Luhut Bermimpi Dolar AS di Bawah Rp 10.000, Penting Gak Sih?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
07 December 2019 21:10
Kalah Seksi, Tak Heran Perekonomian Loyo
Foto: Infografis/RI Impor Handphone Sampai Limbah Kayu dari Vietnam/Arie Pratama

Salah satu hal yang membuat perekonomian terus saja terpuruk dan kalah dari negara-negara tetangga adalah fakta bahwa Indonesia kalah seksi jika dibandingkan dengan mereka.

Sejatinya, walau perang dagang AS-China menggelora, kalau ada negara negara yang sudah bersiap diri, justru perang dagang AS-China bisa membawa berkah tersendiri bagi mereka.

Untuk diketahui, dalam perang dagang antar dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tersebut, AS dan China sudah mengenakan bea masuk untuk produk impor dari masing-masing negara senilai ratusan miliar.

Alhasil, pengusaha yang memiliki pabrik di China pun memutar otak guna menghindari bea masuk yang membuat produknya menjadi kurang kompetitif di pasar AS. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan merelokasi pabrik ke negara-negara lain yang upah buruhnya masih rendah. Negara-negara Asia seperti Indonesia masuk ke dalam kelompok ini.

Namun ternyata, dari puluhan pengusaha yang sebelumnya beroperasi di China, tak ada satupun yang merelokasi pabriknya ke Indonesia. Hal ini disampaikan sendiri oleh Jokowi.

"Dari investor-investor yang kita temui, dan catatan yang disampaikan Bank Dunia (World Bank) kepada kita, dua bulan yang lalu ada 33 perusahaan di Tiongkok keluar, 23 memilih Vietnam, 10 lainnya pergi ke Malaysia, Thailand, Kamboja. Nggak ada yang ke kita," tegas Jokowi pada awal September silam kala membuka rapat terbatas mengenai perkembangan ekonomi dunia.

Belum lama ini, World Economic Forum merilis publikasi The Global Competitiveness Report edisi 2019. Publikasi ini berisi kajian dari World Economic Forum terkait dengan daya saing dari berbagai negara di belahan dunia.

Pada tahun 2019, Indonesia berada di posisi 50 dari total 141 negara yang disurvei oleh World Economic Forum. Posisi Indonesia pada tahun 2019 melorot hingga lima peringkat jika dibandingkan posisi pada tahun 2018.

Skor Global Competitiveness Index 4.0 Indonesia pada tahun 2019 adalah sebesar 64,6, turun 0,3 poin jika dibandingkan capaian tahun 2018.

Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Timur dan Pasifik, Indonesia berada di posisi 10. Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, posisi Indonesia adalah di peringkat empat. Indonesia kalah dari Singapura (peringkat 1), Malaysia (peringkat 27), dan Thailand (peringkat 40).

Untuk Vietnam, peringkatnya memang masih di posisi 67, kalah jauh dari Indonesia. Namun, posisi Vietnam membaik hingga 10 peringkat jika dibandingkan dengan posisi di tahun 2018. Dari total 141 negara yang disurvei oleh World Economic Forum, lonjakan sebesar 10 peringkat yang dicatatkan oleh Vietnam merupakan yang terbaik.

Pengusaha pun melihat bahwa Vietnam memiliki kesungguhan yang besar untuk meningkatkan daya saingnya. Hal ini pada akhirnya membuat mereka memandang Vietnam lebih seksi ketimbang Indonesia, walaupun sejatinya peringkat Indonesia lebih baik.

Ada empat indikator yang mendasari penilaian dari World Economic Forum terhadap daya saing dari sebuah negara. Keempat indikator tersebut adalah iklim perekonomian, kondisi pasar, kualitas sumber daya manusia, serta ekosistem inovasi. Setiap indikator tersebut memiliki sub-indikatornya masing-masing yang jika ditotal berjumlah 12 sub-indikator.

Khusus untuk Indonesia, ada beberapa sub-indikator yang perlu membuat kita mengelus dada lantaran capaiannya berada di posisi yang jauh dari kata menggembirakan.

Pertama, terkait dengan infrastruktur. Memang, Jokowi sudah banting tulang di periode pertamanya guna memperbaiki kualitas infrastruktur di tanah air yang seringkali membuat pelaku usaha geleng-geleng kepala.

Tapi nyatanya, kualitas infrastruktur Indonesia saat ini masih berada di peringkat 72 dari 141 negara. Jelas dibutuhkan pembangunan infrastruktur yang lebih masif dan cerdas lagi untuk bisa memperbaiki sub-indikator ini.

Kedua, adopsi teknologi informasi dan komunikasi juga membuat Indonesia menjadi negara yang lemah daya saingnya. Di sub-indikator ini, Indonesia menempati peringkat 72 dari 141 negara.

Ketiga, pasar tenaga kerja Indonesia patut mendapatkan perhatian dari pemerintah. Kondisi pasar tenaga kerja Indonesia menempati peringkat 85 dari 141 negara.

Yang paling mengenaskan adalah ketika melihat indikator kualitas sumber daya manusia, khususnya di sub-indikator kesehatan. Di sub-indikator tersebut, Indonesia menempati peringkat 96 dari 141 negara.

Berbicara mengenai perizinan, Indonesia juga bisa dibilang memprihatinkan dan lagi-lagi faktor ini membuat Indonesia kalah seksi dari negara-negara tetangga.

Belum lama ini, Bank Dunia (World Bank) merilis laporan bertajuk “Doing Business 2019: Training for Reform”. Publikasi ini membandingkan seberapa mudah membuka bisnis di suatu negara jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya.

Ternyata, terlepas dari gelora Jokowi untuk memangkas prosedur perizinan, memulai bisnis di Indonesia masih sangat-amat ribet. Peringkat kemudahan berbisnis Indonesia berada di posisi 73 dari 190 negara yang disurvei Bank Dunia.

Dalam masa kampanye, Jokowi kerap menjanjikan akan mempermudah prosedur perizinan di Indonesia yang terkenal menyulitkan, yang pada akhirnya seringkali menyurutkan minat pengusaha untuk membangun pabrik di tanah air. Pasca terpilih, kebijakan pemangkasan prosedur perizinan dituangkan dalam paket kebijakan ekonomi jilid II.

Namun nyatanya, peringkat Indonesia masih kalah jauh jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Secara berurutan, Malaysia, Thailand, dan Vietnam masing-masing menempati urutan 15, 27, dan 69, semuanya lebih baik daripada Indonesia.

Parahnya lagi, memulai bisnis di Indonesia terbukti lebih ribet dari negara-negara kecil yang kalau disebut namanya, rasanya sulit dipercaya mereka lebih baik dari Indonesia.

Skor Ease of Doing Business (EODB) Indonesia lebih rendah ketimbang Chile, Maroko, Kenya, hingga Peru. Untuk urusan kemudahan memulai bisnis, Chile berada di peringkat 56, Maroko 60, Kenya 61, dan Peru 68.

Ribetnya memulai bisnis di Indonesia bahkan sempat dibuktikan sendiri oleh CNBC Indonesia. Pada Juli 2019, CNBC Indonesia mencoba mendatangi pusat pelayanan Online Singe Submission (OSS) Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sekitar pukul 11.00 WIB untuk mendapatkan informasi terkait syarat mendirikan perusahaan.

Sayangnya, saat tiba di tempat ternyata antrean untuk melakukan konsultasi sudah habis. Petugas help desk di OSS BKPM mengatakan setiap harinya hanya diberikan kuota 200 nomor antrean untuk mengurus perizinan di OSS.

"Kalau mau memang harus datang pagi Mas, sekitar jam 05:00 untuk isi absen. Nanti jam 07:30 baru ambil nomor antrean. Jam 08:00 mulai pelayanan," kata petugas tersebut.

Beberapa orang yang ingin melakukan konsultasi di OSS BKPM tampak kebingungan dan belum mengetahui tentang adanya aturan pembatasan nomor antrean per hari.

Salah satu pegawai perusahaan swasta, Ahmad, mengaku datang dari Bogor dan ditugaskan perusahaannya untuk mengurus perizinan melalui OSS. Dia mengaku tidak tahu soal antrean yang dibatasi hanya 200 orang per harinya.

"Jadinya saya mesti balik lagi nih Mas," keluhnya.

(ank/ank)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular