
Risiko AS-China Cerai Terbuka, IHSG Anjlok 4 Hari Beruntun
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
26 November 2019 16:42

Meskipun demikian, analis skeptis bahwa kelanjutan dialog dagang dapat menjamin dicapainya kesepakatan fase pertama. “Ini bukannya seperti mereka menyetujui kesepakatan fase pertama. Mereka hanya setuju untuk melanjutkan diskusi,” ujar Direktur Valas MUFG Bank, Singo Sato, seperti dikutip dari Reuters.
Belum lagi, ada beberapa risiko AS-China tidak bisa dipertemukan. Hal ini mempertimbangkan niat AS yang tampaknya masih akan mencampuri urusan dalam negeri China.
Untuk diketahui, Kongres AS telah menyetujui undang-undang penegakan hak asasi manusia di Hong Kong dan tinggal menunggu persetujuan Presiden AS Donald Trump untuk dapat berlaku efektif.
Lalu, fakta bahwa sepertinya sulit bagi Washington untuk membukukan surplus perdagangan dengan China, di mana hal ini mengakibatkan Presiden AS Donald Trump dengan tegas mengatakan bahwa kesepakatan dagang dengan China tidak dapat imbang karena kepentingan Negeri Paman Sam harus diutamakan.
Neraca perdagangan internasional AS telah menderita selama bertahun-tahun karena terus mengalami defisit atas transaksi dagang dengan China. Pada Januari-September 2019, AS mengalami defisit US$ 263,19 miliar kala berdagang dengan China. Tahun lalu, AS juga tekor US$ 419,53 miliar.
Di lain pihak, peluang bahwa Bank Sentral AS (The Fed) akan menahan suku bunga acuan pada pertemuan 11 Desember mendatang, membuat instrumen berbasis dolar AS menjadi lebih menarik dibandingkan dengan aset keuangan berbasis rupiah.
Hal ini mengingat dalam Gubernur The Fed Jerome Powell menyampaikan bahwa kebijakan moneter yang ditempuh The Fed sudah tepat dan ekonomi AS masih terus ekspansif.
"Dampak dari ekspansi ekonomi sekarang sudah dirasakan oleh masyarakat. Masih banyak yang akan dirasakan ke depan. Walau ekspansi ekonomi yang terjadi lebih lambat dari perkiraan kami sebelumnya," kata Powell, seperti diberitakan Reuters.
Belum lama ini rilis data, IHS Markit merilis angka pembacaan awal Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur AS periode November yang sebesar 52,2. Naik dibandingkan Oktober yaitu 51,3.
Kemudian, pembacaan awal PMI sektor jasa periode November menunjukkan angka 51,6. Juga naik dibandingkan Oktober yang sebesar 50,6.
Mempertimbangkan kondisi tersebut wajar saja jika pasar saham negara berkembang seperti Indonesia kurang menarik minat pelaku pasar, terutama investor asing.
Pada penutupan perdagangan hari ini, penanam modal asing membukukan aksi jual bersih (net sell) hingga Rp 1,57 triliun. Saham-saham yang banyak dilego investor asing termasuk PT Surya Citra Media Tbk/SCMA (Rp 332,92 miliar), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 271,28 miliar), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 43,77 miliar).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/tas)
Belum lagi, ada beberapa risiko AS-China tidak bisa dipertemukan. Hal ini mempertimbangkan niat AS yang tampaknya masih akan mencampuri urusan dalam negeri China.
Untuk diketahui, Kongres AS telah menyetujui undang-undang penegakan hak asasi manusia di Hong Kong dan tinggal menunggu persetujuan Presiden AS Donald Trump untuk dapat berlaku efektif.
Lalu, fakta bahwa sepertinya sulit bagi Washington untuk membukukan surplus perdagangan dengan China, di mana hal ini mengakibatkan Presiden AS Donald Trump dengan tegas mengatakan bahwa kesepakatan dagang dengan China tidak dapat imbang karena kepentingan Negeri Paman Sam harus diutamakan.
Neraca perdagangan internasional AS telah menderita selama bertahun-tahun karena terus mengalami defisit atas transaksi dagang dengan China. Pada Januari-September 2019, AS mengalami defisit US$ 263,19 miliar kala berdagang dengan China. Tahun lalu, AS juga tekor US$ 419,53 miliar.
Di lain pihak, peluang bahwa Bank Sentral AS (The Fed) akan menahan suku bunga acuan pada pertemuan 11 Desember mendatang, membuat instrumen berbasis dolar AS menjadi lebih menarik dibandingkan dengan aset keuangan berbasis rupiah.
Hal ini mengingat dalam Gubernur The Fed Jerome Powell menyampaikan bahwa kebijakan moneter yang ditempuh The Fed sudah tepat dan ekonomi AS masih terus ekspansif.
"Dampak dari ekspansi ekonomi sekarang sudah dirasakan oleh masyarakat. Masih banyak yang akan dirasakan ke depan. Walau ekspansi ekonomi yang terjadi lebih lambat dari perkiraan kami sebelumnya," kata Powell, seperti diberitakan Reuters.
Belum lama ini rilis data, IHS Markit merilis angka pembacaan awal Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur AS periode November yang sebesar 52,2. Naik dibandingkan Oktober yaitu 51,3.
Kemudian, pembacaan awal PMI sektor jasa periode November menunjukkan angka 51,6. Juga naik dibandingkan Oktober yang sebesar 50,6.
Mempertimbangkan kondisi tersebut wajar saja jika pasar saham negara berkembang seperti Indonesia kurang menarik minat pelaku pasar, terutama investor asing.
Pada penutupan perdagangan hari ini, penanam modal asing membukukan aksi jual bersih (net sell) hingga Rp 1,57 triliun. Saham-saham yang banyak dilego investor asing termasuk PT Surya Citra Media Tbk/SCMA (Rp 332,92 miliar), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 271,28 miliar), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 43,77 miliar).
TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages
Most Popular