
Nasib IHSG, Ditekan Luar-Dalam Terperosok ke Zona Merah
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
15 October 2019 12:47

Duh, Neraca Dagang September Defisit
Bersamaan dengan rilis posisi neraca dagang Indonesia bulan September oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada pukul 11:00 WIB, IHSG sempat merasakan manisnya zona hijau. Namun, tidak lama setelah BPS menyudahi paparannya, bursa saham utama Indonesia kembali terpesok.
Hal ini dikarenakan capaian ekspor Indonesia bulan lalu ada di US$ 14,1 miliar, turun 5,74% secara tahunan (year-on-year/YoY) dan 1,29% secara bulanan (month-to-month/MoM).
Selaras dengan ekspor, impor juga tercatat turun 2,41% YoY ke level US$ 14,26 miliar. Namun jika dibandingkan dengan bulan Agustus, tumbuh positif 0,63%.
Dengan demikian, sepanjang bulan September neraca dagang Ibu Pertiwi membukukan defisit sebesar US$ 160 juta atau setara Rp 2,24 miliar (asumsi kurs Rp 14.000/US$). Alhasil dalam 9 bulan pertama tahun ini, neraca dagang Ibu Pertiwi mengalami defisit US$ 1,95 miliar.
Hal ini berbanding terbalik dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yang memproyeksi surplus neraca dagang sebesar US$ 104,2 juta.
Sementara itu untuk ekspor dan impor diprediksi turun masing-masing 6,1% YoY dan 4,5% YoY, lebih dalam dari hasil laporan BPS.
Lebih lanjut, perlu dicermati bahwa kinerja ekspor Indonesia terus mencatatkan koreksi dalam 11 bulan terakhir. Ekspor diprediksi masih mengalami kontraksi mengingat harga komoditas terus mencatatkan penurunan.
BPS mencatat ada dua komoditas ekspor utama Indonesia yaitu bahan bakar mineral (terutama batu bara) serta lemak dan minyak hewan/nabati (didominasi minyak sawit mentah/CPO.
Celakanya, harga dua komoditas ini amblas. Dalam setahun terakhir, harga CPO turun 1,55% sedangkan batu bara anjlok 36,86%.
Dalam 15 bulan terakhir, arus perdagangan dunia kacau-balau karena perang dagang. Tidak hanya Amerika Serikat (AS) vs China, tetapi ada AS vs Uni Eropa, AS vs Kanada-Meksiko, AS vs India, Jepang vs Korea Selatan, dan sebagainya.
Hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi global melambat. Permintaan global berkurang, dan kontraksi ekspor menjadi pemandangan yang tidak hanya terjadi di Indonesia.
"Kita dihadapkan kepada persoalan negara-negara tujuan ekspor utama mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi sehingga permintaan berkurang. Ditambah dengan harga komoditas yang berfluktuasi cenderung menurun," ungkap Suhariyanto, Kepala BPS.
Jika Ibu Pertiwi masih terus bergantung pada komoditas, maka ekonomi Indonesia akan sulit pulih dan tampaknya akan sulit untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi 5,3% seperti yang diasumsikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019.
TIM RISET CNBC INDONESIA (dwa/dwa)
Bersamaan dengan rilis posisi neraca dagang Indonesia bulan September oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada pukul 11:00 WIB, IHSG sempat merasakan manisnya zona hijau. Namun, tidak lama setelah BPS menyudahi paparannya, bursa saham utama Indonesia kembali terpesok.
Selaras dengan ekspor, impor juga tercatat turun 2,41% YoY ke level US$ 14,26 miliar. Namun jika dibandingkan dengan bulan Agustus, tumbuh positif 0,63%.
Dengan demikian, sepanjang bulan September neraca dagang Ibu Pertiwi membukukan defisit sebesar US$ 160 juta atau setara Rp 2,24 miliar (asumsi kurs Rp 14.000/US$). Alhasil dalam 9 bulan pertama tahun ini, neraca dagang Ibu Pertiwi mengalami defisit US$ 1,95 miliar.
Hal ini berbanding terbalik dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yang memproyeksi surplus neraca dagang sebesar US$ 104,2 juta.
Sementara itu untuk ekspor dan impor diprediksi turun masing-masing 6,1% YoY dan 4,5% YoY, lebih dalam dari hasil laporan BPS.
Lebih lanjut, perlu dicermati bahwa kinerja ekspor Indonesia terus mencatatkan koreksi dalam 11 bulan terakhir. Ekspor diprediksi masih mengalami kontraksi mengingat harga komoditas terus mencatatkan penurunan.
BPS mencatat ada dua komoditas ekspor utama Indonesia yaitu bahan bakar mineral (terutama batu bara) serta lemak dan minyak hewan/nabati (didominasi minyak sawit mentah/CPO.
Celakanya, harga dua komoditas ini amblas. Dalam setahun terakhir, harga CPO turun 1,55% sedangkan batu bara anjlok 36,86%.
Dalam 15 bulan terakhir, arus perdagangan dunia kacau-balau karena perang dagang. Tidak hanya Amerika Serikat (AS) vs China, tetapi ada AS vs Uni Eropa, AS vs Kanada-Meksiko, AS vs India, Jepang vs Korea Selatan, dan sebagainya.
Hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi global melambat. Permintaan global berkurang, dan kontraksi ekspor menjadi pemandangan yang tidak hanya terjadi di Indonesia.
"Kita dihadapkan kepada persoalan negara-negara tujuan ekspor utama mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi sehingga permintaan berkurang. Ditambah dengan harga komoditas yang berfluktuasi cenderung menurun," ungkap Suhariyanto, Kepala BPS.
Jika Ibu Pertiwi masih terus bergantung pada komoditas, maka ekonomi Indonesia akan sulit pulih dan tampaknya akan sulit untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi 5,3% seperti yang diasumsikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019.
TIM RISET CNBC INDONESIA (dwa/dwa)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular