
Gegara Warren Buffett, Benarkah Fund Manager Mulai Panik?

Jakarta, CNBC Indonesia - Para pelaku pasar dan pengelola dana global atau fund manager mulai khawatir di tengah sentimen negatif potensi resesi ekonomi yang dihadapi Amerika Serikat. Bahkan ada kewaspadaan bahwa resesi kemungkinan siap melanda ke tingkat tertinggi sejak Agustus 2009.
Tak hanya itu, sinyal kewaspadaan ini semakin kuat setelah investor saham global ternama, Warren Buffett, mengurangi 60% dari portofolio investasinya. Namun sikap waspada para manajer investasi, tidak berarti mengindikasikan sudah terjadi resesi di Negeri Paman Sam.
"Ini sikap waspada para fund manager saja, bukan berarti resesi is coming dalam waktu dekat ini, kata resesi agak jauh [bagi AS]. Apalagi untuk Indonesia," kata Senior Vice President PT Royal Investium Sekuritas, Janson Nasrial, dalam program Power Lunch, CNBC Indonesia, Senin (14/10/2019).
![]() |
Pada September lalu, Survei Fund Manager yang dirilis Bank of America (BoA) Merrill Lynch ketika itu mengungkapkan adanya kekhawatiran para pelaku pasar khususnya pengelola dana atas risiko resesi.
Tingginya risiko resesi itu disebabkan karena laju pertumbuhan ekonomi global yang melambat, konflik perang dagang AS-China, dan masalah politik yang berdampak negatif pada sentimen investor untuk masuk berinvestasi.
Sekitar 38% investor yang disurvei dalam Bank of America Merrill Lynch Fund Manager Survey pada September, dilansir CNBC International, memperkirakan akan ada resesi tahun depan. Sebelumnya dalam survei pada Agustus, tingkat kekhawatiran resesi itu hanya sebesar 34%, persentase hasil survei tertinggi sejak Oktober 2011.
Survei investor yang dilakukan pada 6-12 September itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan adanya perputaran dana investor ke dalam aset-aset bernilai, tapi angka investasi diprediksi masih akan tetap tinggi.
Hanya 7% responden yang memproyeksikan harga saham di bursa efek global akan berkinerja sangat baik selama 12 bulan ke depan.
Sikap Warren Buffett tentu dianggap tidak biasa oleh pasar. Buffet tidak pernah membiarkan tumpukan uang tunai hingga US$ 122 miliar (Rp 1.708 triliun) dicairkan begitu saja. Ia biasanya menempatkan uangnya untuk investasi, baik melalui akuisisi, saham, pembelian kembali (buyback) saham.
Pria yang disebut Oracle of Omaha itu pasti memiliki alasan yang tepat atas langkah yang ia lakukan. Di 2008, ia melakukan tindakan serupa dan suksesmenyelamatkanuangnya dari krisis yang terjadi di tahun itu.
Uang yang dicairkan ini juga kemudian dipinjamankan lagi ke perusahaan yang tengah sekarat seperti Goldman Sachs dan General Electric.
Sikap ini juga diperkirakan tengah diambil Buffet saat ini. "Buffet mengukur kesehatan pasar dengan melihat permodalan [di pasar saham] dibandingkan dengan PDB," tulis CNN.
Dengan ini, dia berhasil menghindar dari dot-com bubble alias gelembung spekulasi perusahaan internet yang pernah melanda bursa saham AS di tahun 1990 hingga 2000-an. Kenaikan saham perusahaan yang berlabel dot-com di bursa AS pada saat itu namun tidak sesuai dengan valuasi fundamentalnya, menyebabkan kekacauan di bursa saham.
Lebih lanjut Jansen menegaskan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga diprediksi rawan koreksi jika pergerakannya masih di bawah level 6.300 di tengah sentimen negatif yang menyertai pasar modal Indonesia. Sejak awal tahun hingga Senin ini (14/10/2019), IHSG masih minus 1,1%.
Kendati hari ini IHSG sudah positif seiring dengan situasi global yang kondusif, gerak IHSG masih belum aman.
Naiknya IHSG pada hari ini didorong sentimen positif berkat hasil negosiasi dagang antara AS dan China pada pekan lalu yang lancar. "IHSG masih rentan koreksi, apabila IHSG dalam beberapa waktu ke depan masih di bawah 6.300 belum aman," kata Jansen.
(tas/sef) Next Article Tersengat Dampak Corona, IHSG Ambles Lebih 4%
