Pertumbuhan Ekonomi RI Terus Melambat, Bisa Bangkit Gak?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
09 November 2019 17:47
Pertumbuhan Ekonomi RI Terus Melambat, Bisa Bangkit Gak?
Foto: Q3-2019, Perekonomian Indonesia Tumbuh 5,02% (CNBC Indonesia TV)
Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pusat Statistik (BPS) pada Selasa (5/11/19) lalu melaporkan data pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019. Pertumbuhan ekonomi yang dilihat dari produk domestik bruto (PDB) tumbuh 5,02% secara tahunan atau year-on-year (YoY) di kuartal III-2019.

PDB tersebut melambat dibandingkan dengan kuartal I dan II-2019 yang tumbuh 5,07% dan 5,05%. PDB kuartal III bahkan menjadi yang terendah sejak kuartal II 2017.


Melihat tren penurunan tersebut, pertanyaan muncul apakah pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terus melambat, atau akan bangkit?



Komponen pembentuk PDB terbesar, konsumsi rumah tangga, yang mengalami pelambatan terus menyeret turun pertumbuhan ekonomi Indonesia. Konsumsi rumah tangga menyumbang 56,52% dari pembentukan PDB Indonesia, pada kuartal III-2019 hanya tumbuh 5,01%. Pertumbuhan tersebut melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 5,17% dan menjadi laju terlemah sejak kuartal I-2018.

Pelambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga konsisten dengan penurunan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dalam lima bulan terakhir.
Bank Indonesia (BI) melaporkan, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Oktober berada di 118,4. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 121,8. Angka di bulan Oktober tersebut merupakan yang terendah sejak Februari 2017.

IKK menggunakan angka 100 sebagai titik awal. Angka di atas 100 menandakan konsumen masih optimistis menghadapi kondisi perekonomian saat ini dan masa mendatang. Namun optimisme itu memudar, terlihat dari rata-rata porsi pendapatan rumah tangga untuk konsumsi turun dari 68,8% pada September menjadi 68% pada Oktober. Porsi tabungan terhadap pendapatan naik dari 19,4% menjadi 19,8%.





Komponen pembentuk PBD terbesar kedua yakni Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) alias investasi. Pada kuartal III-2019, investasi hanya tumbuh 4,21%, melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 5,01% dan periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar 6,96%.

Pelambatan investasi sepertinya masih akan berlanjut jika melihat kontraksi yang terjadi di industri pengolahan atau manufaktur.

Melansir data yang dipublikasikan oleh Markit, angka PMI (Purchasing Manager Index) di bulan Oktober tercatat hanya sebesar 47,7 poin, turun dari perolehan September yang ada di 49,1 poin.

Sebagai informasi, angka di atas 50 berarti aktivitas manufaktur membukukan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi.

Jika melihat ke lebih ke belakang, sektor manufaktur RI sudah mengalami kontraksi dalam empat bulan beruntun atau sejak bulan Juli lalu. Dengan aktivitas manufaktur yang terus terkontraksi, dunia usaha akan cenderung menahan investasinya.

Selanjutnya ada ekspor yang merupakan komponen pembentuk PDB terbesar ketiga. Pada kuartal III-2019, Badan BPS melaporkan ekspor barang dan jasa hanya tumbuh 0,02%. Jauh melambat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang naik 8,08%.

Perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat (AS) dengan China menjadi penyebab lemahnya ekspor RI. Tidak hanya RI, banyak negara terkena dampak dari perang dagang dua raksasa ekonomi dunia ini yang sudah berlangsung lebih dari satu tahun. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memperkirakan pertumbuhan ekspor global tahun ini hanya 1,2%. Melambat dibandingkan proyeksi yang dibuat pada April yaitu 2,6%.

Sementara itu konsumsi pemerintah, penyumbang PDB terbesar ke-empat, hanya tumbuh 0,98% pada kuartal III-2019. Jauh melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 8,25% dan periode tahun sebelumnya yaitu 6,27%.

Dengan pelambatan-pelambatan yang terjadi tersebut, maka pantas saja pertumbuhan ekonomi terus melambat.

Jika kondisi tersebut terus berlanjut, bukan tidak mungkin pertumbuhan ekonomi Indonesia akan semakin melambat di penghujung tahun ini.

Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019.

Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.

[Gambas:Video CNBC]



 
Perekonomian RI yang loyo tentunya memerlukan "bensin" untuk bisa terpacu lagi. Kebijakan moneter longgar bisa menjadi stimulus agar roda perekonomian berputar lebih kencang. Bank sentral di berbagai negara sudah melakukan pelonggaran moneter, termasuk BI. 

BI bahkan terbilang agresif dalam menurunkan suku bunga. Hingga Oktober Gubernur BI, Perry Warjiyo, sudah memangkas suku bunga acuan dalam empat bulan berturut-turut, masing-masing 25 basis poin ke level 5%.

Penurunan suku bunga acuan tersebut diharapkan akan membuat industri perbankan menurunkan suku bunga kreditnya. Meski demikian Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Aviliani mengatakan saat ini terdapat sejumlah kondisi yang membuat bank-bank Indonesia sulit menurunkan suku bunga kredit.



Perbankan nasional dikatakan sedang menghadapi tantangan adanya potensi peningkatan kredit macet (non performing loan/NPL). Bank harus meningkatkan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) jika NPL industri perbankan meningkat. 

"Penurunan suku bunga belum bisa di-eliminir oleh perbankan karena bank harus meningkatkan CKPN, untuk kredit macet. Kalau kredit macet tinggi itu-kan membutuhkan biaya lagi, otomatis bank harus menjaga keuntungan," kata Aviliani saat berbincang dengan CNBC Indonesia.

Cara bank menjaga keuntungan, kata Aviliani, adalah meningkatkan penyaluran kredit atau menaikkan suku bunga kredit. Namun untuk meningkatkan penyaluran kredit hampir tidak mungkin, pasalnya pertumbuhan kredit nasional saat ini hanya sekitar 7%.

Seperti diketahui sebelumnya, setelah BI menurunkan suku bunga, suku bunga kredit masih belum turun. Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam perhelatan Indonesia Banking Expo 2019 kemarin (6/11/2019) menyampaikan pesan khusus kepada para pemimpin industri perbankan, salah satunya yakni meminta untuk menurunkan suku bunga kredit.

"Ketiga, saya mengajak untuk memikirkan secara serius untuk menurunkan suku bunga kredit, ini yang saya tunggu" kata Jokowi.



Selain kebijakan moneter, kebijakan fiskal RI juga dinanti untuk bisa memacu perekonomian. Lembaga riset internasional, Fitch Solutions, memprediksi bahwa kondisi perekonomian Indonesia akan lebih baik 6 bulan ke depan. Hal ini mengingat stimulus kebijakan fiskal dari pemerintah dan kebijakan moneter yang longgar diharapkan dapat meringankan tekanan yang dialami ekonomi Ibu Pertiwi saat ini.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati belum lama ini mengungkapkan bahwa pemerintah akan memberi toleransi defisit anggaran 2019 melebar dari 1,8% PDB menjadi 2% PDB.

Defisit fiskal yang lebih besar sama saja berarti anggaran belanja pemerintah akan meningkat dan ini diharapkan dapat meningkatkan permintaan domestik untuk 6 bulan ke depan. Terlebih lagi, karena kabinet baru telah terbentuk maka beberapa proyek-proyek pemerintah yang tertahan dapat mulai dijalankan.

Satu lagi yang dapat membantu perekonomian RI untuk bangkit adalah kesepakatan dagang AS-China. Saat dua raksasa ekonomi dunia tersebut berdamai, arus perdagangan internasional bisa kembali lancar, roda perekonomian global kembali berputar dan ekspor Indonesia dapat meningkat lagi. 

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular