Walau AS-China Dekati Kesepakatan, Pasar Obligasi Tetap Merah

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
27 November 2019 17:55
Pasar obligasi Indonesia menutup perdagangan ketiga di pekan ini, Rabu (27/11/2019), di zona merah.
Foto: Infografis/ Kronologi perang dagang AS-China belum temukan titik terang/Aristya Rahadian Krisabella

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar obligasi Indonesia menutup perdagangan ketiga di pekan ini, Rabu (27/11/2019), di zona merah, setelah sebelumnya juga bergerak di zona merah pada awal perdagangan.

Di pasar obligasi, yang menjadi acuan adalah tenor 5 tahun (FR0077), 10 tahun (FR0078), 15 tahun (FR0068), dan 20 tahun (FR0079). Pada hari ini, imbal hasil obligasi tenor 10, 15, dan 20 tahun naik masing-masing sebesar 1,4 bps (basis poin), 2,6 bps, dan 1,5 bps, sementara imbal hasil obligasi tenor 5 tahun turun 0,5 bps.

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.



Sejatinya, ada sentimen positif yang mewarnai jalannya perdagangan di pasar obligasi Tanah Air pada hari ini yakni semakin dekatnya AS dan China untuk meneken kesepakatan dagang tahap satu.


Kemarin (26/11/2019), Kementerian Perdagangan China mengumumkan bahwa negosiator dagang dari AS dan China menggelar pembicaraan via sambungan telepon pada pagi hari ini waktu setempat.

Delegasi AS diwakili oleh Menteri Keuangan Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang Robert Lighthizer, sementara Wakil Perdana Menteri China Liu He menjadi perwakilan dari pihak China.

Kementerian Perdagangan China menyebut bahwa kedua belah pihak mendiskusikan permasalahan-permasalahan inti di bidang perdagangan. Kedua belah pihak disebut oleh Beijing setuju untuk tetap berkomunikasi guna menyegel kesepakatan dagang tahap satu.

"Kedua pihak berdiskusi guna menyelesaikan permasalahan-permasalahan inti yang ada, mencapai konsensus terkait cara yang akan digunakan guna menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut, serta setuju untuk tetap berkomunikasi terkait dengan permasalahan-permasalahan yang masih tersisa supaya kesepakatan dagang tahap satu bisa diteken," tulis Kementerian Perdagangan China dalam pernyataan resmi yang dipublikasikan kemarin pagi waktu setempat, Selasa (26/11/2019).


Lantas, perkembangan ini melengkapi pemberitaan terkait dengan perang dagang AS-China sebelumnya yang juga positif.

Dalam publikasi yang dirilis pada akhir pekan kemarin, China mengumumkan bahwa pihaknya akan menaikkan besaran denda bagi pihak-pihak yang melakukan pelanggaran di bidang hak kekayaan intelektual, seperti dilansir dari CNBC International.

Seperti yang diketahui, pelanggaran dalam hal hak kekayaan intelektual merupakan salah satu faktor dibalik meletusnya perang dagang AS-China. Sebelumnya, China bersikukuh supaya AS tak mengutak-atik masalah ini dan fokus terhadap masalah yang menurut mereka lebih mudah untuk dibenahi yakni defisit neraca dagang AS dengan China.

Melunaknya China di bidang hak kekayaan intelektual dengan membebankan denda yang lebih tinggi bagi sang pelanggar menunjukkan bahwa Beijing semakin membuka diri untuk meneken kesepakatan dagang tahap satu dengan AS.


Lebih lanjut, kemarin waktu setempat Presiden AS Donald Trump mengungkapkan bahwa pembahasan terkait kesepakatan dagang tahap satu dengan China sudah hampir selesai pasca negosiator tingkat tinggi dari kedua negara menggelar pembicaraan via sambungan telepon.

"Itu (negosiasi dagang) berjalan dengan sangat baik," kata Trump, seperti dilansir dari Bloomberg.

Untuk diketahui, sejauh ini AS telah mengenakan bea masuk tambahan bagi senilai lebih dari US$ 500 miliar produk impor asal China, sementara Beijing membalas dengan mengenakan bea masuk tambahan bagi produk impor asal AS senilai kurang lebih US$ 110 miliar.

Jika kesepakatan dagang tahap satu berhasil diteken, perputaran roda perekonomian AS dan China, berikut dengan perputaran roda perekonomian dunia, akan menjadi lebih kencang.

Sentimen negatif dari dalam negeri menjadi faktor yang memantik aksi jual di pasar obligasi tanah air. Sentimen negatif yang dimaksud adalah ekspektasi bahwa inflasi akan menanjak di bulan ini.

Beberapa hari yang lalu, Bank Indonesia (BI) mengumumkan hasil survei pemantauan harga (SPH) yang dilakukan hingga minggu ketiga November 2019.

Hasilnya, tingkat inflasi secara bulanan berada di level 0,18%, sementara tingkat inflasi secara tahunan berada di level 3,04%.  Jika tingkat inflasi di bulan November benar berada di level 0,18% secara bulanan, maka akan menjadi tingkat inflasi tertinggi dalam empat bulan.

Untuk diketahui, inflasi merupakan variabel yang sangat penting dalam menentukan keputusan investasi di pasar obligasi.

Jika inflasi rendah, maka obligasi akan menjadi menarik lantaran menawarkan real interest rate yang lebih tinggi. Sebaliknya, jika inflasi tinggi, maka real interest rate akan menjadi lebih rendah sehingga obligasi tidak menarik.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ank/tas) Next Article Laris Manis! RI Sukses Jual Surat Utang dalam Dolar dan Euro

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular