
Risiko AS-China Cerai Terbuka, IHSG Anjlok 4 Hari Beruntun
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
26 November 2019 16:42

Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan hari ini (26/11/2019) dengan naik 0,34%, pada sesi I perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencoba untuk tetap mencatatkan penguatan.
Sayangnya, memasuki sesi II perdagangan, bursa saham acuan Indonesia justru terus tertekan dan akhirnya harus pasrah ditutup melemah 0,73% menjadi 6.026,19 indeks poin.
Ini berarti sudah 4 hari beruntun, IHSG terus finis di zona merah dengan total koreksi 2,09%.
Saham-saham yang turut menekan kinerja IHSG dari sisi nilai transaksi termasuk PT Indah Kiat Pulp and Paper Tbk/INKP (-5,76%), PT Gudang Garam Tbk/GGRM (-5,65%), PT HM Sampoerna Tbk/HMSP (-4,48%), PT United Tractors Tbk/UNTR (-4,36%), dan PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (-3,7%)
Performa IHSG searah dengan mayoritas bursa saham utama di kawasan Asia yang juga melemah. Indeks Hang Seng turun 0,29%, indeks Straits Times melemah 0,14% dan indeks Kospi melemah 0,1%. Sedangkan indeks Nikkei menguat 0,35% dan indeks Shanghai cenderung konstan dengan naik tipis 0,03%
Beberapa bursa saham acuan Benua Kuning mampu mencatatkan penguatan didukung oleh optimisme bahwa dua kekuatan ekonomi terbesar dunia, yakni Amerika Serikat (AS) dan China, dapat menekan kesepakatan dagang fase pertama dalam waktu dekat.
Hal ini terlihat dari sikap perwakilan dagang kedua negara yang terus berupaya melanjutkan diskusi untuk menyelesaikan isu yang menghambat kata sepakat.
Merujuk pada pernyataan resmi Kementerian Perdagangan China, perwakilan dagang kedua negara telah melakukan diskusi melalui telepon untuk menyelesaikan isu inti yang menjadi perhatian kedua belah pihak.
"Kedua belah pihak telah mendiskusikan penyelesaian isu-isu inti yang menjadi perhatian bersama, mencapai konsensus tentang bagaimana menyelesaikan masalah terkait (dan) setuju untuk tetap berkomunikasi membahas isu-isu yang tersisa untuk perjanjian fase pertama," merujuk terjemahan situs Kementerian Perdagangan China, dilansir CNBC International.
Kemudian, kemarin (25/11/2019) Global Times (tabloid yang berafiliasi dengan Partai Komunis China) mewartakan bahwa AS-China sudah sangat dekat untuk menyepakati perjanjian dagang Fase I. Bahkan kedua negara siap untuk melanjutkan ke fase berikutnya.
"Bertentangan dengan apa yang dilaporkan berbagai media, China dan AS sudah sangat dengan kesepakatan damai dagang Fase I. China tetap berkomitmen untuk melanjutkan dialog untuk Fase II atau bahkan Fase III dengan AS, berdasarkan kesetaraan," cuit akut Twitter Global Times. Meskipun demikian, analis skeptis bahwa kelanjutan dialog dagang dapat menjamin dicapainya kesepakatan fase pertama. “Ini bukannya seperti mereka menyetujui kesepakatan fase pertama. Mereka hanya setuju untuk melanjutkan diskusi,” ujar Direktur Valas MUFG Bank, Singo Sato, seperti dikutip dari Reuters.
Belum lagi, ada beberapa risiko AS-China tidak bisa dipertemukan. Hal ini mempertimbangkan niat AS yang tampaknya masih akan mencampuri urusan dalam negeri China.
Untuk diketahui, Kongres AS telah menyetujui undang-undang penegakan hak asasi manusia di Hong Kong dan tinggal menunggu persetujuan Presiden AS Donald Trump untuk dapat berlaku efektif.
Lalu, fakta bahwa sepertinya sulit bagi Washington untuk membukukan surplus perdagangan dengan China, di mana hal ini mengakibatkan Presiden AS Donald Trump dengan tegas mengatakan bahwa kesepakatan dagang dengan China tidak dapat imbang karena kepentingan Negeri Paman Sam harus diutamakan.
Neraca perdagangan internasional AS telah menderita selama bertahun-tahun karena terus mengalami defisit atas transaksi dagang dengan China. Pada Januari-September 2019, AS mengalami defisit US$ 263,19 miliar kala berdagang dengan China. Tahun lalu, AS juga tekor US$ 419,53 miliar.
Di lain pihak, peluang bahwa Bank Sentral AS (The Fed) akan menahan suku bunga acuan pada pertemuan 11 Desember mendatang, membuat instrumen berbasis dolar AS menjadi lebih menarik dibandingkan dengan aset keuangan berbasis rupiah.
Hal ini mengingat dalam Gubernur The Fed Jerome Powell menyampaikan bahwa kebijakan moneter yang ditempuh The Fed sudah tepat dan ekonomi AS masih terus ekspansif.
"Dampak dari ekspansi ekonomi sekarang sudah dirasakan oleh masyarakat. Masih banyak yang akan dirasakan ke depan. Walau ekspansi ekonomi yang terjadi lebih lambat dari perkiraan kami sebelumnya," kata Powell, seperti diberitakan Reuters.
Belum lama ini rilis data, IHS Markit merilis angka pembacaan awal Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur AS periode November yang sebesar 52,2. Naik dibandingkan Oktober yaitu 51,3.
Kemudian, pembacaan awal PMI sektor jasa periode November menunjukkan angka 51,6. Juga naik dibandingkan Oktober yang sebesar 50,6.
Mempertimbangkan kondisi tersebut wajar saja jika pasar saham negara berkembang seperti Indonesia kurang menarik minat pelaku pasar, terutama investor asing.
Pada penutupan perdagangan hari ini, penanam modal asing membukukan aksi jual bersih (net sell) hingga Rp 1,57 triliun. Saham-saham yang banyak dilego investor asing termasuk PT Surya Citra Media Tbk/SCMA (Rp 332,92 miliar), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 271,28 miliar), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 43,77 miliar).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/tas) Next Article Rasa-Rasanya IHSG Bakal Kayak Roller Coaster Lagi nih!
Sayangnya, memasuki sesi II perdagangan, bursa saham acuan Indonesia justru terus tertekan dan akhirnya harus pasrah ditutup melemah 0,73% menjadi 6.026,19 indeks poin.
Ini berarti sudah 4 hari beruntun, IHSG terus finis di zona merah dengan total koreksi 2,09%.
Saham-saham yang turut menekan kinerja IHSG dari sisi nilai transaksi termasuk PT Indah Kiat Pulp and Paper Tbk/INKP (-5,76%), PT Gudang Garam Tbk/GGRM (-5,65%), PT HM Sampoerna Tbk/HMSP (-4,48%), PT United Tractors Tbk/UNTR (-4,36%), dan PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (-3,7%)
Performa IHSG searah dengan mayoritas bursa saham utama di kawasan Asia yang juga melemah. Indeks Hang Seng turun 0,29%, indeks Straits Times melemah 0,14% dan indeks Kospi melemah 0,1%. Sedangkan indeks Nikkei menguat 0,35% dan indeks Shanghai cenderung konstan dengan naik tipis 0,03%
Beberapa bursa saham acuan Benua Kuning mampu mencatatkan penguatan didukung oleh optimisme bahwa dua kekuatan ekonomi terbesar dunia, yakni Amerika Serikat (AS) dan China, dapat menekan kesepakatan dagang fase pertama dalam waktu dekat.
Hal ini terlihat dari sikap perwakilan dagang kedua negara yang terus berupaya melanjutkan diskusi untuk menyelesaikan isu yang menghambat kata sepakat.
Merujuk pada pernyataan resmi Kementerian Perdagangan China, perwakilan dagang kedua negara telah melakukan diskusi melalui telepon untuk menyelesaikan isu inti yang menjadi perhatian kedua belah pihak.
"Kedua belah pihak telah mendiskusikan penyelesaian isu-isu inti yang menjadi perhatian bersama, mencapai konsensus tentang bagaimana menyelesaikan masalah terkait (dan) setuju untuk tetap berkomunikasi membahas isu-isu yang tersisa untuk perjanjian fase pertama," merujuk terjemahan situs Kementerian Perdagangan China, dilansir CNBC International.
Kemudian, kemarin (25/11/2019) Global Times (tabloid yang berafiliasi dengan Partai Komunis China) mewartakan bahwa AS-China sudah sangat dekat untuk menyepakati perjanjian dagang Fase I. Bahkan kedua negara siap untuk melanjutkan ke fase berikutnya.
"Bertentangan dengan apa yang dilaporkan berbagai media, China dan AS sudah sangat dengan kesepakatan damai dagang Fase I. China tetap berkomitmen untuk melanjutkan dialog untuk Fase II atau bahkan Fase III dengan AS, berdasarkan kesetaraan," cuit akut Twitter Global Times. Meskipun demikian, analis skeptis bahwa kelanjutan dialog dagang dapat menjamin dicapainya kesepakatan fase pertama. “Ini bukannya seperti mereka menyetujui kesepakatan fase pertama. Mereka hanya setuju untuk melanjutkan diskusi,” ujar Direktur Valas MUFG Bank, Singo Sato, seperti dikutip dari Reuters.
Belum lagi, ada beberapa risiko AS-China tidak bisa dipertemukan. Hal ini mempertimbangkan niat AS yang tampaknya masih akan mencampuri urusan dalam negeri China.
Untuk diketahui, Kongres AS telah menyetujui undang-undang penegakan hak asasi manusia di Hong Kong dan tinggal menunggu persetujuan Presiden AS Donald Trump untuk dapat berlaku efektif.
Lalu, fakta bahwa sepertinya sulit bagi Washington untuk membukukan surplus perdagangan dengan China, di mana hal ini mengakibatkan Presiden AS Donald Trump dengan tegas mengatakan bahwa kesepakatan dagang dengan China tidak dapat imbang karena kepentingan Negeri Paman Sam harus diutamakan.
Neraca perdagangan internasional AS telah menderita selama bertahun-tahun karena terus mengalami defisit atas transaksi dagang dengan China. Pada Januari-September 2019, AS mengalami defisit US$ 263,19 miliar kala berdagang dengan China. Tahun lalu, AS juga tekor US$ 419,53 miliar.
Di lain pihak, peluang bahwa Bank Sentral AS (The Fed) akan menahan suku bunga acuan pada pertemuan 11 Desember mendatang, membuat instrumen berbasis dolar AS menjadi lebih menarik dibandingkan dengan aset keuangan berbasis rupiah.
Hal ini mengingat dalam Gubernur The Fed Jerome Powell menyampaikan bahwa kebijakan moneter yang ditempuh The Fed sudah tepat dan ekonomi AS masih terus ekspansif.
"Dampak dari ekspansi ekonomi sekarang sudah dirasakan oleh masyarakat. Masih banyak yang akan dirasakan ke depan. Walau ekspansi ekonomi yang terjadi lebih lambat dari perkiraan kami sebelumnya," kata Powell, seperti diberitakan Reuters.
Belum lama ini rilis data, IHS Markit merilis angka pembacaan awal Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur AS periode November yang sebesar 52,2. Naik dibandingkan Oktober yaitu 51,3.
Kemudian, pembacaan awal PMI sektor jasa periode November menunjukkan angka 51,6. Juga naik dibandingkan Oktober yang sebesar 50,6.
Mempertimbangkan kondisi tersebut wajar saja jika pasar saham negara berkembang seperti Indonesia kurang menarik minat pelaku pasar, terutama investor asing.
Pada penutupan perdagangan hari ini, penanam modal asing membukukan aksi jual bersih (net sell) hingga Rp 1,57 triliun. Saham-saham yang banyak dilego investor asing termasuk PT Surya Citra Media Tbk/SCMA (Rp 332,92 miliar), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 271,28 miliar), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 43,77 miliar).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/tas) Next Article Rasa-Rasanya IHSG Bakal Kayak Roller Coaster Lagi nih!
Most Popular