
Masih Yakin AS-China Damai, IHSG Mendarat di Zona Hijau
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
14 October 2019 16:28

Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan hari ini (14/10/2019) dengan menguat 0,38%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil bertahan di zona hijau dan akhirnya ditutup menguat 0,35% ke level 6.126,88 indeks poin.
Saham-saham yang turut mendongkrak kinerja IHSG dari sisi nilai transaksi di antaranya PT Indosat Tbk/ISAT (13,43%), PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Syaria Tbk/BTPS (4,46%), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (4,27%), PT Mas Murni Indonesia Tbk/MAMI (3,77%), PT Sitara Propertindo Tbk/TARA (3,4%).
Pasar keuangan global bergeliat hari ini setelah hubungan dagang Amerika Serikat (AS) dan China yang menegang hampir dua tahun mulai menunjukkan tanda-tanda rujuk.
Presiden AS Donald Trump mengatakan Washington dan Beijing telah menyepakati "kesepakatan fase pertama yang sangat substansial" dan rincian teks perjanjian akan dirilis setidaknya dalam tiga minggu ke depan, dilansir dari CNBC International.
Negeri Paman Sam juga menyampaikan pihaknya setuju untuk menunda rencana pemberlakuan kenaikan tarif bea masuk produk China senilai US$ 250 miliar dari 25% menjadi 30%, yang seyogianya efektif per 15 Oktober.
"Saya sepakat untuk tidak menaikkan tarif bea masuk dari 25% menjadi 30% pada 15 Oktober. Hubungan dengan China sangat baik, kami telah menyelesaikan fase pertama dari kesepakatan, dan segera berlanjut ke fase kedua. Fase pertama bisa ditandatangani segera!" cuit Trump melalui utas (thread) di Twitter.
Trump kemudian menyampaikan bahwa kesepakatan fase pertama tersebut mencakup pembahasan terkait kekayaan intelektual dan jasa keuangan, serta pembelian produk pertanian AS sekitar US$ 40 miliar -50 miliar oleh China.
Pihak Negeri Tiongkok terlihat sudah mulai memenuhi janjinya. Pasalnya, Presiden ke-45 Negeri Adidaya melalui akun Twitter pribadinya menyampaikan "China telah mulai membeli produk pertanian dari petani dan peternak hebat kami!"
Pihak Negeri Tiongkok juga mengamini hal serupa. Wakil Perdana Menteri China Liu He berpendapat, kini hubungan kedua negara penuh dengan cinta.
"Memang ada banyak perbedaan antara AS dan China. Namun sekarang yang ada adalah cinta. Ini hal yang bagus. Kami sudah menyepakati kemajuan yang substansial. Kami senang dengan ini, dan akan terus bekerja sama," tutur Li, seperti diberitakan Reuters.
(BERLANJUT KE HALAMAN DUA) Bursa saham acuan Tanah Air memang mampu finis di zona hijau, namun terlihat bahwa pergerakan IHSG cenderung stagnan tak lama setelah pembukaan dan sempat terperosok di zona merah pada pertengahan sesi II perdagangan di BEI.
Besar kemungkinan aksi beli investor tertahan seiring dengan rilis data ekonomi Negeri Tiongkok yang mengecewakan dan beberapa analis yang menyampaikan opninya bahwa kesepakatan yang dicapai tidak mencakup isu-isu esensial bahkan berpotensi batal.
Ekspor China bulan September tercatat turun 3,2% secara tahunan (year-on-year/YoY), sedangkan impor anjlok lebih dalam lagi dengan mencatatkan koreksi hingga 8,5% YoY. Padahal survei yag dihimpun Reuters memprediksi penurunan ekspor 3% YoY dan impor terkontraksi hanya 5,2% YoY.
“Angka-angka utama menunjukkan bahwa permintaan global melunak bulan lalu, menambah tekanan dari tarif AS yang mulai berlaku pada bulan September,” ujar analis dari Capital Economics, dikutip dari Reuters.
Sebagai informasi, pada 1 September, Negeri Paman Sam menaikkan bea masuk pada produk asal Negeri Tiongkok senilai US$ 125 miliar dari 10% menjadi 15%. Sedangkan Beijing mengenakan tarif 5-10% bagi sekitar sepertiga produk asal AS yang masuk dalam daftar target US$ 75 miliar.
Bank investasi kenamaan dunia, Morgan Stanley, juga meyampaikan dalam sebuah catatan bahwa kesepakatan dagang parsial antara Washington dan Beijing adalah pengaturan yang “tidak pasti” dan tidak terlihat jalan keluar untuk megurangi tarif yang sudah berlaku sekitar 15 bulan terakhir, dilansir dari CNBC International.
Oleh karena itu, Morgan Stanley menekankan bahwa tanpa mekanisme penyelesaian sengeta untuk periode jangka panjang, babak baru kenaikan tarif tidak dapat dikesampingkan.
Bahkan, kesepakatan fase pertama saat ini tidak menjanjikan bahwa rencana pengenaan tarif tambahan hingga 15% pada produk seperti ponsel, laptop, mainan dan pakaian asal China pada 15 Desember nanti akan ditunda.
“Belum ada jalan yang layak untuk penurunan tarif yang ada, dan kenaikan tarif tetap menjadi resiko yang berarti,” tulis bank tersebut dalam sebuat catatan.
“Jadi, kami belum mengharapakan rebound yang berarti dalam perilaku perusahaan yang akan mendorong ekspektasi pertumbuhan global yang lebih tinggi,” tambah catatan tersebut.
Ketua Strategi Pasar untuk Asia dari JP Morgan, Tai Hui, juga menyampaikan opini serupa.
“Kami telah melihat gencatan senhata terjadi dan kemudian rusak (batal) sebelumnya,” ujar Hui, dilansir dari Reuters.
“CEO tidak akan memulai kembali berinvestasi hanya karena putaran terakhir perjanjian antara kedua belah pihak (AS-China),” tambahnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/hps) Next Article Jelang Musim Laporan Keuangan, Ini Emiten Yang Mulai Diborong
Most Popular