Investor Disarankan Wait & See, Pasar Obligasi Rawan Koreksi

Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
31 October 2019 09:02
ketika suhu positif dari damai dagang AS-China mulai merebak di kalangan pasar keuangan global.
Foto: Ilustrasi Obligasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar obligasi diprediksi masih dapat terangkat oleh sentimen dari pemangkasan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) tadi pagi, tetapi potensi koreksi harga masih cukup besar karena reli panjang yang masih terjadi sejak akhir September.

"Lagi-lagi kami masih merekomendasikan wait and see [menunggu] hari ini dengan cenderung beli dengan volume kecil. Hati-hati, kita masih dalam posisi rawan koreksi," ujar Maximilianus Nico Demus, Associate Director Research & Investment PT Pilarmas Investindo Sekuritas, dan tim dalam risetnya pagi ini (31/10/19).

Tadi pagi, bank sentral AS yaitu The Fed menurunkan suku bunga acuannya yaitu Fed Fund Rate menjadi rentang 1,5%-1,75% dari sebelumnya 1,75%-2%. Pemangkasan sesuai dengan ekspektasi pasar setelah sebelumnya pelaku pasar sempat dikhawatirkan oleh potensi pembalikan arah kebijakan moneternya, atau mulai berpikir menaikkan suku bunganya lagi beberapa waktu ke depan.


Selain sentimen dari suku bunga AS, faktor lain yang diprediksi akan dijadikan pelaku pasar modal bertransaksi di pasar obligasi hari ini adalah batalnya KTT APEC di Chili karena demonstrasi yang semakin melebar, sehingga mengganggu rencana penandatanganan kesepakatan damai dagang AS-China.

Kemarin, pasar obligasi masih menguat dan semakin memperpanjang reli yang terbentuk sejak akhir September, ketika suhu positif dari damai dagang AS-China mulai merebak di kalangan pasar keuangan global.

Nico dan tim menilai bahwa penguatan terutama terjadi pada tenor panjang, yang mencerminkan keyakinan investor terhadap prospek ekonomi domestik secara jangka panjang.

Kemarin, tingkat imbal hasil (yield) wajar seri acuan 10 tahun sudah turun ke bawah level psikologis 7%, tepatnya 6,99%, posisi terendah sejak pertengahan tahun lalu. Penurunan yield berarti ada penguatan harga, karena pergerakan kedua angka tersebut bertolak belakang di pasar sekunder.

Penguatan harga dibarengi dengan masuknya investor asing secara agresif ke pasar surat utang negara (SUN), terutama tenor menengah panjang. Masuknya arus dana investor asing lagi-lagi mendorong tercetaknya rekor nilai kepemilikan asing tertinggi sepanjang masa per 28 Oktober, yakni Rp 1.057 triliun.

Data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu (DJPPR) terakhir menunjukkan investor asing menggenggam Rp 1.057 triliun SBN, atau 39,15% dari total beredar Rp 2.701 triliun.

Angka kepemilikannya masih positif Rp 164,28 triliun dibanding posisi akhir Desember Rp 893,25 triliun, sehingga persentasenya masih naik dari 37,71% pada periode yang sama. Sejak akhir pekan lalu, investor asing tercatat masuk ke pasar SUN senilai Rp 3,51 triliun, sedangkan sejak awal bulan masih surplus Rp 28,14 triliun.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/irv) Next Article SUN Cetak Rekor, Pengamat: SUN RI Masih Menarik Bagi Investor

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular