Luhut Bermimpi Dolar AS di Bawah Rp 10.000, Penting Gak Sih?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
07 December 2019 21:10
Luhut Bermimpi Dolar AS di Bawah Rp 10.000, Penting Gak Sih?
Foto: Luhut Binsar Pandjaitan, (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan memproyeksikan kurs rupiah bisa berada di bawah Rp 10.000/dolar AS.

Menurutnya, hal itu bisa terjadi seiring dengan membaiknya defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) Indonesia dalam tiga tahun ke depan.


Proyeksi tersebut bisa dibilang sangat optimistis. Mungkin, luhut merupakan satu-satunya pihak yang berani memproyeksikan bahwa rupiah akan merangsek ke bawah level Rp 10.000/dolar AS dalam rentang waktu yang begitu pendek.

"Rupiah bisa di bawah Rp 10.000 per dolar AS, cadangan dolar AS naik. Ekonomi tumbuh ke depan," kata Luhut di kantornya, Selasa (3/12), seperti dikutip dari CNN Indonesia.

Dirinya memperkirakan CAD dalam dua hingga tiga tahun ke depan bisa ditekan ke kisaran US$ 1 miliar. Sebagai catatan, data terakhir yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia (BI) menunjukkan CAD pada kuartal III-2019 adalah senilai US$ 7,67 miliar atau setara dengan 2,66% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Menurut Luhut, perbaikan CAD akan didukung oleh implementasi program mandatori campuran biodiesel 20% ke minyak solar (B20) dan mandatori program biodiesel 30% ke minyak solar (B30).

Selain itu, menurut Luhut perbaikan CAD juga akan ditopang oleh potensi kenaikan ekspor dalam dua tahun ke depan. Beberapa komoditas yang pengapalannya akan naik adalah baja, katode, baterai lithium.

"Saya lihat tidak ada masalah lagi," imbuhnya, seperti dikutip dari CNN Indonesia.

Belum lagi jika berbicara sentimen positif dari potensi investasi dan masuknya wisatawan mancanegara yang juga akan memperbaiki kinerja rupiah. Untuk diketahui, investasi dan pariwisata akan menambah stok dolar AS di Indonesia yang pada akhirnya akan membantu rupiah dalam memukul mundur dolar AS.


Proyeksi dari Luhut tersebut jelas bisa dibilang optimistis lantaran per penutupan perdagangan kemarin (6/12/2019), rupiah masih berada di level Rp 14.035/dolar AS di pasar spot. Terdapat jurang yang sangat dalam yang memisahkan rupiah dari posisi saat ini dengan proyeksi dari Luhut yakni di bawah level Rp 10.000/dolar AS.

Analisis dari Tim Riset CNBC Indonesia menunjukkan bahwa sulit bagi rupiah untuk bisa berada di bawah level Rp 10.000/dolar AS. Untuk diketahui, kali terakhir rupiah ditransaksikan di bawah level Rp 10.000/dolar AS adalah pada Juli 2013 silam. Ini artinya, sudah enam tahun lebih rupiah tak pernah berada di level yang diproyeksikan Luhut.



Menurut Tim Riset CNBC Indonesia, ada hal yang jauh lebih mendesak bagi pemerintah ketimbang menargetkan rupiah akan merangsek ke bawah level Rp 10.000/dolar AS, seperti yang dilakukan Luhut.

Berikut adalah hal mendesak yang dimaksud.

Hal mendesak yang harus segera dicari solusinya oleh pemerintah adalah terkait dengan pertumbuhan ekonomi.

Usai sudah periode satu Presiden Joko Widodo (Jokowi), ternyata perekonomian Indonesia gagal meroket seperti yang dijanjikannya. Sekedar mengingatkan, 7% merupakan target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan Jokowi kala berkompetisi melawan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam gelaran pemilihan presiden (Pilpres) 2014.

Tak ada ceritanya janji manis itu terealisasi. Tak usahlah kita berbicara mengenai pertumbuhan ekonomi sebesar 7%, kalau keluar dari batas bawah 5% saja kita tidak bisa.

Melansir data Refinitiv, pada tahun 2015 atau tahun pertama di mana Jokowi menjabat penuh sebagai presiden, pertumbuhan ekonomi justru longsor ke angka 4,79%. Selepas itu, pertumbuhan ekonomi selalu berada di batas bawah 5%.

Teranyar, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi untuk periode kuartal III-2019. Sepanjang kuartal III-2019, BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,02% secara tahunan (year-on-year/YoY).

Angka pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 5,02% tersebut lantas berada di bawah capaian periode kuartal I-2019 dan kuartal II-2019. Capaian tersebut juga jauh lebih rendah dari capaian pada kuartal III-2018 kala perekonomian Indonesia mampu tumbuh 5,17% secara tahunan. Secara kumulatif pada tiga kuartal pertama tahun 2019, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,04% secara tahunan.

Untuk diketahui, pada kuartal I-2019 perekonomian Indonesia tercatat tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan, sementara pada kuartal II-2019 perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan.

Lantas, secara keseluruhan laju perekonomian di sepanjang tahun 2019 terbilang mengecewakan, hampir mustahil untuk mampu tumbuh sesuai dengan target pemerintah yang sebesar 5,3%.



Oh ya, pertumbuhan ekonomi di periode satu Jokowi juga kerap kali berada di bawah target yang dicanangkan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ataupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) yang jauh lebih konservatif ketimbang janji manisnya kala berkampanye yang sebesar 7%.

Sedikit mundur ke tahun 2017, perekonomian ditargetkan tumbuh sebesar 5,1% dalam APBN. Pemerintah kemudian seakan menyombongkan diri dengan menaikkan targetnya menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Padahal, biasanya target pertumbuhan ekonomi dalam APBNP justru diturunkan. Realisasinya, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,07% pada tahun 2017.

Pada tahun 2018, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,17%. Padahal, pemerintah mematok target sebesar 5,4%. Ada selisih yang sangat jauh antara target dan realisasi.

Banyak pihak mengatakan: “Ah, perekonomian global kan sedang melambat, wajar dong kalau Jokowi kesulitan merealisasikan janjinya.”

Alasan ini juga kerap kali diungkapkan sendiri oleh Jokowi dan deretan menterinya. Pada bulan Agustus, CNBC Indonesia berkesempatan untuk bertemu dan berbincang dengan Jokowi di Istana Bogor.

Jokowi menyebutkan bahwa kondisi perekonomian dunia saat ini tengah dipenuhi ketidakpastian. Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China menjadi salah satu penyebab utamanya. Ekonomi Indonesia yang masih tumbuh di atas 5%, menurut Jokowi, haruslah disyukuri.

"Setiap waktu tantangan berbeda-beda, ada tim ekonomi baru dan tetap itu tantangannya berbeda. Saya sangat bersyukur, karena negara lain pertumbuhan ekonominya turun bahkan minus, kalau kita tidak bersyukur ekonomi tumbuh di atas 5% namanya kufur nikmat. Bagaimana sih kita ini, coba lihat tetangga-tetangga yang di dekat kita," papar Jokowi.

Memang benar perekonomian global cenderung melambat di era kepemimpinan Jokowi. Pada tahun 2014 kala Jokowi dilantik sebagai presiden dan resmi menjalani periode satunya, International Monetary Fund (IMF) mencatat bahwa perekonomian global tumbuh sebesar 3,587%. Di tahun yang sama, BPS mencatat perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,01%.

Di tahun 2015 atau tahun pertama di mana Jokowi menjabat secara penuh sebagai presiden, perekonomian global tumbuh melambat ke level 3,455%. Di saat yang sama, pertumbuhan ekonomi Indonesia ambruk ke level 4,79%.

Tapi, ternyata tak seluruh negara-negara tetangga mengalami nasib seperti Indonesia. Dari deretan negara-negara yang masuk ke dalam kelompok ASEAN-5 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam), ada dua negara yang mampu mencatatkan lonjakan pertumbuhan ekonomi, yakni Thailand dan Vietnam.

IMF mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi Thailand melonjak ke level 3,134% pada tahun 2015, dari yang sebelumnya 0,984% pada tahun 2014. Sementara untuk Vietnam, pertumbuhan ekonomi tahun 2015 melonjak menjadi 6,679%, dari yang sebelumnya 5,984% pada tahun 2014.

Kalau dibandingkan dengan yang pertumbuhannya sama-sama melambat pun, kondisi Indonesia tak bisa dibilang baik. Pada tahun 2015 kala pertumbuhan ekonomi global terkontraksi sebesar 0,13 persentase poin jika dibandingkan dengan capaian tahun 2014, pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam periode yang sama terkontraksi hingga 0,22 persentase poin. Padahal, Filipina bisa menjaga kontaksinya menjadi hanya sebesar 0,08 persentase poin.

Lebih lanjut, walaupun cenderung melambat di era kepemimpinan Jokowi, ada kalanya perekonomian global bisa membukukan pertumbuhan yang lebih tinggi, tepatnya pada tahun 2017.

Pada tahun 2017, IMF mencatat pertumbuhan ekonomi global melonjak menjadi 3,811%, dari yang sebelumnya 3,39% pada tahun 2016, menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2011.

Jika dihitung, pertumbuhan ekonomi global dari tahun 2016 ke tahun 2017 mengalami lonjakan sebesar 0,42 persentase poin. Di sisi lain, tambahan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam periode yang sama (2016 ke 2017) hanya sebesar 0,05 persentase poin.

Padahal, tambahan pertumbuhan ekonomi Thailand kala itu mencapai 0,67 persentase poin, sementara tambahan pertumbuhan ekonomi Vietnam adalah sebesar 0,6 persentase poin. Bahkan, lonjakan pertumbuhan ekonomi Malaysia kala itu mencapai 1,29 persentase poin. Terlihat jelas bahwa perekonomian Indonesia tak bisa memanfaatkan momentum yang ada.

Beralih ke tahun 2018, pertumbuhan ekonomi global berkurang 0,21 persentase poin jika dibandingkan dengan capaian tahun 2017. Pada saat yang sama, perekonomian Indonesia secara sekilas terlihat cukup oke. Pertumbuhan ekonomi Indonesia bertambah 0,1 persentase poin jika dibandingkan dengan capaian tahun 2017.

Namun, capaian ini lagi-lagi kalah jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Pada tahun 2018, tambahan pertumbuhan ekonomi Thailand mencapai 0,11 persentase poin, sementara tambahan pertumbuhan ekonomi Vietnam mencapai 0,26 persentase poin.

 

“Kenapa sih pertumbuhan ekonomi Indonesia harus tinggi?”

Jawabannya: kesejahteraan masyarakat. Kala perekonomian tumbuh dengan pesat, penciptaan lapangan pekerjaan akan tumbuh dengan pesat pula sehingga pengangguran menjadi lebih mudah diberantas. Selain itu, upaya pengentasan kemiskinan juga akan lebih mudah dilakukan.

Berbicara mengenai pengangguran, belum lama ini BPS merilis data pengangguran terbaru. Per Agustus 2019, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia berada di level 5,28%. Tingkat pengangguran terbuka di Indonesia terlihat begitu sulit untuk ditekan ke bawah 5%.



Tingkat pengangguran di Indonesia bahkan merupakan salah satu yang tertinggi jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Dari beberapa negara di kawasan Asia yang kami kumpulkan datanya, tingkat pengangguran di Indonesia merupakan yang tertinggi ketiga.

Ekonomi Thailand boleh cuma tumbuh 2,3%, tapi tingkat penganggurannya ternyata bahkan tak sampai 1%. Kacaunya, Vietnam yang tingkat penganggurannya hanya 2,17%, perekonomiannya masih tumbuh dengan fantastis, melebihi level 7%. Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, tentu performa perekonomian Indonesia tak bisa dibilang menggembirakan.

Salah satu hal yang membuat perekonomian terus saja terpuruk dan kalah dari negara-negara tetangga adalah fakta bahwa Indonesia kalah seksi jika dibandingkan dengan mereka.

Sejatinya, walau perang dagang AS-China menggelora, kalau ada negara negara yang sudah bersiap diri, justru perang dagang AS-China bisa membawa berkah tersendiri bagi mereka.

Untuk diketahui, dalam perang dagang antar dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tersebut, AS dan China sudah mengenakan bea masuk untuk produk impor dari masing-masing negara senilai ratusan miliar.

Alhasil, pengusaha yang memiliki pabrik di China pun memutar otak guna menghindari bea masuk yang membuat produknya menjadi kurang kompetitif di pasar AS. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan merelokasi pabrik ke negara-negara lain yang upah buruhnya masih rendah. Negara-negara Asia seperti Indonesia masuk ke dalam kelompok ini.

Namun ternyata, dari puluhan pengusaha yang sebelumnya beroperasi di China, tak ada satupun yang merelokasi pabriknya ke Indonesia. Hal ini disampaikan sendiri oleh Jokowi.

"Dari investor-investor yang kita temui, dan catatan yang disampaikan Bank Dunia (World Bank) kepada kita, dua bulan yang lalu ada 33 perusahaan di Tiongkok keluar, 23 memilih Vietnam, 10 lainnya pergi ke Malaysia, Thailand, Kamboja. Nggak ada yang ke kita," tegas Jokowi pada awal September silam kala membuka rapat terbatas mengenai perkembangan ekonomi dunia.

Belum lama ini, World Economic Forum merilis publikasi The Global Competitiveness Report edisi 2019. Publikasi ini berisi kajian dari World Economic Forum terkait dengan daya saing dari berbagai negara di belahan dunia.

Pada tahun 2019, Indonesia berada di posisi 50 dari total 141 negara yang disurvei oleh World Economic Forum. Posisi Indonesia pada tahun 2019 melorot hingga lima peringkat jika dibandingkan posisi pada tahun 2018.

Skor Global Competitiveness Index 4.0 Indonesia pada tahun 2019 adalah sebesar 64,6, turun 0,3 poin jika dibandingkan capaian tahun 2018.

Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Timur dan Pasifik, Indonesia berada di posisi 10. Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, posisi Indonesia adalah di peringkat empat. Indonesia kalah dari Singapura (peringkat 1), Malaysia (peringkat 27), dan Thailand (peringkat 40).

Untuk Vietnam, peringkatnya memang masih di posisi 67, kalah jauh dari Indonesia. Namun, posisi Vietnam membaik hingga 10 peringkat jika dibandingkan dengan posisi di tahun 2018. Dari total 141 negara yang disurvei oleh World Economic Forum, lonjakan sebesar 10 peringkat yang dicatatkan oleh Vietnam merupakan yang terbaik.

Pengusaha pun melihat bahwa Vietnam memiliki kesungguhan yang besar untuk meningkatkan daya saingnya. Hal ini pada akhirnya membuat mereka memandang Vietnam lebih seksi ketimbang Indonesia, walaupun sejatinya peringkat Indonesia lebih baik.

Ada empat indikator yang mendasari penilaian dari World Economic Forum terhadap daya saing dari sebuah negara. Keempat indikator tersebut adalah iklim perekonomian, kondisi pasar, kualitas sumber daya manusia, serta ekosistem inovasi. Setiap indikator tersebut memiliki sub-indikatornya masing-masing yang jika ditotal berjumlah 12 sub-indikator.

