The Fed dan Damai Dagang Bikin Rupiah Melayang

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
28 October 2019 10:39
The Fed dan Damai Dagang Bikin Rupiah Melayang
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Edward Ricardo)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Rupiah juga terapresiasi di perdagangan pasar spot.

Pada Senin (28/10/2019), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.023. Rupiah menguat 0,29% dibandingkan posisi akhir pekan lalu.

Sementara di pasar spot, rupiah juga mampu melaju di jalur hijau. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 diperdagangkan di Rp 14.020. Rupiah menguat 0,07% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.


Sejauh ini mata uang utama Asia bergerak variatif di hadapan greenback. Won Korea Selatan menjadi yang terbaik di Benua Kuning, disusul oleh rupee India dan peso Filipina di posisi ketiga.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 10:06 WIB:

 

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)




Dolar AS memang sedang dilanda kegalauan. Penyebabnya apa lagi kalau bukan penantian pasar terhadap rapat komite pengambil kebijakan Bank Sentral AS The Federal Reserve/The Fed pada 30 Oktober waktu setempat.

Pelaku pasar memperkirakan Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega akan kembali menurunkan suku bunga acuan. Mengutip CME Fedwatch, kans penurunan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 1,5-1,75% adalah 93%.


Data-data ekonomi Negeri Paman Sam memang kurang menggembirakan. Pembacaan awal indeks sentimen konsumen versi University of Michigan untuk Oktober direvisi ke bawah dari 96 menjadi 95,5. Sub-indeks ekspektasi konsumen terhadap perekonomian ke depan direvisi dari 84,2 menjadi 83,4 sementara sub-indeks keyakinan terhadap kondisi saat ini juga direvisi ke bawah dari 113,4 menjadi 108,5.

Kemudian penjualan rumah baru pada September tercatat 701.000 pada September, turun 0,7% dibandingkan bulan sebelumnya. Angka penjualan pada Agustus pun direvisi ke bawah dari 713.000 menjadi 706.000.

Ada lagi, penjualan barang-barang tahan lama (durable goods) pada September turun 1,1% dibandingkan bulan sebelumnya. Ini menjadi penurunan pertama sejak Mei.



Rangkaian data tersebut menjadi justifikasi bahwa perekonomian Negeri Adidaya butuh stimulus, dan itu diharapkan datang dari sisi moneter. Penurunan suku bunga acuan diharapkan mampu mendorong perekonomian AS dari sisi penawaran.

Namun penurunan suku bunga acuan akan membuat dolar AS menjadi kurang seksi. Sebab imbalan investasi di aset-aset berbasis mata uang ini (terutama di instrumen berpendapatan tetap) akan ikut turun seiring penurunan suku bunga.


Dengan potensi penurunan suku bunga acuan yang semakin nyata, tekanan yang dialami oleh AS kian bertambah. Aksi jual membuat mata uang ini melemah, dan itu bisa dimanfaatkan oleh rupiah dkk di Asia.


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)



Faktor lain yang membuat investor pede untuk masuk ke pasar keuangan Asia adalah hawa damai dagang AS-China yang semakin terasa. AS-China dikabarkan segera menyepakati perjanjian damai dagang fase I. Mengutip keterangan tertulis Kantor Perwakilan Dagang AS (US Trade Representatives), Washington dan Beijing disebut sudah menyepakati sejumlah isu yang spesifik.

"Kedua pihak sudah dekat untuk menyepakati beberapa hal dalam perjanjian. Diskusi tingkat wakil menteri akan terus berlangsung, dan kedua negara akan mengadakan pembicaraan melalui sambungan telepon dalam waktu dekat," ungkap keterangan tertulis itu.

Tidak hanya AS, pihak China pun memberi konfirmasi bahwa diskusi berjalan mulus. Keterangan tertulis Kementerian Perdagangan China menyebutkan, pembahasan teknis mengenai sejumlah isu bisa dibilang sudah kelar.


China berharap AS menghapus berbagai bea masuk yang dikenakan terhadap produk-produk mereka. Terdekat, China ingin AS membatalkan rencana pengenaan bea masuk terhadap importasi senilai US$ 156 miliar yang berlaku mulai 15 Desember.

Sebagai imbalan, China akan membeli produk pertanian AS dalam jumlah signifikan. AS ingin ada komitmen soal pembelian ini, tetapi China ini agar pembelian disesuaikan dengan kondisi pasar.

Presiden AS Donald Trump, seperti diberitakan Reuters, ingin China membeli produk pertanian Negeri Paman Sam senilai US$ 40-50 miliar per tahun. Namun seorang sumber di lingkungan pengusaha AS mengungkapkan, China mencoba menawarkan pembelian US$ 20 miliar sebagai titik awal negosiasi.

Meski belum ada yang benar-benar pasti 100%, tetapi setidaknya kabar bahwa kesepakatan dagang fase I yang hampir rampung sudah membuat pelaku pasar berbunga-bunga. Risk appetite meningkat, sehingga arus modal pun bersedia masuk ke instrumen berisiko di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Akibat serbuan arus modal ini, rupiah berhasil menguat.


TIM RISET CNBC INDONESIA



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular