
Internasional
Cerita Mantapnya Erdogan Lolos Resesi, Tapi Kepentok Inflasi
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
04 December 2019 11:47

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi Turki sempat masuk ke resesi pada pertengahan 2019. Itu terjadi pasca negara itu mencatatkan kontraksi 2,6% tahun-ke-tahun (year-on-year/YoY) pada kuartal I-2019 dan 1,5% di kuartal II-2019.
Namun, pada kuartal ketiga, ekonomi negeri yang dipimpin Presiden Recep Tayyip Erdogan itu berhasil keluar dari resesi. Di Juli hingga September, ekonomi Turki tumbuh positif yaitu 0,9% secara YoY.
Dari data Turkish Statistical institute (TurtStat), nilai PDB mencapai 1,15 triliun Lira (US$ 201,9 miliar). Ekspor barang dan jasa naik 5,1% YoY sementara impor tumbuh 7,6%.
"Pertumbuhan didukung pertanian naik hingga 3,7%. Sementara industri naik 1,6%, tapi sektor konstruksi justru melemah 7,8%," tulis Reuters mengutip TurstStat.
"Pertumbuhan sektor jasa, yang terdiri dari perdagangan, transportasi, akomodasi dan layanan makanan juga naik. Angkanya mencapai 0,6%."
Namun, mengutip data Trading Economics, tingkat inflasi tahunan Turki meningkat menjadi 10,56% pada November 2019, dari 8,55% pada bulan sebelumnya. Kenaikan ini sedikit di bawah ekspektasi pasar yang sebesar 11%.
Tingkat inflasi di Turki rata-rata 34,70% dari 1965 hingga 2019. Rekor tertinggi sepanjang masa untuk inflasi Turki adalah 138,71% pada Mei 1980 dan rekor terendah -4,01% terjadi pada Juni 1968.
Meski begitu, sebagai mana dilansir dari Hurriyet Daily News, lembaga pemeringkat kredit Fitch menilai ke depan ekonomi Turki tetap akan membaik. Bahkan lebih stabil di 2020.
"Fitch memproyeksikan pemulihan ... di mana akan ada peningkatan pertumbuhan, inflasi turun dan defisit transaksi berjalan terkendali," tulis lembaga itu dalam laporan tentang prospek negara-negara berkembang (emerging) Eropa.
Alasan yang memungkinkan keadaan Turki lebih stabil di antaranya politik yang stabil karena tidak ada Pemilu. Turki baru akan mengadakan Pemilu 2023.
Situasi ini memungkinkan reformasi ekonomi dilakukan semaksimal mungkin. Turki juga berkesempatan untuk menangani masalah lemahnya kredit struktural pada tahun depan.
"Risiko tetap beragam. Lemahnya kredibilitas kebijakan moneter, kebijakan ekonomi, politik, geopolitik dan risiko sanksi dapat memicu serangan volatilitas harga aset. Meskipun kebijakan suku bunga global seharusnya bisa menjaga kondisi pembiayaan eksternal tetap baik," jelas Fitch.
(sef/sef) Next Article Erdogan Mantap! Ekonomi Q3 Positif, Turki Keluar dari Resesi
Namun, pada kuartal ketiga, ekonomi negeri yang dipimpin Presiden Recep Tayyip Erdogan itu berhasil keluar dari resesi. Di Juli hingga September, ekonomi Turki tumbuh positif yaitu 0,9% secara YoY.
Dari data Turkish Statistical institute (TurtStat), nilai PDB mencapai 1,15 triliun Lira (US$ 201,9 miliar). Ekspor barang dan jasa naik 5,1% YoY sementara impor tumbuh 7,6%.
"Pertumbuhan sektor jasa, yang terdiri dari perdagangan, transportasi, akomodasi dan layanan makanan juga naik. Angkanya mencapai 0,6%."
Namun, mengutip data Trading Economics, tingkat inflasi tahunan Turki meningkat menjadi 10,56% pada November 2019, dari 8,55% pada bulan sebelumnya. Kenaikan ini sedikit di bawah ekspektasi pasar yang sebesar 11%.
Tingkat inflasi di Turki rata-rata 34,70% dari 1965 hingga 2019. Rekor tertinggi sepanjang masa untuk inflasi Turki adalah 138,71% pada Mei 1980 dan rekor terendah -4,01% terjadi pada Juni 1968.
Meski begitu, sebagai mana dilansir dari Hurriyet Daily News, lembaga pemeringkat kredit Fitch menilai ke depan ekonomi Turki tetap akan membaik. Bahkan lebih stabil di 2020.
"Fitch memproyeksikan pemulihan ... di mana akan ada peningkatan pertumbuhan, inflasi turun dan defisit transaksi berjalan terkendali," tulis lembaga itu dalam laporan tentang prospek negara-negara berkembang (emerging) Eropa.
Alasan yang memungkinkan keadaan Turki lebih stabil di antaranya politik yang stabil karena tidak ada Pemilu. Turki baru akan mengadakan Pemilu 2023.
Situasi ini memungkinkan reformasi ekonomi dilakukan semaksimal mungkin. Turki juga berkesempatan untuk menangani masalah lemahnya kredit struktural pada tahun depan.
"Risiko tetap beragam. Lemahnya kredibilitas kebijakan moneter, kebijakan ekonomi, politik, geopolitik dan risiko sanksi dapat memicu serangan volatilitas harga aset. Meskipun kebijakan suku bunga global seharusnya bisa menjaga kondisi pembiayaan eksternal tetap baik," jelas Fitch.
(sef/sef) Next Article Erdogan Mantap! Ekonomi Q3 Positif, Turki Keluar dari Resesi
Most Popular