
IHSG Bertahan Hijau, Meski Saham Konsumer Babak Belur

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali perdagangan hari ini, Jumat (4/10/2019), di zona hijau. Pada pembukaan perdagangan, IHSG menguat 0,24% ke level 6.052,75. Per akhir sesi satu, penguatan IHSG telah bertambah lebar menjadi 0,34% ke level 6.059,27.
IHSG sukses menguat pasca sudah terkoreksi dalam lima hari perdagangan sebelumnya.
IHSG menghijau kala bursa saham utama kawasan Asia sedang ditransaksikan bervariasi: indeks Nikkei naik 0,15%, indeks Kospi menguat 0,02%, indeks Hang Seng melemah 0,54%, dan indeks Straits Times jatuh 0,33%. Untuk diketahui, perdagangan di bursa saham China diliburkan guna memperingati 70 tahun lahirnya Republik Rakyat China.
Sentimen negatif bagi bursa saham Benua Kuning datang dari perang dagang AS-Uni Eropa. Belum juga perang dagang AS-China beres, kini AS selaku negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia malah memanaskan hubungan dagang dengan blok ekonomi terbesar di dunia.
Pada hari Rabu (2/10/2019), Kantor Perwakilan Dagang AS merilis daftar produk impor asal Uni Eropa yang akan dikenakan tambahan bea masuk. Tambahan bea masuk tersebut terbagi dalam dua level, yakni 10% dan 25%. Pesawat terbang, kopi, daging babi, hingga mentega termasuk ke dalam daftar produk yang disasar AS.
Daftar produk tersebut dirilis pasca AS memenangkan gugatan di World Trade Organization (WTO). AS menggugat Uni Eropa ke WTO lantaran Uni Eropa dianggap telah memberikan subsidi secara ilegal kepada Airbus, pabrikan pesawat terbang asal Benua Biru. Dampak dari subsidi ilegal tersebut adalah pabrikan pesawat asal AS, Boeing, menjadi kurang kompetitif.
WTO memberikan hak kepada pemerintahan Presiden Donald Trump untuk mengenakan bea masuk tambahan terhadap produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 7,5 miliar. Melansir CNBC International, hingga kini belum jelas berapa nilai dari produk impor asal Uni Eropa yang akan dikenakan bea masuk tambahan oleh AS, apakah itu US$ 7,5 miliar atau kurang dari itu.
Berang dengan keputusan AS, Uni Eropa membuka ruang untuk membebankan bea masuk balasan terhadap produk impor asal AS.
Wajar jika perang dagang AS-Uni Eropa menjadi momok yang menakutkan bagi pelaku pasar. Pasalnya, Uni Eropa merupakan pasar ekspor terbesar dari AS. Pada tahun 2018, AS mengekspor barang senilai US$ 319 miliar ke negara-negara Uni Eropa. Sementara itu, AS diketahui mengimpor barang dari Uni Eropa senilai US$ 488 miliar pada tahun 2018, menjadikan Uni Eropa penyuplai barang terbesar kedua bagi AS.
Sementara itu, sentimen positif bagi bursa saham Asia datang dari optimisme yang membuncah bahwa The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada akhir bulan ini.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 3 Oktober 2019, probabilitas The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada bulan ini melonjak menjadi 86,1%, dari 77% sehari sebelumnya. Seminggu yang lalu, probabilitasnya masih berada di level 49,2%.
Optimisme bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada akhir bulan ini membuncah seiring dengan rilis data ekonomi AS yang mengecewakan. Kemarin (3/10/2019), Non-Manufacturing PMI periode September 2019 diumumkan oleh Institute for Supply Management (ISM) di level 52,6, di bawah konsensus yang sebesar 55,1, seperti dilansir dari Forex Factory. Melansir CNBC International, Non-Manufacturing PMI yang sebesar 52,6 tersebut merupakan level terendah yang pernah dicatatkan semenjak Agustus 2016 silam.
Sebelumnya pada hari Selasa (1/10/2019), Manufacturing PMI AS periode September 2019 versi ISM diumumkan di level 47,8, jauh di bawah konsensus yang sebesar 50,4, seperti dilansir dari Forex Factory.
Sebagai informasi, angka di atas 50 berarti aktivitas manufaktur membukukan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi.
Kontraksi yang terjadi pada bulan September merupakan kontraksi terburuk yang dibukukan oleh sektor manufaktur AS dalam satu dekade terakhir. Perang dagang dengan China terbukti telah sangat menyakiti perekonomian AS.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Lagi dan Lagi, Saham Konsumer Dilego Investor
