
Pusing! IHSG Tak Jelas Arahnya, Dibuka Hijau & Sempat Merah
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
26 November 2019 10:01

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan dibuka menguat pada perdagangan hari ini (26/11/2019) dengan mencatatkan kenaikan 0,34% ke level 6.091,24 indeks poin.
Meskipun seiring berjalannya waktu penguatan yang dibukukan IHSG mulai terkikis dan ada potensi IHSG kembali ditutup melemah pada perdagangan hari ini.
Dari grafik di atas terlihat bahwa pada pukul 09:33 WIB, bursa saham acuan Indonesia telah melipir ke zona merah dengan mencatatkan penurunan 0,05% ke level 6.067,51 indeks poin
Pergerakan IHSG berbanding terbalik dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang mencatatkan penguatan. Indeks Nikkei menguat 0,62%, indeks Kospi naik 0,42%, indeks Hang Seng naik tipis 0,03%. Sedangkan indeks Shanghai dan indeks Straits Times melemah masing-masing 0,14% dan 0,23%.
Bursa saham acuan Benua Kuning kembali mencatatkan reli pada perdagangan pagi hari ini didorong oleh optimisme bahwa dua kekuatan ekonomi terbesar dunia, yakni Amerika Serikat (AS) dan China, benar-benar dapat menekan kesepakatan dagang fase pertama sebelum pergantian tahun.
Merujuk pada pernyataan resmi Kementerian Perdagangan China, CNBC International melaporkan bahwa perwakilan dagang kedua negara telah melakukan diskusi melalui telepon untuk menyelesaikan isu inti yang menjadi perhatian kedua belah pihak.
Sebelumnya, akhir pekan lalu, Presiden AS Donald Trump mengungkapkan dirinya sudah berkomunikasi dengan Presiden China XI Jinping. Hasilnya cukup positif, di mana kesepakatan dagang diperkirakan bisa terjadi dalam waktu dekat.
"Kita akan segera memperoleh kesepakatan dengan China, mungkin sudah dekat," ujar Trump dalam wawancara bersama Fox News, seperti dikutip dari Reuters.
Kemudian, kemarin (25/11/2019) Global Times (tabloid yang berafiliasi dengan Partai Komunis China) mewartakan bahwa AS-China sudah sangat dekat untuk menyepakati perjanjian dagang Fase I. Bahkan kedua negara siap untuk melanjutkan ke fase berikutnya.
"Bertentangan dengan apa yang dilaporkan berbagai media, China dan AS sudah sangat dengan kesepakatan damai dagang Fase I. China tetap berkomitmen untuk melanjutkan dialog untuk Fase II atau bahkan Fase III dengan AS, berdasarkan kesetaraan," cuit akun Twiter Global Times.
Beruntungnya berita yang terus menyampaikan kabar positif bahwa baik AS dan China terlihat benar-benar mengusahakan tercapainya kesepakatan dagang mendongkrak risk appetite investor untuk kembali menggelontorkan dananya di pasar saham Benua Kuning. Meskipun demikian, resiko bahwa damai dagang tidak dapat dicapai masih sangat mungkin terjadi, di mana ini menyebabkan pelaku pasar di Indonesia bersikap defesif. Hal ini mengingat campur tangan AS dalam urusan dalam negeri China dan Hong Kong.
Penasihat Pertahanan Gedung Putih, Robert O’Brien pada Sabtu pekan kemarin (23/11/2019) memang mengatakan bahwa kesepakatan dagang dapat ditekan sebelum akhir tahun, namun O’Brien juga memperingatkan bahwa Presiden AS Donald Trump tidak akan menutup mata terhadap isu hak asasi manusia di Hong Kong.
"Kami berharap bisa mencapai kesepakatan pada akhir tahun, saya masih merasa itu mungkin. Pada saat yang sama, kami juga tidak bisa menutup mata atas apa yang terjadi di Hong Kong atau Laut China Selatan atau wilayah lainnya di mana aktivitas China dinilai mengkhawatirkan," papar O'Brien, dikutip dari Reuters.
Sebagai informasi, Kongres AS sudah menyetujui undang-undang penegakan hak asasi manusia di Hong Kong. Jika aturan ini diterapkan, maka AS bisa menjatuhkan embargo kepada pejabat China yang dinilai melakukan pelanggaran hak asasi manusia di wilayah eks koloni Inggris tersebut.
Beijing tentu tidak terima bila AS ikut campur terlalu jauh dengan urusan dalam negeri mereka. Bisa saja intervensi AS menjadi sandungan bagi tercapainya damai dagang.
Selain itu, Trump menegaskan bahwa kesepakatan dagang dengan China tidak dapat imbang, di mana kepentingan Negeri Paman Sam harus diutamakan. Pasalnya, neraca perdagangan internasional AS telah menderita selama bertahun-tahun karena terus mengalami defisit atas transaksi dagang dengan China.
Pada Januari-September 2019, AS mengalami defisit US$ 263,19 miliar kala berdagang dengan China. Tahun lalu, AS juga tekor US$ 419,53 miliar.
Oleh karena itu, masih ada risiko AS-China tidak bisa dipertemukan. Selama AS masih membukukan defisit perdagangan dengan China, apalagi kalau nilainya semakin parah, maka Trump bakal semakin galak dan perang dagang bisa semakin panjang.
Di lain pihak, pidato terbaru dari Gubernur Bank Sentral AS (The Fed), Jerome Powell, membuat instrumen keuangan berbasis rupiah tidak terlalu menarik dibandingkan dengan safe haven, dolar AS.
Dolar AS memperoleh pelumas setelah Powell menyampaikan, kebijakan moneter yang ditempuh The Fed sudah tepat dan ekonomi AS masih terus ekspansif.
"Dampak dari ekspansi ekonomi sekarang sudah dirasakan oleh masyarakat. Masih banyak yang akan dirasakan ke depan. Walau ekspansi ekonomi yang terjadi lebih lambat dari perkiraan kami sebelumnya," kata Powell, seperti diberitakan Reuters.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/dwa) Next Article Jelang Musim Laporan Keuangan, Ini Emiten Yang Mulai Diborong
Meskipun seiring berjalannya waktu penguatan yang dibukukan IHSG mulai terkikis dan ada potensi IHSG kembali ditutup melemah pada perdagangan hari ini.
Pergerakan IHSG berbanding terbalik dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang mencatatkan penguatan. Indeks Nikkei menguat 0,62%, indeks Kospi naik 0,42%, indeks Hang Seng naik tipis 0,03%. Sedangkan indeks Shanghai dan indeks Straits Times melemah masing-masing 0,14% dan 0,23%.
Bursa saham acuan Benua Kuning kembali mencatatkan reli pada perdagangan pagi hari ini didorong oleh optimisme bahwa dua kekuatan ekonomi terbesar dunia, yakni Amerika Serikat (AS) dan China, benar-benar dapat menekan kesepakatan dagang fase pertama sebelum pergantian tahun.
Merujuk pada pernyataan resmi Kementerian Perdagangan China, CNBC International melaporkan bahwa perwakilan dagang kedua negara telah melakukan diskusi melalui telepon untuk menyelesaikan isu inti yang menjadi perhatian kedua belah pihak.
Sebelumnya, akhir pekan lalu, Presiden AS Donald Trump mengungkapkan dirinya sudah berkomunikasi dengan Presiden China XI Jinping. Hasilnya cukup positif, di mana kesepakatan dagang diperkirakan bisa terjadi dalam waktu dekat.
"Kita akan segera memperoleh kesepakatan dengan China, mungkin sudah dekat," ujar Trump dalam wawancara bersama Fox News, seperti dikutip dari Reuters.
Kemudian, kemarin (25/11/2019) Global Times (tabloid yang berafiliasi dengan Partai Komunis China) mewartakan bahwa AS-China sudah sangat dekat untuk menyepakati perjanjian dagang Fase I. Bahkan kedua negara siap untuk melanjutkan ke fase berikutnya.
"Bertentangan dengan apa yang dilaporkan berbagai media, China dan AS sudah sangat dengan kesepakatan damai dagang Fase I. China tetap berkomitmen untuk melanjutkan dialog untuk Fase II atau bahkan Fase III dengan AS, berdasarkan kesetaraan," cuit akun Twiter Global Times.
Beruntungnya berita yang terus menyampaikan kabar positif bahwa baik AS dan China terlihat benar-benar mengusahakan tercapainya kesepakatan dagang mendongkrak risk appetite investor untuk kembali menggelontorkan dananya di pasar saham Benua Kuning. Meskipun demikian, resiko bahwa damai dagang tidak dapat dicapai masih sangat mungkin terjadi, di mana ini menyebabkan pelaku pasar di Indonesia bersikap defesif. Hal ini mengingat campur tangan AS dalam urusan dalam negeri China dan Hong Kong.
Penasihat Pertahanan Gedung Putih, Robert O’Brien pada Sabtu pekan kemarin (23/11/2019) memang mengatakan bahwa kesepakatan dagang dapat ditekan sebelum akhir tahun, namun O’Brien juga memperingatkan bahwa Presiden AS Donald Trump tidak akan menutup mata terhadap isu hak asasi manusia di Hong Kong.
"Kami berharap bisa mencapai kesepakatan pada akhir tahun, saya masih merasa itu mungkin. Pada saat yang sama, kami juga tidak bisa menutup mata atas apa yang terjadi di Hong Kong atau Laut China Selatan atau wilayah lainnya di mana aktivitas China dinilai mengkhawatirkan," papar O'Brien, dikutip dari Reuters.
Sebagai informasi, Kongres AS sudah menyetujui undang-undang penegakan hak asasi manusia di Hong Kong. Jika aturan ini diterapkan, maka AS bisa menjatuhkan embargo kepada pejabat China yang dinilai melakukan pelanggaran hak asasi manusia di wilayah eks koloni Inggris tersebut.
Beijing tentu tidak terima bila AS ikut campur terlalu jauh dengan urusan dalam negeri mereka. Bisa saja intervensi AS menjadi sandungan bagi tercapainya damai dagang.
Selain itu, Trump menegaskan bahwa kesepakatan dagang dengan China tidak dapat imbang, di mana kepentingan Negeri Paman Sam harus diutamakan. Pasalnya, neraca perdagangan internasional AS telah menderita selama bertahun-tahun karena terus mengalami defisit atas transaksi dagang dengan China.
Pada Januari-September 2019, AS mengalami defisit US$ 263,19 miliar kala berdagang dengan China. Tahun lalu, AS juga tekor US$ 419,53 miliar.
Oleh karena itu, masih ada risiko AS-China tidak bisa dipertemukan. Selama AS masih membukukan defisit perdagangan dengan China, apalagi kalau nilainya semakin parah, maka Trump bakal semakin galak dan perang dagang bisa semakin panjang.
Di lain pihak, pidato terbaru dari Gubernur Bank Sentral AS (The Fed), Jerome Powell, membuat instrumen keuangan berbasis rupiah tidak terlalu menarik dibandingkan dengan safe haven, dolar AS.
Dolar AS memperoleh pelumas setelah Powell menyampaikan, kebijakan moneter yang ditempuh The Fed sudah tepat dan ekonomi AS masih terus ekspansif.
"Dampak dari ekspansi ekonomi sekarang sudah dirasakan oleh masyarakat. Masih banyak yang akan dirasakan ke depan. Walau ekspansi ekonomi yang terjadi lebih lambat dari perkiraan kami sebelumnya," kata Powell, seperti diberitakan Reuters.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/dwa) Next Article Jelang Musim Laporan Keuangan, Ini Emiten Yang Mulai Diborong
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular