Sudah Hijau 10 Hari Beruntun, IHSG Harus Rehat Dulu

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
25 October 2019 09:41
Sudah Hijau 10 Hari Beruntun, IHSG Harus Rehat Dulu
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali perdagangan hari ini, Jumat (25/10/2019), di zona hijau.

Pada pembukaan perdagangan, IHSG menguat 0,05% ke level 6.342,61. Sayang, IHSG dengan cepat berbalik arah ke zona merah. Pada pukul 09:30 WIB, indeks saham acuan di Indonesia tersebut melemah 0,34% ke level 6.318,34.

Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga sedang ditransaksikan di zona merah. Hingga berita ini diturunkan, indeks Nikkei turun 0,01%, indeks Shanghai melemah 0,48%, indeks Hang Seng terkoreksi 0,45%, dan indeks Kospi berkurang 0,09%.

Sentimen pada perdagangan hari ini memang kurang mendukung bagi pelaku pasar untuk melakukan aksi beli atas saham-saham di Benua Kuning. Pasalnya, ada potensi bahwa kesepakatan dagang AS-China tahap satu bisa batal diteken.

Mengutip Bloomberg yang mendapatkan informasi dari pihak-pihak yang mengetahui masalah tersebut, China berniat untuk meningkatkan pembelian produk agrikultur asal AS senilai US$ 20 miliar dalam waktu satu tahun jika kesepakatan dagang tahap satu dengan AS bisa diteken.

Tambahan pembelian senilai US$ 20 miliar tersebut akan membawa impor produk agrikultur asal AS ke kisaran level tahun 2017 atau sebelum perang dagang AS-China meletus.

Di tahun kedua, jika kesepakatan dagang final bisa diteken dan seluruh bea masuk yang dibebankan AS terhadap produk impor asal China dihapuskan, tambahan pembelian produk agrikultur asal AS bisa dinaikkan menjadi US$ 40 miliar hingga US$ 50 miliar.

Hal ini jelas berpotensi menimbulkan masalah baru. Pasalnya, AS menyebut bahwa kesepakatan dagang tahap satu dengan China akan memasukkan komitmen dari Beijing untuk menambah pembelian produk agrikultur asal AS senilai US$ 40 miliar hingga US$ 50 miliar per tahun (bukan US$ 20 miliar seperti yang saat ini diberitakan). Sebagai gantinya, AS setuju untuk membatalkan pengenaan bea masuk baru bagi produk impor asal China yang sedianya akan dieksekusi pada pekan kemarin.

Jika AS dibuat berang dengan sikap China tersebut, ada potensi bahwa kesepakatan dagang tahap satu akan batal diteken. Malahan, perang dagang kedua negara sangat mungkin untuk tereskalasi.

Ketika perang dagang kedua negara tereskalasi, keduanya sangat mungkin untuk mengalami yang namanya hard landing alias perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.

Untuk diketahui, pada tahun 2018 International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.

Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.

Beralih ke China, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 diproyeksikan melandai ke level 6,2%, dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Pada tahun depan, pertumbuhannya kembali diproyeksikan melandai menjadi 6%.

Mengingat posisi AS dan China selaku dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, tentu tekanan terhadap laju perekonomian kedua negara akan membawa dampak negatif yang signifikan bagi perekonomian dunia.

BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Suku Bunga Acuan Dipangkas Lagi

Dari dalam negeri, sejatinya ada sentimen positif bagi pasar saham tanah air yakni hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI). Pada hari Rabu (23/10/2019), RDG BI untuk periode Oktober 2019 dimulai dan berakhir kemarin (24/10/2019), diikuti oleh pengumuman tingkat suku bunga acuan.

Dalam konferensi pers yang digelar pasca RDG selesai digelar, BI kembali memutuskan untuk menyuntikkan stimulus bagi perekonomian Indonesia dengan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps.

"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 23-24 Oktober memutuskan untuk menurunkan bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps menjadi 5%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Gedung BI, Kamis (24/10/2019).

"Kebijakan tersebut konsisten dengan perkiraan inflasi yang terkendali dan imbal hasil instrumen keuangan domestik yang tetap menarik, serta langkah pre-emptive lanjutan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik di tengah perekonomian global yang melambat," tambah Perry.

Untuk diketahui, pemangkasan tingkat suku bunga kemarin menandai pemangkasan tingkat suku bunga acuan selama empat bulan beruntun.Jika ditotal, suku bunga acuan sudah dipangkas sebesar 100 bps dalam empat bulan terakhir.

Keputusan BI tersebut sesuai dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate akan dipangkas sebesar 25 bps menjadi 5%. Keputusan tersebut juga sesuai dengan analisis dari Tim Riset CNBC Indonesia yang menunjukkan bahwa tingkat suku bunga acuan akan dipangkas oleh BI, yakni sebesar 25 bps.

Saat ini, perekonomian Indonesia jelas membutuhkan suntikan energi yang salah satunya bisa datang dari pemangkasan tingkat suku bunga acuan. Untuk diketahui, pada awal Agustus Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal II-2019.

Sepanjang tiga bulan kedua tahun 2019, BPS mencatat perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan, jauh melambat dibandingkan capaian kuartal II-2018 kala perekonomian mampu tumbuh sebesar 5,27%.

Pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 juga melambat jika dibandingkan capaian pada kuartal I-2019 yang sebesar 5,07% YoY. Untuk periode semester I-2019, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,06% YoY.

Bahkan, saat ini perekonomian Indonesia dikhawatirkan akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019. Kekhawatiran ini diungkapkan oleh lembaga keuangan besar berbendera asing.

Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.

Dengan dipangkas kembalinya tingkat suku bunga acuan oleh BI, bank akan semakin terdorong untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang.

Sayang, IHSG tetap saja melemah seiring dengan aksi ambil untung yang dilakukan pelaku pasar. Maklum, dalam 10 hari perdagangan sebelumnya IHSG selalu mencetak apresiasi. Jika ditotal, penguatan IHSG dalam periode 10 hari tersebut mencapai 5,25%.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular