun 2020, 50% pada tahun 2021, dan 20% pada tahun 2022, tulis Financial Times dalam pemberitaannya.

Pemberitaan dari Financial Times tersebut mengutip sebuah publikasi dari sekuritas asal China yang bernama China Securities. Analis di China Securities memproyeksikan bahwa sebanyak 20 hingga 30 juta hardware di China perlu untuk diganti guna memenuhi kebijakan tersebut.

Menurut China Securities, perintah untuk secara total menghilangkan ketergantungan terhadap hardware dan software buatan negara lain datang pada awal tahun ini. Walaupun tak ada pengumuman yang disampaikan terkait dengan kebijakan ini kepada publik, dua perusahaan keamanan siber (cybersecurity) menginformasikan kepada Financial Times bahwa klien-klien mereka yang merupakan bagian dari pemerintah China telah menjelaskan kebijakan tersebut kepada mereka.

Untuk diketahui, walaupun kantor pemerintahan China kebanyakan menggunakan Personal Computer (PC) produksi dalam negeri seperti Lenovo, software yang digunakan tetaplah Microsoft.

Kantor pemerintahan China juga diketahui menggunakan hardware buatan Dell dan Hewlett Packard (HP) yang berasal dari Negeri Paman Sam. Sementara itu, PC rakitan Lenovo juga menggunakan prosesor Intel yang lagi-lagi berasal dari AS.

Depresiasi rupiah yang lumayan dalam menjadi faktor yang memantik aksi jual di pasar saham tanah air. Hingga sore hari, rupiah melemah 0,18% di pasar spot ke level Rp 14.030/dolar AS.

Dolar AS memang sedang berada dalam posisi yang perkasa, ditunjukkan oleh indeks dolar AS yang menguat sebesar 0,12%.

Dolar AS mendapatkan suntikan energi dari gelaran rapat The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS. Kemarin waktu setempat (10/12/2019), The Fed memulai pertemuan yang akan berlangsung selama dua hari. Hasil dari pertemuan tersebut akan diumumkan besok dini hari waktu Indonesia (12/12/2019).

Di sepanjang tahun 2019, The Fed telah memangkas tingkat suku bunga acuan sebanyak tiga kali, masing-masing sebesar 25 bps, yakni pada bulan Juli, September, dan Oktober. Jika ditotal, federal funds rate sudah dipangkas sebesar 75 bps oleh Jerome Powell (Gubernur The Fed) dan koleganya di bank sentral.

Perang dagang AS-China, perlambatan ekonomi global, dan inflasi yang rendah menjadi faktor yang membuat The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps tersebut.

Kini, pelaku pasar meyakini bahwa The Fed akan mempertahankan tingkat suku bunga acuan. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 10 Desember 2019, probabilitas The Fed akan menahan federal fund rate di posisi saat ini (1,5%-1,75%) berada di level 97,8%.

Sejatinya jika melihat data ekonomi AS, ruang bagi The Fed untuk memangkas tingkat suku bunga acuan cukup terbuka. Untuk diketahui, The Fed memiliki dua mandat yang ditetapkan oleh Kongres AS, yakni kestabilan harga (inflasi) dan tingkat penyerapan tenaga kerja yang maksimum.

Berbicara mengenai inflasi, saat ini tingkat inflasi AS berada di level yang rendah. Untuk diketahui, acuan yang digunakan oleh The Fed untuk mengukur tingkat inflasi adalah Core Personal Consumption Expenditures (PCE) price index.

Data teranyar, Core PCE price index tercatat tumbuh sebesar 1,6% secara tahunan pada Oktober 2019, masih cukup jauh di bawah target The Fed yang sebesar 2%. Pertumbuhan Core PCE price index yang hanya mencapai 1,6% pada Oktober 2019 merupakan laju pertumbuhan paling lambat dalam tiga bulan.

Kali terakhir Core PCE price index mencapai target The Fed adalah pada Desember 2018 silam kala pertumbuhannya adalah 2%, sama persis dengan target. Selepas itu, pertumbuhan Core PCE price index selalu berada di bawah angka 2%.

Sementara itu, jika kita berbicara mengenai pasar tenaga kerja, saat ini pasar tenaga kerja AS sedang berada dalam posisi yang sangat-sangat oke. Per November 2019, tingkat pengangguran di AS berada di level 3,5%, menandai level terendah dalam 50 tahun terakhir. Tingkat pengangguran AS berhasil turun dari capaian bulan Oktober yang sebesar 3,6%.

Turunnya tingkat pengangguran AS ke level terendah dalam 50 tahun terakhir tak lain didorong oleh penciptaan lapangan kerja yang begitu fantastis. Untuk periode November 2019, penciptaan lapangan kerja di luar sektor pertanian diumumkan mencapai 266.000, jauh di atas konsensus yang sebanyak 181.000, seperti dilansir dari Forex Factory.

Dengan memperhatikan dua indikator yang menjadi mandat dari The Fed, jelas bahwa ruang pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut masih terbuka, seiring dengan inflasi yang masih berada di bawah target.

Namun, pelaku pasar tetap saja meyakini bahwa The Fed akan mempertahankan tingkat suku bunga acuannya.

Kala sebuah bank sentral mempertahankan atau menaikkan tingkat suku bunga acuan, mata uangnya memang biasanya akan mendapatkan suntikan energi untuk menguat.

Merespons pelemahan rupiah, investor asing melakukan aksi jual di pasar saham tanah air. Per akhir sesi dua, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 154 miliar di pasar reguler.

Saham-saham yang banyak dilepas investor asing per akhir sesi dua di antaranya: PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 71 miliar), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 45,3 miliar), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (Rp 40,5 miliar), PT Astra International Tbk/ASII (Rp 25,2 miliar), dan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk/INTP (Rp 23,9 miliar).

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular