Tak Seperti Bursa Asia, No Happy Weekend Buat IHSG

Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
22 November 2019 16:38
Cukupkah Stimulus Ekonomi RI?
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Besar kemungkinan, bursa saham acuan Indonesia diselimuti awan kelabu karena pelaku pasar masih belum puas dengan stimulus perekonomian yang diberikan.

Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) kemarin memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di level 5%. Keputusan ini sesuai dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia, di mana dari 10 ekonom yang berpartisipasi, 9 menyatakan BI akan menahan 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR), dan hanya satu yang memproyeksi pemangkasan BI7DRR.

Namun, secara mengejutkan Gubernur BI Perry Warjiyo justru memutuskan untuk menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 50 basis poin (bps), baik untuk bank umum konvensional dan bank umum syariah, sehingga masing-masing menjadi 5,5% dan 4%. Keputusan ini berlaku per 2 Januari 2020.

Perry berharap, penurunan GWM ini akan menambah likuiditas perbankan menjadi lebih banyak. Dengan penurunan GWM sebesar 50 bps ini maka, secara total perbankan akan menambah likuiditas sebesar Rp 26 triliun.

"Bank umum dengan penurunan 50 bps tambahan likuiditasnya sebesar Rp 24,1 triliun sementara Bank Umum Syariah Rp 1,9 triliun," jelasnya.

Untuk diketahui, rasio GWM mengatur besaran Dana Pihak Ketiga (DPK) milik bank yang harus dititipkan di bank sentral. Jika rasio GWM dilonggarkan, praktis besaran dana yang harus dititipkan di bank sentral menjadi berkurang dan menambah likuiditas perbankan.

Meskipun demikian, timbul pertanyaan apakah pemangkasan GWM tersebut cukup untuk meningkatkan likuiditas perbankan Indonesia dan mendongkrak pertumbuhan kredit?

Pasalnya, terakhir kali BI memangkas GWM 50 basis poin yang berlaku pada 1 Juli 2019, tidak terlihat indikasi likuiditas perbankan melonggar.

Merujuk Statistik Perbankan Indonesia bulan Agustus 2019 yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rasio penyaluran kredit terhadap DPK (dana pihak ketiga) atau Loan to Deposits Ratio (LDR) dari bank umum konvensional pada Juli dan Agustus 2019 masih bertengger di level 94%, di atas batas aman yang ditetapkan BI, yakni 92%.

Tingginya rasio LDR disebabkan oleh pertumbuhan kredit yang tidak disertai dengan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang memadai, di mana tampaknya tren pertumbuhan DPK yang melambat masih terlihat di kuartal terakhir tahun ini.

Berdasarkan survei perbankan BI triwulan III-2019, terlihat bahwa sejak kuartal II-2019 saldo bersih tertimbang (SBT) pertumbuhan DPK menunjukkan tren penurunan. BI bahkan memperkirakan DPK hanya tumbuh 73,3% di kuartal terakhir tahun ini dari sebelumnya 87,1% di kuartal III-2019 dan 95,4% di kuartal I-2019.

Lebih lanjut, sejauh ini BI masih bekerja sendiri, sedangkan dari sisi pemerintah mayoritas masih berupa wacana.

Sejak pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) periode pertama, sudah ada wacana soal penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan. Pada periode kedua, wacana itu kembali digaungkan. Tarif PPh Badan (katanya) akan diturunkan dari 25% menjadi 20%.

Lalu ada wacana soal omnibus law. Aturan ini akan menjadi payung besar yang mencakup 74 UU. Jadi nantinya investor cukup merujuk ke omnibus law, tidak perlu repot-repot memelototi 74 UU.

Kondisi perekonomian Indonesia yang stagnan tentunya tidak hanya membutuhkan dorongan dari sisi moneter, tapi juga dari sisi fiskal (pemerintah). Tanpa dukungan keduanya, peluang roda perekonomian Ibu Pertiwi berputar lebih kencang tampaknya masih minim.

TIM RISET CNBC INDONESIA (dwa/dwa)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular