Guna memproyeksikan hasil pertemuan BI, tentu kita perlu memproyeksikan terlebih dahulu hasil pertemuan The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS. Maklum, AS merupakan kiblat perekonomian dunia sehingga arah kebijakan moneter di AS akan sangat menentukan arah kebijakan moneter di negara-negara lain.
Di sepanjang tahun 2019, The Fed telah memangkas tingkat suku bunga acuan sebanyak dua kali, masing-masing sebesar 25 bps, yakni pada bulan Juli dan September. Jika ditotal, federal funds rate sudah dipangkas sebesar 50 bps oleh Jerome Powell (Gubernur The Fed) dan koleganya di bank sentral.
Perang dagang AS-China, perlambatan ekonomi global, dan inflasi yang rendah menjadi faktor yang membuat The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 50 bps tersebut.
Namun begitu, pelaku pasar masih haus akan pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 23 Oktober 2019, probabilitas The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada bulan ini berada di level 93,5%.
Untuk diketahui, hingga saat ini belum ada sinyal yang jelas dari The Fed soal peluang pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut.
Dalam konferensi pers pasca mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada bulan lalu, Powell memang menyebut bahwa pihaknya akan melakukan hal yang diperlukan guna mempertahankan ekspansi ekonomi.
Namun kemudian, Powell mengatakan bahwa pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada bulan Juli dan September sebagai “penyesuaian di pertengahan siklus/midcycle adjustment” dan bukan merupakan strategi untuk mendorong tingkat suku bunga acuan lebih rendah lagi.
Pernyataan tersebut lantas menegaskan komentar Powell di bulan Juli bahwa The Fed tidaklah sedang memulai era panjang pemangkasan tingkat suku bunga acuan.
“Biar saya perjelas: yang saya maksud adalah itu (pemangkasan tingkat suku bunga acuan) bukanlah merupakan awal dari pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang agresif,” kata Powell pada bulan Juli silam, dilansir dari CNBC International.
“Kami tak melihat arahnya ke sana (era panjang pemangkasan tingkat suku bunga acuan). Anda akan melakukannya jika Anda melihat pelemahan ekonomi yang signifikan dan jika Anda berpikir bahwa federal funds rate perlu dipangkas secara signifikan. Itu bukanlah skenario yang kami lihat.”
Namun, Tim Riset CNBC Indonesia menilai bahwa The Fed memiliki ruang untuk memangkas tingkat suku bunga acuan pada bulan ini. Untuk diketahui, The Fed memiliki dua mandat yang ditetapkan oleh Kongres AS, yakni kestabilan harga (inflasi) dan tingkat penyerapan tenaga kerja yang maksimum.
Berbicara mengenai inflasi, saat ini tingkat inflasi AS berada di level yang rendah. Sebagai informasi, acuan yang digunakan oleh The Fed untuk mengukur tingkat inflasi adalah Core Personal Consumption Expenditures (PCE) price index.
Data teranyar, Core PCE price index tercatat tumbuh sebesar 1,8% secara tahunan pada Agustus 2019, masih cukup jauh di bawah target The Fed yang sebesar 2%.
Kali terakhir Core PCE price index mencapai target The Fed adalah pada Desember 2018 silam kala pertumbuhannya adalah 2%, sama persis dengan target. Selepas itu, pertumbuhan Core PCE price index selalu berada di bawah angka 2%.
Sementara itu, jika kita berbicara mengenai pasar tenaga kerja, saat ini pasar tenaga kerja AS sedang berada dalam posisi yang sangat-sangat oke. Per September 2019, tingkat pengangguran di AS berada di level 3,5% yang merupakan level terendah dalam 50 tahun terakhir.
Dengan memperhatikan dua indikator yang menjadi mandat dari The Fed, jelas bahwa ruang pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut masih terbuka, seiring dengan inflasi yang masih berada di bawah target.
Lebih lanjut, data-data ekonomi AS yang belakangan dirilis jelas menunjukkan bahwa negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tersebut sedang dihadapkan pada tekanan yang signifikan.
Belum lama ini, Manufacturing PMI AS periode September 2019 versi ISM diumumkan di level 47,8, jauh di bawah konsensus yang sebesar 50,4, seperti dilansir dari Forex Factory.
Sebagai informasi, angka di atas 50 berarti aktivitas manufaktur membukukan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi.
Kontraksi yang terjadi pada bulan September merupakan kontraksi terburuk yang dibukukan oleh sektor manufaktur AS dalam satu dekade terakhir. Perang dagang dengan China terbukti telah sangat menyakiti perekonomian AS.
Kemudian, Non-Manufacturing PMI periode September 2019 diumumkan oleh Institute for Supply Management (ISM) di level 52,6, di bawah konsensus yang sebesar 55,1, seperti dilansir dari Forex Factory. Melansir CNBC International, Non-Manufacturing PMI yang sebesar 52,6 tersebut merupakan level terendah yang pernah dicatatkan semenjak Agustus 2016 silam.
Jika dibiarkan berlanjut, kombinasi lemahnya aktivitas manufaktur dan jasa akan menekan perekonomian AS secara keseluruhan. Ketika ini yang terjadi, inflasi akan semakin sulit dipacu ke level 2%, sementara tingkat pengangguran akan bergerak ke atas, yang berarti mandat dari The Fed menjadi semakin jauh dari dicapai.
Tim Riset CNBC Indonesia meyakini bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada akhir bulan ini, yang berarti BI memiliki ruang untuk memangkas tingkat suku bunga acuan terlebih dahulu pada hari ini.
BERLANJUT KE HALAMAN 3 - > Investor Asing Apresiasi Pemangkasan Suku Bunga Acuan Bulan Lalu
Dari dalam negeri, tantangan bagi BI jika ingin mengeksekusi pemangkasan suku bunga acuan lebih lanjut datang dari permasalahan defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) yang masih panas.
Pada kuartal I-2019, BI mencatat CAD berada di level 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih dalam ketimbang CAD pada kuartal I-2018 yang berada di level 2,01% dari PDB. Kemudian pada kuartal II-2019, CAD membengkak menjadi 3,04% dari PDB. CAD pada tiga bulan kedua tahun ini juga lebih dalam ketimbang capaian pada periode yang sama tahun lalu di level 3,01% dari PDB.
Di kuartal III-2019, masih ada potensi bahwa CAD akan kembali bengkak. Sepanjang bulan Agustus, BPS mencatat bahwa ekspor jatuh 9,99% secara tahunan (year-on-year/YoY), lebih dalam dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan kontraksi sebesar 5,7% saja. Sementara itu, impor terkontraksi sebesar 15,6%, juga lebih dalam dibandingkan konsensus yang memperkirakan penurunan sebesar 11,295%. Alhasil, neraca dagang hanya membukukan surplus sebesar US$ 85 juta, jauh lebih kecil dari proyeksi yang sebesar US$ 146 juta.
[Gambas:Video CNBC]
Kemudian untuk periode September 2019, BPS mengumumkan bahwa ekspor jatuh sebesar 5,74% secara tahunan, sementara impor turun 2,41% YoY. Penurunan ekspor lebih rendah ketimbang konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan ekspor akan jatuh hingga 6,1% secara tahunan. Sementara itu, kontraksi pada pos impor lebih baik karena konsensus memperkirakan kontraksinya akan mencapai 4,5%.
Neraca dagang pada bulan lalu membukukan defisit senilai US$ 160 juta, berbanding terbalik dengan konsensus yang memperkirakan adanya kehadiran surplus senilai US$ 104,2 juta.
Dengan performa nearaca dagang yang belum menggembirakan, tentu potensi bahwa bahwa CAD akan kembali bengkak tak bisa diabaikan. Hal ini tentunya membatasi ruang bagi BI jika ingin memangkas tingkat suku bunga acuan lebih lanjut. Dikhawatirkan, dana investor asing yang diparkir di pasar modal Indonesia akan dibawa keluar jika BI kekeh memangkas tingkat suku bunga acuan.
Patut diingat bahwa mandat yang dimiliki BI adalah menjaga kestabilan harga di tanah air. Sejauh ini, jika melihat rendahnya tingkat inflasi, BI sukses menjalankan mandatnya.
Pada periode pertama pemerintahan Jokowi, inflasi berhasil dijinakkan. Sejak melesat naik ke leve 8,36% pada tahun 2014, inflasi berhasil terus ditekan. Dalam empat tahun terakhir atau pada periode 2015-2018, inflasi selalu dekat level 3%. Terakhir, inflasi di bulan September 2019 tercatat sebesar 3,39% secara tahunan.
Sementara jika melihat secara bulanan atau month-on-month (MoM), dalam tiga bulan terakhir inflasi terbilang sangat rendah. Berdasarkan data BPS, inflasi pada bulan Juli dan Agustus adalah masing-masing sebesar 0,31% MoM dan 0,12% MoM, sementara pada bulan September justru terjadi deflasi 0,27% MoM.
Jika ditotal, pada periode Juli-September 2019 atau pada kuartal III-2019, terjadi inflasi sebesar 0,16%. Memang angka tersebut menunjukkan kenaikan dibandingkan dengan kuartal III-2018 yang sebesar 0,05%, tetapi jika melihat lima tahun ke belakang, inflasi tersebut menjadi yang terendah kedua untuk periode kuartal III.
Stabilitas rupiah menjadi salah satu faktor yang berkontribusi terhadap terjaganya harga barang dan jasa di tanah air. Sejak BI memangkas tingkat suku bunga acuan pada 19 September lalu hingga kemarin, rupiah terapresiasi 0,21% melawan dolar AS di pasar spot, performa yang cukup apik jika melihat kondisi global yang dipenuhi ketidakpastian. Perang dagang AS-China belum benar-benar berakhir, begitu juga perceraian Inggris dengan Uni Eropa atau Brexit yang masih tarik ulur.
Aliran modal investor asing ke pasar modal tanah air menjadi motor penguatan rupiah (yang pada akhirnya membuat inflasi menjadi terjaga). Terhitung sejak kali terakhir BI memangkas tingkat suku bunga acuan (19 September) hingga penutupan perdagangan hari Selasa (22/10/2019), investor asing telah membukukan jual bersih senilai Rp 6,2 triliun di pasar saham tanah air.
Namun, situasinya berbanding terbalik di pasar obligasi. Dalam periode 19 September hingga hari Selasa (22/10/2019), kepemilikan investor asing atas obligasi pemerintah yang bisa diperdagangkan naik hingga Rp 15,92 triliun menjadi Rp 1.039,55 triliun, dari yang sebelumnya Rp 1023,63 triliun.
Hal ini menunjukkan bahwa pemangkasan tingkat suku bunga oleh BI masih disambut baik oleh investor asing. Hal ini lantas membuka ruang bagi bank sentral untuk kembali memangkas tingkat suku bunga acuan. BI tak perlu kelewat takut bahwa akan ada aliran modal keluar dari pasar modal tanah air dalam jumlah besar yang sebenarnya bisa saja terjadi jika mengingat risiko bengkaknya CAD masih ada.
Dengan mencermati berbagai perkembangan yang ada yakni ruang pemangkasan tingkat suku bunga acuan oleh The Fed yang terbuka lebar, inflasi di tanah air yang terkendali, kinerja rupiah yang oke, serta derasnya aliran modal yang masuk ke pasar obligasi Indonesia, Tim Riset CNBC Indonesia meyakini bahwa Gubernur BI Perry Warjiyo dan koleganya di bank sentral akan mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada hari ini, dengan besaran 25 bps.
Saat ini, perekonomian Indonesia jelas membutuhkan suntikan energi yang salah satunya bisa datang dari pemangkasan tingkat suku bunga acuan. Jika benar dieksekusi oleh BI, tentunya akan menjadi sentimen positif bagi perekonomian dan juga pasar keuangan tanah air.
TIM RISET CNBC INDONESIA