Khusus untuk Indonesia, ada beberapa sub-indikator yang perlu membuat kita mengelus dada lantaran capaiannya berada di posisi yang jauh dari kata menggembirakan.

Pertama, terkait dengan infrastruktur. Memang, Jokowi sudah banting tulang di periode pertamanya guna memperbaiki kualitas infrastruktur di tanah air yang seringkali membuat pelaku usaha geleng-geleng kepala.

Tapi nyatanya, kualitas infrastruktur Indonesia saat ini masih berada di peringkat 72 dari 141 negara. Jelas dibutuhkan pembangunan infrastruktur yang lebih masif dan cerdas lagi untuk bisa memperbaiki sub-indikator ini.

Kedua, adopsi teknologi informasi dan komunikasi juga membuat Indonesia menjadi negara yang lemah daya saingnya. Di sub-indikator ini, Indonesia menempati peringkat 72 dari 141 negara.

Ketiga, pasar tenaga kerja Indonesia patut mendapatkan perhatian dari pemerintah. Kondisi pasar tenaga kerja Indonesia menempati peringkat 85 dari 141 negara.

Yang paling mengenaskan adalah ketika melihat indikator kualitas sumber daya manusia, khususnya di sub-indikator kesehatan. Di sub-indikator tersebut, Indonesia menempati peringkat 96 dari 141 negara.

Berbicara mengenai perizinan, Indonesia juga bisa dibilang memprihatinkan dan lagi-lagi faktor ini membuat Indonesia kalah seksi dari negara-negara tetangga.

Belum lama ini, Bank Dunia (World Bank) merilis laporan bertajuk “Doing Business 2019: Training for Reform”. Publikasi ini membandingkan seberapa mudah membuka bisnis di suatu negara jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya.

Ternyata, terlepas dari gelora Jokowi untuk memangkas prosedur perizinan, memulai bisnis di Indonesia masih sangat-amat ribet. Peringkat kemudahan berbisnis Indonesia berada di posisi 73 dari 190 negara yang disurvei Bank Dunia.

Dalam masa kampanye, Jokowi kerap menjanjikan akan mempermudah prosedur perizinan di Indonesia yang terkenal menyulitkan, yang pada akhirnya seringkali menyurutkan minat pengusaha untuk membangun pabrik di tanah air. Pasca terpilih, kebijakan pemangkasan prosedur perizinan dituangkan dalam paket kebijakan ekonomi jilid II.

Namun nyatanya, peringkat Indonesia masih kalah jauh jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Secara berurutan, Malaysia, Thailand, dan Vietnam masing-masing menempati urutan 15, 27, dan 69, semuanya lebih baik daripada Indonesia.

Parahnya lagi, memulai bisnis di Indonesia terbukti lebih ribet dari negara-negara kecil yang kalau disebut namanya, rasanya sulit dipercaya mereka lebih baik dari Indonesia.

Skor Ease of Doing Business (EODB) Indonesia lebih rendah ketimbang Chile, Maroko, Kenya, hingga Peru. Untuk urusan kemudahan memulai bisnis, Chile berada di peringkat 56, Maroko 60, Kenya 61, dan Peru 68.

Ribetnya memulai bisnis di Indonesia bahkan sempat dibuktikan sendiri oleh CNBC Indonesia. Pada Juli 2019, CNBC Indonesia mencoba mendatangi pusat pelayanan Online Singe Submission (OSS) Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sekitar pukul 11.00 WIB untuk mendapatkan informasi terkait syarat mendirikan perusahaan.

Sayangnya, saat tiba di tempat ternyata antrean untuk melakukan konsultasi sudah habis. Petugas help desk di OSS BKPM mengatakan setiap harinya hanya diberikan kuota 200 nomor antrean untuk mengurus perizinan di OSS.

"Kalau mau memang harus datang pagi Mas, sekitar jam 05:00 untuk isi absen. Nanti jam 07:30 baru ambil nomor antrean. Jam 08:00 mulai pelayanan," kata petugas tersebut.

Beberapa orang yang ingin melakukan konsultasi di OSS BKPM tampak kebingungan dan belum mengetahui tentang adanya aturan pembatasan nomor antrean per hari.

Salah satu pegawai perusahaan swasta, Ahmad, mengaku datang dari Bogor dan ditugaskan perusahaannya untuk mengurus perizinan melalui OSS. Dia mengaku tidak tahu soal antrean yang dibatasi hanya 200 orang per harinya.

"Jadinya saya mesti balik lagi nih Mas," keluhnya.

Selain berupaya mendorong perekonomian tumbuh tinggi, pemerintah harus memperhatikan proporsionalitas dari perekonomian itu sendiri. Pasalnya, dari tahun ke tahun, ekonomi Indonesia semakin tak proporsional.

Perlu diketahui bahwa perekonomian terdiri dari dua sektor, yaitu sektor tradable dan sektor non-tradable.

Sektor tradable berisikan industri-industri yang output-nya diperdagangkan secara internasional serta melibatkan proses produksi yang konvensional. Agrikultur, pertambangan, dan manufaktur termasuk ke dalam sektor ini. Pada umumnya, sektor tradable memerlukan banyak tenaga kerja berpendidikan rendah, buruh pabrik misalnya.

Sementara itu, sektor non-tradable pada umumnya terdiri dari sektor-sektor jasa seperti jasa telekomunikasi, transportasi, dan keuangan. Sektor ini memerlukan lebih sedikit tenaga kerja, namun dengan kualifikasi tingkat pendidikan yang lebih tinggi, biasanya dimulai dari jenjang S1 ke atas atau setidaknya diploma.

Terhitung sejak Jokowi mengambil alih posisi RI-1 dari tangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2014 silam, perekonomian Indonesia sudah dikuasai oleh sektor non-tradable. Berdasarkan perhitungan Tim Riset CNBC Indonesia, sektor non-tradable menguasai sebesar 54,8% dari perekonomian Indonesia, sementara porsi dari sektor tradable adalah sebesar 45,2%.

Namun, tahun demi tahun terlewati, sektor non-tradable kian menguasai perekonomian tanah air. Pada tahun 2018, sektor non-tradable menguasai sebesar 57% dari perekonomian Indonesia, sementara porsi dari sektor tradable adalah sebesar 43%. Per sembilan bulan pertama tahun 2019, porsi dari sektor non-tradable terhadap perekonomian Indonesia kembali naik menjadi 57,2%, sementara porsi dari sektor tradable menciut menjadi 42,8%.



Kenaikan porsi sektor non-tradable tidak lain didorong oleh pesatnya pertumbuhan di sektor tersebut, mengalahkan sektor tradable.



Sekilas, tentu menjadi hal yang menggembirakan ketika sektor terbesar dalam ekonomi Indonesia mencatatkan pertumbuhan yang tinggi. Namun di sisi lain, lemahnya pertumbuhan sektor tradable membuat penciptaan lapangan kerja di sektor ini menjadi lambat.

Padahal, lapangan kerja di sektor tradable adalah yang relatif mudah diakses oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas berpendidikan rendah.

Tak heran, seperti yang sudah disebutkan di halaman dua, tingkat pengangguran di Indonesia relatif tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

Jadi, itulah yang seharusnya menjadi fokus pemerintah. Pertumbuhan ekonomi harus didorong setinggi mungkin sembari memperhatikan proporsionalitas dari perekonomian itu sendiri.

Lebih baik lupakan dulu angan-angan untuk membawa rupiah merangsek ke bawah level Rp 10.000/dolar AS karena jelas-jelas ada hal yang jauh lebih krusial yang perlu segera dicari solusinya, yakni mendorong supaya perekonomian tak lagi loyo.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular