Ada Demo, Resesi, Sampai Perang Dagang, Rupiah Tak Mau Kalah!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 October 2019 07:10
Ada Demo, Resesi, Sampai Perang Dagang, Rupiah Tak Mau Kalah!
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat sepanjang pekan ini. Rupiah mampu menguat di tengah terpaan sentimen negatif baik dari dalam maupun luar negeri.

Pekan ini, rupiah menguat 0,21% terhadap dolar AS. Pada penutupan perdagangan akhir pekan, rupiah menyentuh posisi terkuat sejak 24 September.



Dari dalam negeri, ada sejumlah sentimen yang mempengaruhi gerak rupiah. Pertama adalah pada awal pekan kebutuhan valas korporasi masih tinggi karena jelang akhir kuartal III-2019. Biasanya jelang akhir kuartal akan ada pembayaran utang, dividen, dan sebagainya.

Kedua adalah gelombang demonstrasi yang masih terjadi. Apalagi ada momentum yang tepat yaitu hari terakhir masa bakti DPR 2014-2019 dan kemudian disusul oleh pelantikan DPR periode 2019-2024.

Bahkan pada awal pekan demonstrasi sempat berujung kericuhan di sejumlah lokasi. Sejumlah fasilitas umum seperti stasiun tidak bisa beroperasi, perjalanan kereta api ditidiadakan, dan beberapa gedung dirusak oleh massa. Situasi politik-sosial-keamanan yang sempat tidak kondusif ini tentu membuat investor tidak nyaman.

Baca: Sejak Ramai Demo, IHSG Anjlok 3% dan Rupiah Amblas Nyaris 2%!

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)


Sementara dari sisi eksternal, pasar keuangan global sempat dilanda kepanikan karena data manufaktur AS yang mengecewakan. Ada persepsi bahwa resesi di Negeri Paman Sam adalah sebuah risiko yang sangat nyata.

Pada September, angka Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur AS versi Institute for Supply Management (ISM) adalah 47,8. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 49,1.

Angka PMI di bawah 50 menunjukkan industriawan tidak melakukan ekspansi. Selain itu, skor 47,8 adalah yang terendah sejak Juni 2009.

Kemudian ISM melaporkan bahwa PMI jasa AS pada September berada di 52,6. Masih di atas 50, tetapi angka itu adalah yang terendah sejak Agustus 2016.

Sektor jasa mewakili lebih dari dua pertiga ekonomi AS. Jika sektor ini melambat, maka perekonomian AS juga terancam kehilangan lajunya bahkan bukan tidak mungkin sampai terkontraksi alias tumbuh negatif. Ketika ekonomi tumbuh negatif selama dua kuartal beruntun pada tahun yang sama, itu namanya resesi.


Lalu ada pula sentimen negatif berupa ancaman perang dagang AS vs Eropa. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memenangkan gugatan AS yang menyebut Uni Eropa memberikan subsidi kepada Airbus sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat dengan perusahaan pembuat pesawat lainnya seperti Boeing.

Sidang panel WTO menyatakan AS menderita kerugian sampai US$ 7,5 miliar per tahun. Keputusan WTO ini menjadi pembenaran bagi rencana AS untuk menerapkan bea masuk terhadap importasi produk-produk dari Eropa. Washington mengusulkan pengenaan bea masuk bagi importasi hingga US$ 11 miliar, berlaku mulai 18 Oktober.


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)



Sentimen negatif dari dalam dan luar negeri tersebut membuat investor asing keluar dari pasar saham Indonesia. Sepanjang pekan ini, investor asing membukukan jual bersih Rp 204,73 miliar.

Namun rupiah masih mampu bertahan di zona hijau karena ditopang oleh arus modal dari pasar lain yaitu obligasi. Selama 27 September-3 Oktober, investor asing menambah kepemilikan di Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 3,14 triliun.

Penyebabnya adalah potensi cuan yang masih diberikan oleh Indonesia. Ancaman resesi dan perang dagang membuat Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) diperkirakan kembali menurunkan suku bunga acuan.

Mengutip CME Fedwatch, probabilitas penurunan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) pada bulan ini mencapai 76,4%. Kemudian Federal Funds Rate diperkirakan turun 25 bps lagi pada Desember, dengan peluang 47,6%.


Artinya, berinvestasi di dolar AS menjadi kurang menarik, terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Investor pun keluar mencari aset yang memberikan keuntungan, salah satunya obligasi pemerintah Indonesia.

Saat ini imbal hasil SBN seri acuan tenor 10 tahun berada di 7,23%. Jauh dibandingkan dengan instrumen serupa di AS yaitu 1,529%.


TIM RISET CNBC INDONESIA

[Gambas:Video CNBC]



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular