
OPEC+ Pangkas 1,7 Juta Bph, Apa Efeknya buat Emiten Migas?
Anisatul Umah, CNBC Indonesia
09 December 2019 09:51

Jakarta, CNBC Indonesia - Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan Rusia atau aliansi yang dikenal dengan OPEC+ sepakat menambah lagi jumlah pemangkasan produksi minyak hingga 500.000 barel per hari (bph).
"Kami melihat adanya risiko kelebihan pasokan pada triwulan pertama tahun depan karena penurunan permintaan musiman untuk produk olahan maupun minyak mentah" kata Alexander Novak selaku Menteri Energi Rusia, dikutip dari CNBC International.
OPEC+ sebelumnya sudah membuat komitmen untuk memangkas produksi minyak 1,2 juta bph. Pada pertemuan Juni lalu, OPEC+ memutuskan untuk memperpanjang periode pemangkasan produksi minyak sampai Maret 2020. OPEC dan aliansinya akan mulai memangkas produksi minyak sebanyak 1,7 juta bph atau 1,7% dari total produksi global.
Rencana perpanjangan periode pemangkasan produksi minyak dunia oleh OPEC+ diyakini dapat mendorong harga minyak. Namun demikian, analis melihat kondisi ini akan membebani APBN, mengingat Indonesia masih sangat tergantung dengan minyak impor. Selain itu kenaikan harga minyak disebut tidak serta merta langsung menguntungkan emiten sektor migas.
Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana menyampaikan OPEC ingin menjaga harga minyak salah satunya dengan mengontrol dari sisi pasokan atau produksi.
Menurutnya peningkatan harga minyak tahun ini tidak terlalu signifikan, minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) akhir tahun lalu berada di level US$ 52/barel dan sekarang menjadi sekitar US$ 56/barel.
"Tapi si sisi lain ongkos produksi juga akan terus naik. Kalau bicara minyak OPEC melakukan pemangkasan [demi] menaikkan harga minyak di sisi emiten mungkin akan positif," terangnya (Selasa, 02/12/2019).
Lebih lanjut, dia mengatakan kebutuhan minyak Indonesia dalam sehari mencapai 1,7 juta barel. Sementara produksinya hanya sekitar 800 ribuan barel. "Jadi kita impor akan sangat besar sekali jadi peningkatan harga minyak otomatis akan sangat membebani APBN," terangnya.
Dari sisi emiten minyak, imbuhnya, tidak terlalu banyak yang terdaftar di bursa, yang paling besar adalah PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC).
Dari sisi laporan keuangan, menurut dia, MEDC juga kurang baik karena menyedot minyak dari Indonesia, berbeda dengan di Arab Saudi yang menguntungkan secara geografis. Di Indonesia, katanya, banyak produksi minyak yang lepas pantai (offshore) sehingga ongkos produksinya relatif besar.
Mengacu laporan keuangan MEDC per semester I-2019, emiten migas milik pengusaha Arifin Panigoro itu mengantongi laba periode berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk senilai US$ 27,86 juta, turun 32,76% secara tahunan dari US$41,44 juta pada semester pertama tahun lalu.
"Jadi harga minyak di level US$ 50-60/barel belum tentu profit bisa tutup ongkos produksi. Medco sendiri untuk laporan keuangannya tidak begitu baik," ungkapnya.
Tertarik koleksi saham Saudi Aramco?
(tas/tas) Next Article Harga Minyak Dunia Anjlok Lebih Dari 2% Dalam Sepekan
"Kami melihat adanya risiko kelebihan pasokan pada triwulan pertama tahun depan karena penurunan permintaan musiman untuk produk olahan maupun minyak mentah" kata Alexander Novak selaku Menteri Energi Rusia, dikutip dari CNBC International.
OPEC+ sebelumnya sudah membuat komitmen untuk memangkas produksi minyak 1,2 juta bph. Pada pertemuan Juni lalu, OPEC+ memutuskan untuk memperpanjang periode pemangkasan produksi minyak sampai Maret 2020. OPEC dan aliansinya akan mulai memangkas produksi minyak sebanyak 1,7 juta bph atau 1,7% dari total produksi global.
Rencana perpanjangan periode pemangkasan produksi minyak dunia oleh OPEC+ diyakini dapat mendorong harga minyak. Namun demikian, analis melihat kondisi ini akan membebani APBN, mengingat Indonesia masih sangat tergantung dengan minyak impor. Selain itu kenaikan harga minyak disebut tidak serta merta langsung menguntungkan emiten sektor migas.
Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana menyampaikan OPEC ingin menjaga harga minyak salah satunya dengan mengontrol dari sisi pasokan atau produksi.
Menurutnya peningkatan harga minyak tahun ini tidak terlalu signifikan, minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) akhir tahun lalu berada di level US$ 52/barel dan sekarang menjadi sekitar US$ 56/barel.
"Tapi si sisi lain ongkos produksi juga akan terus naik. Kalau bicara minyak OPEC melakukan pemangkasan [demi] menaikkan harga minyak di sisi emiten mungkin akan positif," terangnya (Selasa, 02/12/2019).
Lebih lanjut, dia mengatakan kebutuhan minyak Indonesia dalam sehari mencapai 1,7 juta barel. Sementara produksinya hanya sekitar 800 ribuan barel. "Jadi kita impor akan sangat besar sekali jadi peningkatan harga minyak otomatis akan sangat membebani APBN," terangnya.
Dari sisi emiten minyak, imbuhnya, tidak terlalu banyak yang terdaftar di bursa, yang paling besar adalah PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC).
Mengacu laporan keuangan MEDC per semester I-2019, emiten migas milik pengusaha Arifin Panigoro itu mengantongi laba periode berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk senilai US$ 27,86 juta, turun 32,76% secara tahunan dari US$41,44 juta pada semester pertama tahun lalu.
"Jadi harga minyak di level US$ 50-60/barel belum tentu profit bisa tutup ongkos produksi. Medco sendiri untuk laporan keuangannya tidak begitu baik," ungkapnya.
Tertarik koleksi saham Saudi Aramco?
(tas/tas) Next Article Harga Minyak Dunia Anjlok Lebih Dari 2% Dalam Sepekan
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular