Jokowi Minta Bunga Kredit Turun, Saham Bank Ambles

Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
08 November 2019 06:36
Pada penutupan perdagangan kemarin (7/11/2019) harga saham bank cenderung bergerak ke selatan
Foto: Ilustrasi Bursa. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pada penutupan perdagangan kemarin (7/11/2019) harga saham bank mayoritas finis di zona merah dan membuat kinerja indeks sektor keuangan terkoreksi 0,96% ke level 1.269,19 indeks poin. Pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta perbankan nasional menurunkan bunga kredit menjadi pemicu koreksi saham-saham bank.

Saham PT Bank Permata Tbk (BNLI) mencatatkan koreksi paling dalam dengan anjlok 12,32% ke level Rp 1.210/unit saham. Disusul oleh PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (BJBR) yang melemah 9,29% menjadi Rp 1.660/unit saham.

Bahkan harga saham Bank BUKU IV juga tidak dapat menghindar dari gelombang aksi jual kemarin. Harga saham PT Bank Rakyat Indonesa Tbk (BBRI) anjlok 3,85%, PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) melemah 1,55%, PT Bank Pan Indonesia Tbk (PNBN) turun 0,75%, dan Bank Central Asia Tbk (BBCA) turun 0,16%.

Hanya saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) yang berhasil membukukan penguatan dengan kenaikan harga masing-masing sebesar 0,36% dan 1,33%.

Katalis negatif yang menekan harga saham industri perbankan Ibu Pertiwi datang dari pernyataan tegas Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta pemimpin industri perbankan untuk menurunkan suku bunga kredit.

"Ketiga, saya mengajak untuk memikirkan secara serius untuk menurunkan suku bunga kredit," ujar Jokowi saat perhelatan Indonesia Banking Expo 2019, Rabu (6/11/2019).

Menurut Jokowi, negara lain sudah menurunkan bunga kreditnya termasuk juga Bank Indonesia (BI) yang telah menurunkan bunga acuannya. Terlebih lagi mengingat MH Thamrin telah memangkas BI 7-Day Reverse Repo Rate 4 kali beruntun dengan total penurunan 100 basis poin ke levl 5%.

"Ini saya tunggu," tegas Jokowi.

Meskipun demikian, pelaku industri merespon bahwa penurunan suku bunga kredit tak bisa serta merta langsung dilakukan setelah BI menurunkan suku bunga acuan. Hal ini dikarenakan perlu dilakukan penyesuaian terkait jatuh tempo kewajiban yang dimiliki bank saat ini.

"Kita masih punya liabilitas yang jatuh temponya satu bulan ketika suku bunga turun hari ini, artinya itu masih butuh transmisi dan butuh waktu," kata Sunarso, Direktur Utama BBRI di Hotel Fairmont, Jakarta, Rabu (6/11/2019).

Kemudian Direktur Utama BNGA sejatiya berjanji akan menurunkan suku bunga jika bunga deposito sudah bisa diturunkan. Namun, sulit memangkas suku bunga deposito karena nanti menjadi kurang menarik bagi konsumen.

"Tapi secara umum kita sesuaikan, bukan cuma dari pinjaman tapi dari deposit juga, tapi orang banyak nggak mau deposito turun bunganya," jelasnya.

Apabila suku bunga kredit diturunkan saat suku bunga deposito masih tinggi, maka industri perbankan akan tekor karena beban bunga (cost of fund) yang ditanggung menjadi lebih besar.

Lebih lanjut, manajemen BBNI menyebutkan saat ini biaya bunga yang dicatatkan cukup tinggi di level 3,2%.

"Kita sekarang lagi turun dulu pelan-pelan kan kemarin 3,2%. Kita lihat pelan-pelan. Kalau cost of fund turun kita baru berani nurunin [bunga kredit]," kata Ario Bimo, Direktur Keuangan BBNI.

Dari pernyataan beberapa bankir di atas terlihat bahwa pada dasarnya pelaku industri mau saja menurunkan suku bunga kredit, tapi dengan syarat bahwa beban bunga yang ditanggung tidak akan menekan performa keuangan perusahaan.

Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Aviliani mengatakan perbankan nasional saat ini sedang menghadapi tantangan adanya potensi peningkatan kredit macet (non performing loan/NPL).

Bank harus meningkatkan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) jika NPL industri perbankan meningkat. "Penurunan suku bunga belum bisa di-eliminir oleh perbankan karena bank harus meningkatkan CKPN, untuk kredit macet. Kalau kredit macet tinggi itu-kan membutuhkan biaya lagi, otomatis bank harus menjaga keuntungan," kata Aviliani saat berbincang dengan CNBC Indonesia. 

Cara bank menjaga keuntungan, kata Aviliani, adalah meningkatkan penyaluran kredit atau menaikkan suku bunga kredit. Namun untuk meningkatkan penyaluran kredit hampir tidak mungkin, pasalnya pertumbuhan kredit nasional saat ini hanya sekitar 7%.

"Jadi bank tidak mungkin menurunkan suku bunga," ujar Aviliani.

Saat ini, Net Interest Margin (NIM) perbankan Indonesia juga sudah semakin tipis. Saat ini NIM perbankan Indonesia sekitar 4%-5%, turun dibandingkan beberapa waktu lalu yang sempat mencapai 6%.

"Itu tidak semua bank bisa mencapai NIM sebesar itu, tiap bank beda-beda. Kita punya kategori bank-bank BUKU I, II, III dan IV. Sekarang Bank BUKU III, LDR (loan to deposit ratio) sudah sangat tinggi, di atas 100%. Artinya mereka sudah kesulitan dana," kata Aviliani.

Dengan kondisi seperti ini, sulit bagi bank BUKU III untuk memberikan suku bunga murah. Sumber pendanaan bank-bank tersebut pasti mahal, otomatis kredit yang disalurkan akan dikenakan bunga tinggi.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/hps) Next Article Jokowi Sentil OJK soal Buka Bank di Daerah Terpencil

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular