
Masih Yakin AS-China Damai, IHSG Mendarat di Zona Hijau
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
14 October 2019 16:28

Bursa saham acuan Tanah Air memang mampu finis di zona hijau, namun terlihat bahwa pergerakan IHSG cenderung stagnan tak lama setelah pembukaan dan sempat terperosok di zona merah pada pertengahan sesi II perdagangan di BEI.
Besar kemungkinan aksi beli investor tertahan seiring dengan rilis data ekonomi Negeri Tiongkok yang mengecewakan dan beberapa analis yang menyampaikan opninya bahwa kesepakatan yang dicapai tidak mencakup isu-isu esensial bahkan berpotensi batal.
Ekspor China bulan September tercatat turun 3,2% secara tahunan (year-on-year/YoY), sedangkan impor anjlok lebih dalam lagi dengan mencatatkan koreksi hingga 8,5% YoY. Padahal survei yag dihimpun Reuters memprediksi penurunan ekspor 3% YoY dan impor terkontraksi hanya 5,2% YoY.
“Angka-angka utama menunjukkan bahwa permintaan global melunak bulan lalu, menambah tekanan dari tarif AS yang mulai berlaku pada bulan September,” ujar analis dari Capital Economics, dikutip dari Reuters.
Sebagai informasi, pada 1 September, Negeri Paman Sam menaikkan bea masuk pada produk asal Negeri Tiongkok senilai US$ 125 miliar dari 10% menjadi 15%. Sedangkan Beijing mengenakan tarif 5-10% bagi sekitar sepertiga produk asal AS yang masuk dalam daftar target US$ 75 miliar.
Bank investasi kenamaan dunia, Morgan Stanley, juga meyampaikan dalam sebuah catatan bahwa kesepakatan dagang parsial antara Washington dan Beijing adalah pengaturan yang “tidak pasti” dan tidak terlihat jalan keluar untuk megurangi tarif yang sudah berlaku sekitar 15 bulan terakhir, dilansir dari CNBC International.
Oleh karena itu, Morgan Stanley menekankan bahwa tanpa mekanisme penyelesaian sengeta untuk periode jangka panjang, babak baru kenaikan tarif tidak dapat dikesampingkan.
Bahkan, kesepakatan fase pertama saat ini tidak menjanjikan bahwa rencana pengenaan tarif tambahan hingga 15% pada produk seperti ponsel, laptop, mainan dan pakaian asal China pada 15 Desember nanti akan ditunda.
“Belum ada jalan yang layak untuk penurunan tarif yang ada, dan kenaikan tarif tetap menjadi resiko yang berarti,” tulis bank tersebut dalam sebuat catatan.
“Jadi, kami belum mengharapakan rebound yang berarti dalam perilaku perusahaan yang akan mendorong ekspektasi pertumbuhan global yang lebih tinggi,” tambah catatan tersebut.
Ketua Strategi Pasar untuk Asia dari JP Morgan, Tai Hui, juga menyampaikan opini serupa.
“Kami telah melihat gencatan senhata terjadi dan kemudian rusak (batal) sebelumnya,” ujar Hui, dilansir dari Reuters.
“CEO tidak akan memulai kembali berinvestasi hanya karena putaran terakhir perjanjian antara kedua belah pihak (AS-China),” tambahnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA (dwa/hps)
Besar kemungkinan aksi beli investor tertahan seiring dengan rilis data ekonomi Negeri Tiongkok yang mengecewakan dan beberapa analis yang menyampaikan opninya bahwa kesepakatan yang dicapai tidak mencakup isu-isu esensial bahkan berpotensi batal.
Ekspor China bulan September tercatat turun 3,2% secara tahunan (year-on-year/YoY), sedangkan impor anjlok lebih dalam lagi dengan mencatatkan koreksi hingga 8,5% YoY. Padahal survei yag dihimpun Reuters memprediksi penurunan ekspor 3% YoY dan impor terkontraksi hanya 5,2% YoY.
Sebagai informasi, pada 1 September, Negeri Paman Sam menaikkan bea masuk pada produk asal Negeri Tiongkok senilai US$ 125 miliar dari 10% menjadi 15%. Sedangkan Beijing mengenakan tarif 5-10% bagi sekitar sepertiga produk asal AS yang masuk dalam daftar target US$ 75 miliar.
Bank investasi kenamaan dunia, Morgan Stanley, juga meyampaikan dalam sebuah catatan bahwa kesepakatan dagang parsial antara Washington dan Beijing adalah pengaturan yang “tidak pasti” dan tidak terlihat jalan keluar untuk megurangi tarif yang sudah berlaku sekitar 15 bulan terakhir, dilansir dari CNBC International.
Oleh karena itu, Morgan Stanley menekankan bahwa tanpa mekanisme penyelesaian sengeta untuk periode jangka panjang, babak baru kenaikan tarif tidak dapat dikesampingkan.
Bahkan, kesepakatan fase pertama saat ini tidak menjanjikan bahwa rencana pengenaan tarif tambahan hingga 15% pada produk seperti ponsel, laptop, mainan dan pakaian asal China pada 15 Desember nanti akan ditunda.
“Belum ada jalan yang layak untuk penurunan tarif yang ada, dan kenaikan tarif tetap menjadi resiko yang berarti,” tulis bank tersebut dalam sebuat catatan.
“Jadi, kami belum mengharapakan rebound yang berarti dalam perilaku perusahaan yang akan mendorong ekspektasi pertumbuhan global yang lebih tinggi,” tambah catatan tersebut.
Ketua Strategi Pasar untuk Asia dari JP Morgan, Tai Hui, juga menyampaikan opini serupa.
“Kami telah melihat gencatan senhata terjadi dan kemudian rusak (batal) sebelumnya,” ujar Hui, dilansir dari Reuters.
“CEO tidak akan memulai kembali berinvestasi hanya karena putaran terakhir perjanjian antara kedua belah pihak (AS-China),” tambahnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA (dwa/hps)
Pages
Most Popular