Tak Seperti Bursa Asia, No Happy Weekend Buat IHSG

Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
22 November 2019 16:38
Tak Seperti Bursa Asia, No Happy Weekend Buat IHSG
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar saham domestik mengakhiri perdagangan pekan ini, Jumat (22/11/2019), dengan kelabu karena Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 0,28% menjadi 6.100,24%.



Saham-saham turut menekan kinerja IHSG dari sisi nilai transaksi (turnover) pada penutupan perdagangan hari ini, di antaranya PT Surya Citra Media Tbk/SCMA (-5,79%), PT AKR Corporindo Tbk/AKRA (-4,8%), PT Waskita Karya Tbk/WSKT (-3,51%), PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk/MIKA (-3,27%), dan PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk/INKP (-2,36%).

Performa IHSG berbanding terbalik dengan mayoritas bursa saham utama Kawasan Asia yang bergerak di zona hijau. Indeks Straits Times melesat 1,15%, indeks Nikkei menguat 0,32%, indeks Kospi naik 0,26%, dan indeks Hang Seng naik 0,48%. Hanya indeks Shanghai yang melemah 0,63%.

Katalis yang menopang penguatan mayoritas bursa saham Benua Kuning asa damai dagang Amerika Serikat (AS) dan China yang masih berpeluang dapat dicapai tahun ini.

Indikasi positif tersebut seiring dengan pernyataan terbaru dari Presiden China Xi Jinping bahwa Negeri Tiongkok menginginkan adanya penandatanganan kesepakatan damai dagang dengan Negeri Paman Sam. Meskipun dirinya tidak takut untuk melawan.

"Kami ingin mengupayakan kesepakatan fase pertama atas dasar saling menghormati dan kesetaraan," ujar Xi kepada reporter di tengah-tengah forum New Economy di Beijing, dikutip dari Reuters.

"Jika dibutuhkan kami akan melawan balik, tetapi kami sudah bekerja secara aktif untuk mencegah perang dagang. Kami tidak menginisiasi friksi dagang ini dan ini bukanlah sesuatu yang kami inginkan," tambah Xi.

Kemarin (21/11/2019), Wall Street Journal (WSJ) menginformasikan bahwa Wakil Perdana Menteri China, Liu He, telah mengundang perwakilan dagang AS Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin untuk berkunjung ke Beijing dan mengadakan diskusi lebih lanjut, dilansir dari CNBC International.

Diskusi lanjutan tersebut diharapkan dapat berlangsung sebelum liburan Thanksgiving, Kamis minggu depan (28/11/2019).

Meskipun belum terdapat informasi apakah pihak Gedung Putih menerima undangan tersebut, tapi perwakilan dagang AS bersedia untuk kembali merapat dengan pihak Negeri Tiongkok.

Semoga saja ini menjadi diskusi terakhir dan pada awal Desember pemimpin kedua negara dapat menekan kesepakatan dagang. Hal ini mengingat tenggat waktu untuk pengenaan bea masuk atas produk impor asal China senilai US$ 156 miliar kurang dari sebulan.

Kembalinya harapan bahwa damai dagang dapat ditekan tahun ini mendorong risk appetite pelaku pasar untuk kembali berburu aset keuangan beresiko, seperti saham.
Besar kemungkinan, bursa saham acuan Indonesia diselimuti awan kelabu karena pelaku pasar masih belum puas dengan stimulus perekonomian yang diberikan.

Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) kemarin memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di level 5%. Keputusan ini sesuai dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia, di mana dari 10 ekonom yang berpartisipasi, 9 menyatakan BI akan menahan 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR), dan hanya satu yang memproyeksi pemangkasan BI7DRR.

Namun, secara mengejutkan Gubernur BI Perry Warjiyo justru memutuskan untuk menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 50 basis poin (bps), baik untuk bank umum konvensional dan bank umum syariah, sehingga masing-masing menjadi 5,5% dan 4%. Keputusan ini berlaku per 2 Januari 2020.

Perry berharap, penurunan GWM ini akan menambah likuiditas perbankan menjadi lebih banyak. Dengan penurunan GWM sebesar 50 bps ini maka, secara total perbankan akan menambah likuiditas sebesar Rp 26 triliun.

"Bank umum dengan penurunan 50 bps tambahan likuiditasnya sebesar Rp 24,1 triliun sementara Bank Umum Syariah Rp 1,9 triliun," jelasnya.

Untuk diketahui, rasio GWM mengatur besaran Dana Pihak Ketiga (DPK) milik bank yang harus dititipkan di bank sentral. Jika rasio GWM dilonggarkan, praktis besaran dana yang harus dititipkan di bank sentral menjadi berkurang dan menambah likuiditas perbankan.

Meskipun demikian, timbul pertanyaan apakah pemangkasan GWM tersebut cukup untuk meningkatkan likuiditas perbankan Indonesia dan mendongkrak pertumbuhan kredit?

Pasalnya, terakhir kali BI memangkas GWM 50 basis poin yang berlaku pada 1 Juli 2019, tidak terlihat indikasi likuiditas perbankan melonggar.

Merujuk Statistik Perbankan Indonesia bulan Agustus 2019 yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rasio penyaluran kredit terhadap DPK (dana pihak ketiga) atau Loan to Deposits Ratio (LDR) dari bank umum konvensional pada Juli dan Agustus 2019 masih bertengger di level 94%, di atas batas aman yang ditetapkan BI, yakni 92%.

Tingginya rasio LDR disebabkan oleh pertumbuhan kredit yang tidak disertai dengan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang memadai, di mana tampaknya tren pertumbuhan DPK yang melambat masih terlihat di kuartal terakhir tahun ini.

Berdasarkan survei perbankan BI triwulan III-2019, terlihat bahwa sejak kuartal II-2019 saldo bersih tertimbang (SBT) pertumbuhan DPK menunjukkan tren penurunan. BI bahkan memperkirakan DPK hanya tumbuh 73,3% di kuartal terakhir tahun ini dari sebelumnya 87,1% di kuartal III-2019 dan 95,4% di kuartal I-2019.

Lebih lanjut, sejauh ini BI masih bekerja sendiri, sedangkan dari sisi pemerintah mayoritas masih berupa wacana.

Sejak pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) periode pertama, sudah ada wacana soal penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan. Pada periode kedua, wacana itu kembali digaungkan. Tarif PPh Badan (katanya) akan diturunkan dari 25% menjadi 20%.

Lalu ada wacana soal omnibus law. Aturan ini akan menjadi payung besar yang mencakup 74 UU. Jadi nantinya investor cukup merujuk ke omnibus law, tidak perlu repot-repot memelototi 74 UU.

Kondisi perekonomian Indonesia yang stagnan tentunya tidak hanya membutuhkan dorongan dari sisi moneter, tapi juga dari sisi fiskal (pemerintah). Tanpa dukungan keduanya, peluang roda perekonomian Ibu Pertiwi berputar lebih kencang tampaknya masih minim.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular