
Pusing! IHSG Tak Jelas Arahnya, Dibuka Hijau & Sempat Merah
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
26 November 2019 10:01

Meskipun demikian, resiko bahwa damai dagang tidak dapat dicapai masih sangat mungkin terjadi, di mana ini menyebabkan pelaku pasar di Indonesia bersikap defesif. Hal ini mengingat campur tangan AS dalam urusan dalam negeri China dan Hong Kong.
Penasihat Pertahanan Gedung Putih, Robert O’Brien pada Sabtu pekan kemarin (23/11/2019) memang mengatakan bahwa kesepakatan dagang dapat ditekan sebelum akhir tahun, namun O’Brien juga memperingatkan bahwa Presiden AS Donald Trump tidak akan menutup mata terhadap isu hak asasi manusia di Hong Kong.
"Kami berharap bisa mencapai kesepakatan pada akhir tahun, saya masih merasa itu mungkin. Pada saat yang sama, kami juga tidak bisa menutup mata atas apa yang terjadi di Hong Kong atau Laut China Selatan atau wilayah lainnya di mana aktivitas China dinilai mengkhawatirkan," papar O'Brien, dikutip dari Reuters.
Sebagai informasi, Kongres AS sudah menyetujui undang-undang penegakan hak asasi manusia di Hong Kong. Jika aturan ini diterapkan, maka AS bisa menjatuhkan embargo kepada pejabat China yang dinilai melakukan pelanggaran hak asasi manusia di wilayah eks koloni Inggris tersebut.
Beijing tentu tidak terima bila AS ikut campur terlalu jauh dengan urusan dalam negeri mereka. Bisa saja intervensi AS menjadi sandungan bagi tercapainya damai dagang.
Selain itu, Trump menegaskan bahwa kesepakatan dagang dengan China tidak dapat imbang, di mana kepentingan Negeri Paman Sam harus diutamakan. Pasalnya, neraca perdagangan internasional AS telah menderita selama bertahun-tahun karena terus mengalami defisit atas transaksi dagang dengan China.
Pada Januari-September 2019, AS mengalami defisit US$ 263,19 miliar kala berdagang dengan China. Tahun lalu, AS juga tekor US$ 419,53 miliar.
Oleh karena itu, masih ada risiko AS-China tidak bisa dipertemukan. Selama AS masih membukukan defisit perdagangan dengan China, apalagi kalau nilainya semakin parah, maka Trump bakal semakin galak dan perang dagang bisa semakin panjang.
Di lain pihak, pidato terbaru dari Gubernur Bank Sentral AS (The Fed), Jerome Powell, membuat instrumen keuangan berbasis rupiah tidak terlalu menarik dibandingkan dengan safe haven, dolar AS.
Dolar AS memperoleh pelumas setelah Powell menyampaikan, kebijakan moneter yang ditempuh The Fed sudah tepat dan ekonomi AS masih terus ekspansif.
"Dampak dari ekspansi ekonomi sekarang sudah dirasakan oleh masyarakat. Masih banyak yang akan dirasakan ke depan. Walau ekspansi ekonomi yang terjadi lebih lambat dari perkiraan kami sebelumnya," kata Powell, seperti diberitakan Reuters.
TIM RISET CNBC INDONESIA (dwa/dwa)
Penasihat Pertahanan Gedung Putih, Robert O’Brien pada Sabtu pekan kemarin (23/11/2019) memang mengatakan bahwa kesepakatan dagang dapat ditekan sebelum akhir tahun, namun O’Brien juga memperingatkan bahwa Presiden AS Donald Trump tidak akan menutup mata terhadap isu hak asasi manusia di Hong Kong.
"Kami berharap bisa mencapai kesepakatan pada akhir tahun, saya masih merasa itu mungkin. Pada saat yang sama, kami juga tidak bisa menutup mata atas apa yang terjadi di Hong Kong atau Laut China Selatan atau wilayah lainnya di mana aktivitas China dinilai mengkhawatirkan," papar O'Brien, dikutip dari Reuters.
Beijing tentu tidak terima bila AS ikut campur terlalu jauh dengan urusan dalam negeri mereka. Bisa saja intervensi AS menjadi sandungan bagi tercapainya damai dagang.
Selain itu, Trump menegaskan bahwa kesepakatan dagang dengan China tidak dapat imbang, di mana kepentingan Negeri Paman Sam harus diutamakan. Pasalnya, neraca perdagangan internasional AS telah menderita selama bertahun-tahun karena terus mengalami defisit atas transaksi dagang dengan China.
Pada Januari-September 2019, AS mengalami defisit US$ 263,19 miliar kala berdagang dengan China. Tahun lalu, AS juga tekor US$ 419,53 miliar.
Oleh karena itu, masih ada risiko AS-China tidak bisa dipertemukan. Selama AS masih membukukan defisit perdagangan dengan China, apalagi kalau nilainya semakin parah, maka Trump bakal semakin galak dan perang dagang bisa semakin panjang.
Di lain pihak, pidato terbaru dari Gubernur Bank Sentral AS (The Fed), Jerome Powell, membuat instrumen keuangan berbasis rupiah tidak terlalu menarik dibandingkan dengan safe haven, dolar AS.
Dolar AS memperoleh pelumas setelah Powell menyampaikan, kebijakan moneter yang ditempuh The Fed sudah tepat dan ekonomi AS masih terus ekspansif.
"Dampak dari ekspansi ekonomi sekarang sudah dirasakan oleh masyarakat. Masih banyak yang akan dirasakan ke depan. Walau ekspansi ekonomi yang terjadi lebih lambat dari perkiraan kami sebelumnya," kata Powell, seperti diberitakan Reuters.
TIM RISET CNBC INDONESIA (dwa/dwa)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular