Nasib IHSG, Ditekan Luar-Dalam Terperosok ke Zona Merah

Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
15 October 2019 12:47
Nasib IHSG, Ditekan Luar-Dalam Terperosok ke Zona Merah
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan hari ini (15/10/2019) dengan penguatan tipis 0,06%, pada penutupan perdagangan sesi I Bursa Efek Indonesia (BEI), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) harus pasrah terjebak di zona merah dengan mencatatkan koreksi 0,03% menjadi 6.124,98 indeks poin.

Saham-saham yang turut menekan kinerja IHSG pada sesi I berdasarkan nilai transaksi di antaranya PT Transcoal Pacific Tbk/TCPI (-4,48%), PT Vale Indonesia Tbk/INCO (-2,87%), PT Erajaya Swasembada Tbk/ERAA (-2,42%), PT Smartfren Telecom Tbk/FREN (-2,38%), PT Tower Bersama Infrastructure Tbk/TBIG (-2,2%).

Performa IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama di kawasan Asia yang juga melemah, di mana indeks Shanghai anjlok 0,62%, indeks Hang Seng melemah 0,13%, dan indeks Straits Times terkoreksi 0,1%. Sedangkan indeks Nikkei dan indeks Kospi masing-masing tercatat menguat 1,82% dan 0,02%.

IHSG dan bursa saham acuan kawasan Asia diliputi oleh kewaspadaan investor yang memantau perkembangan terbaru dari hubungan dagang Amerika Serikat (AS) dan China.

Pasalnya, kemarin (14/10/2019), pihak Negeri Tiongkok dikabarkan belum setuju 100% pada hasil negosiasi perdagangan dengan AS, yang diklaim Presiden AS Donald Trump sebagai sebuah keberhasilan.

Sebagaimana dikutip dari Bloomberg, China masih menginginkan adanya putaran pembicaraan lanjutan, sebelum Presiden Xi Jinping menandatangani fase pertama kesepakatan.

Lebih lanjut, Bloomberg memberitakan sumber lainnya menyampaikan bahwa China juga ingin AS untuk membatalkan rencana kenaikan tarif pada 15 Desember mendatang.

Sementara itu, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan pihaknya tidak akan ragu menaikkan tarif hingga 15% pada barang China di akhir tahun (15 Desember) jika tidak ada kesepakatan yang ditanda tangani.

"Saya memiliki ekspektasi bahwa jika tidak ada kesepakatan, maka tarif akan berlaku, tapi saya berharap kita akan mencapai kesepakatan" katanya saat diwawancarai CNBC International di acara Squax Box.


Meski demikian, ia mengatakan pihaknya dan China akan segera melakukan pembicaraan lanjutan minggu ini. Pembicaraan akan dilakukan via telepon.

Sebagai informasi, hasil perundingan pekan lalu pemerintahan Trump memang tidak memberikan putusan yang sama pada barang-barang yang akan kena tarif tambahan di Desember. Sebelumnya pada 15 Desember nanti, produk seperti ponsel, laptop, mainan dan pakaian asal China akan kena tarif tambahan hingga 15%.

Negeri Paman Sam hanya menunda rencana pemberlakuan kenaikan tarif bea masuk produk China senilai US$ 250 miliar dari 25% menjadi 30%, yang seyogianya efektif per 15 Oktober.

(BERLANJUT KE HALAMAN DUA) Duh, Neraca Dagang September Defisit

Bersamaan dengan rilis posisi neraca dagang Indonesia bulan September oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada pukul 11:00 WIB, IHSG sempat merasakan manisnya zona hijau. Namun, tidak lama setelah BPS menyudahi paparannya, bursa saham utama Indonesia kembali terpesok.



Hal ini dikarenakan capaian ekspor Indonesia bulan lalu ada di US$ 14,1 miliar, turun 5,74% secara tahunan (year-on-year/YoY) dan 1,29% secara bulanan (month-to-month/MoM).

Selaras dengan ekspor, impor juga tercatat turun 2,41% YoY ke level US$ 14,26 miliar. Namun jika dibandingkan dengan bulan Agustus, tumbuh positif 0,63%.

Dengan demikian, sepanjang bulan September neraca dagang Ibu Pertiwi membukukan defisit sebesar US$ 160 juta atau setara Rp 2,24 miliar (asumsi kurs Rp 14.000/US$). Alhasil dalam 9 bulan pertama tahun ini, neraca dagang Ibu Pertiwi mengalami defisit US$ 1,95 miliar.

Hal ini berbanding terbalik dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yang memproyeksi surplus neraca dagang sebesar US$ 104,2 juta.

Sementara itu untuk ekspor dan impor diprediksi turun masing-masing 6,1% YoY dan 4,5% YoY, lebih dalam dari hasil laporan BPS.

Lebih lanjut, perlu dicermati bahwa kinerja ekspor Indonesia terus mencatatkan koreksi dalam 11 bulan terakhir. Ekspor diprediksi masih mengalami kontraksi mengingat harga komoditas terus mencatatkan penurunan.

BPS mencatat ada dua komoditas ekspor utama Indonesia yaitu bahan bakar mineral (terutama batu bara) serta lemak dan minyak hewan/nabati (didominasi minyak sawit mentah/CPO.

Celakanya, harga dua komoditas ini amblas. Dalam setahun terakhir, harga CPO turun 1,55% sedangkan batu bara anjlok 36,86%.

Dalam 15 bulan terakhir, arus perdagangan dunia kacau-balau karena perang dagang. Tidak hanya Amerika Serikat (AS) vs China, tetapi ada AS vs Uni Eropa, AS vs Kanada-Meksiko, AS vs India, Jepang vs Korea Selatan, dan sebagainya.

Hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi global melambat. Permintaan global berkurang, dan kontraksi ekspor menjadi pemandangan yang tidak hanya terjadi di Indonesia.

"Kita dihadapkan kepada persoalan negara-negara tujuan ekspor utama mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi sehingga permintaan berkurang. Ditambah dengan harga komoditas yang berfluktuasi cenderung menurun," ungkap Suhariyanto, Kepala BPS.

Jika Ibu Pertiwi masih terus bergantung pada komoditas, maka ekonomi Indonesia akan sulit pulih dan tampaknya akan sulit untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi 5,3% seperti yang diasumsikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/dwa) Next Article Jelang Musim Laporan Keuangan, Ini Emiten Yang Mulai Diborong

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular