Bos BCA: Tiap Kali Penerbitan SBN Ritel, DPK Terbang 30%

Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
31 October 2019 14:30
Setiap ada satu penerbitan instrumen baru, dana pihak ketiga (DPK) perbankan beralih ke instrumen SBN.
Foto: Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja saat berdiskusi dalam acara CNBC Indonesia Economic Outlook 2019. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Kalangan bankir mulai merasakan ketatnya perebutan likuiditas kala pemerintah menerbitkan instrumen Surat Berharga Negara (SBN) yang ditujukan kepada investor ritel.

Pemerintah, melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan pada tahun ini menargertkan penerbitan 10 instrumen SBN ritel dengan target dana yang dihimpun sebesar Rp 60 triliun-Rp 80 triliun untuk membiayai berbagai proyek pemerintah, di antaranya infrastruktur.

Merespons hal tersebut Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), Jahja Setiaatmadja mengatakan setiap ada satu penerbitan instrumen baru, dana pihak ketiga (DPK) perbankan beralih ke instrumen SBN.

"Sebagai perbankan, tiap kita launching ini [SBN Ritel] sekitar 30% dana kita terbang. Artinya 70% dari bank lain atau dari yang ibu [Sri Mulyani] katakan seperti properti, dari investasi lain termasuk masuk surat berharga," ucap Jahja Setiaatmadja, saat menyampaikan aspirasinya di hadapan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dan Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo dalam acara CEO Networking 2019 di Jakarta, Kamis (31/10/2019).

Pada kesempatan itu, Jahja juga menyampaikan respons positif dari kalangan pelaku pasar terkait susunan menteri di kabinet Jokowi pada peridoe kedua. Namun, kata dia, pelaku pasar masih perlu waktu untuk melihat bagaimana kemampuan menteri mengejahwantahkan percepatan pertumbuhan ekonomi dengan peraruran atau regulasi yang tepat.

Namun, dia memberikan setidaknya ada tiga masukan penting kepada pemerintah: Pertama, saran agar pemerintah cepat merespons keputusan di tengah tantangan perekonomian global yang dinamis.

Bos perusahaan dengan kode saham BBCA ini menuturkan, Indonesia masih belum mendapat keuntungan dari perang dagang Amerika Serikat dan China, sebab, dari 94 industri yang direlokasi dari China, belum satu pun industri yang masuk ke Indonesia.

"Setelah saya konfirmasi ke pengusaha, ada saru hal yang very simple, yakni mesin bekas tidak boleh masuk untuk new investment," ungkap dia.

"Nah itu aja sudah menutup pintu untuk semuanya. Ini saya pikir belum adanya kecepatan untuk merespons sebuah perubahan dan mendapatkan kesempatan untuk mengakomodasi perubahan," tutur Jahja.

Hal lain yang pengusaha harapkan diproses, lanjut dia, adalah soal peraturan ketenagakerjaan. Menurutnya, aturan ini perlu menjadi prioritas.

Terakhir, bos perusahaan dengan nilai kapitalisasi pasar terbesar di BEI ini juga menginginkan proses perizinan yang lebih harmonis antara pemerintah pusat dan daerah.
(hps/hps) Next Article Pemerintah Jual Lagi Surat Utang Ketengan, 'Bunga' 6,3%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular