Impian Meroketnya Ekonomi Jokowi 7% & Laporan Pahit Menteri

Herdaru Purnomo & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
04 October 2019 11:38
Impian Meroketnya Ekonomi Jokowi 7% & Laporan Pahit Menteri
Jakarta, CNBC Indonesia - Bicara pertumbuhan ekonomi 7%, berarti bicara target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan Joko Widodo (Jokowi) kala berkompetisi melawan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam gelaran pemilihan presiden (Pilpres) 2014.

Ternyata, rencana tersebut bukanlah hal yang cuma diungkapkan dengan kata-kata oleh seorang Jokowi. Ia memasukkannya dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2014-2019.

Tapi tinggal hitungan hari periode pertamanya sebagai pemimpin tertinggi di negara ini, tak ada ceritanya janji manis itu terealisasi. Tak usahlah kita berbicara mengenai pertumbuhan ekonomi sebesar 7%, wong keluar dari batas bawah 5% saja kita tidak bisa.

Melansir data Refinitiv, pada tahun 2015 atau tahun pertama di mana Jokowi menjabat penuh sebagai presiden, pertumbuhan ekonomi justru longsor ke angka 4,79%. Selepas itu, pertumbuhan ekonomi selalu nyaman berada di batas bawah 5%.

Nah, data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal II-2019.

Sepanjang tiga bulan kedua tahun 2019, BPS mencatat perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh melambat dibandingkan capaian kuartal II-2018 kala perekonomian mampu tumbuh sebesar 5,27%. Pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 juga melambat jika dibandingkan capaian pada kuartal I-2019 yang sebesar 5,07%. Untuk periode semester I-2019, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,06% YoY.


Oh ya, pertumbuhan ekonomi di era Jokowi juga kerap kali berada di bawah target yang dicanangkan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ataupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) yang jauh lebih konservatif ketimbang janji manisnya kala berkampanye yang sebesar 7%.

Sedikit mundur ke tahun 2017, perekonomian ditargetkan tumbuh sebesar 5,1% dalam APBN. Pemerintah kemudian seakan menyombongkan diri dengan menaikkan targetnya menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Padahal, biasanya target pertumbuhan ekonomi dalam APBNP justru diturunkan. Realisasinya, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,07% pada tahun 2017.

Pada tahun 2018, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,17%. Padahal, pemerintah mematok target sebesar 5,4%. Ada selisih yang sangat jauh antara target dan realisasi.

Ketika Lembaga Asing Pesimistis Memandang Indonesia (HALAMAN SELANJUTNYA) >> NEXT




Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini sudah begitu skeptis dalam memandang perekonomian Indonesia. Beberapa sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019. Ya, di bawah 5% seperti yang terjadi pada tahun 2015 silam.

Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.

Menteri Keuangan periode 2013-2014 Chatib Basri memandang bahwa ekonomi Indonesia pada kuartal III-2019 bisa tumbuh di bawah 5%.

Dirinya menjelaskan, Indonesia sejatinya tidak sedang berada dalam resesi. Pasalnya, indikator resesi adalah pertumbuhan ekonomi yang terkoreksi selama dua kuartal berturut-turut.

"Indonesia tidak, kita masih tumbuh around 5%. Namun harus diakui, terjadi perlambatan ekonomi di Indonesia," tutur Chatib kepada CNBC Indonesia, Kamis (3/10/2019).

"Kuartal III-2019 tidak akan mencapai 5%. Di bawah itu. Saat ini terjadi perlambatan. Daya beli turun, swasta tak mau tambah produksi karena tidak ada yang beli kemudian penjualan motor dan mobil mentok," ujarnya.

Analisis dari Tim Riset CNBC Indonesia pun menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia sangat mungkin untuk tumbuh di bawah 5% pada kuartal III-2019. Memang, konsumsi rumah tangga Tim Riset CNBC Indonesia proyeksikan masih akan mampu untuk tumbuh di kisaran 5%. Secara keseluruhan di kuartal III-2019, bisa dikatakan bahwa daya beli masyarakat Indonesia tetap kuat, walaupun tambahan kekuatannya sudah tak sebesar dulu.

Untuk diketahui, lebih dari setengah perekonomian Indonesia dibentuk oleh konsumsi rumah tangga. Pada tahun 2018, konsumsi rumah tangga menyumbang sebesar 55,7% dari total perekonomian Indonesia.

Namun, yang menjadi masalah adalah di dua pos pembentuk ekonomi lainnya yang juga penting, yakni investasi dan belanja pemerintah. Pada tahun 2018, investasi menyumbang sebesar 32,3% dari total perekonomian Indonesia, sementara kontribusi dari belanja pemerintah adalah sebesar 9%.

Pada kuartal I-2019 dan kuartal II-2019, investasi tercatat tumbuh masing-masing sebesar 5,03% dan 5,01% secara tahunan. Pertumbuhan yang hanya di batas bawah 5% tersebut jauh merosot jika dibandingkan capaian pada periode yang sama tahun lalu. Pada kuartal I-2018 dan kuartal II-2018, investasi tercatat tumbuh masing-masing sebesar 7,95% dan 5,87% secara tahunan.

Pada kuartal III-2019, ada kemungkinan bahwa pertumbuhan pos investasi justru akan melorot ke bawah level 5%. Pasalnya, aktivitas sektor manufaktur Indonesia diketahui selalu membukukan kontraksi pada bulan Juli, Agustus, dan September.

Melansir data yang dipublikasikan oleh Markit, Manufacturing PMI Indonesia pada bulan Juli, Agustus, dan September berada masing-masing di level 49,6, 49, dan 49,1.

Sebagai informasi, angka di atas 50 berarti aktivitas manufaktur membukukan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi.

Dengan aktivitas manufaktur yang terus terkontraksi, dunia usaha akan cenderung menahan investasinya sehingga sangat mungkin pertumbuhan pos investasi akan melorot ke bawah 5%.

Beralih ke belanja pemerintah, Melansir APBN KITA yang dipublikasikan oleh Kementerian Keuangan, pada bulan Juli dan Agustus 2019 total belanja negara adalah senilai Rp 354 triliun atau turun 1,55% jika dibandingkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Untuk diketahui, data untuk periode September 2019 belum dipublikasikan.

Pada Juli dan Agustus 2018, belanja negara yang senilai Rp 359 triliun mengimplikasikan pertumbuhan hingga 17,85% jika dibandingkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya.

Dengan belanja pemerintah yang seret pada dua bulan pertama di kuartal III-2019, rasanya sulit untuk mengharapkan sumbangan yang besar dari pos ini terhadap pertumbuhan ekonomi periode kuartal III-2019.

Pemerintah harus serius melihat perlambatan ini, karena perlambatan ekonomi bisa mengganggu ekonomi makro secara keseluruhan. Pemerintah bisa mengakalinya dengan beberapa langkah pada kebijakan fiskal.

Laporan Pahit dari Menteri (HALAMAN SELANJUTNYA) >> NEXT Presiden Joko Widodo (Jokowi) kemarin membuka sidang kabinet paripurna dengan topik evaluasi pelaksanaan RPJMN 2014 - 2019 dan Persiapan Implementasi APBN Tahun 2020 di Istana Negara, Jakarta.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro dalam konferensi pers di Kantor Presiden, kompleks Istana Kepresidenan, pun menjabarkan berbagai pencapaian RPJMN 2014 - 2019.

"Memang yang kami sampaikan belum bisa gambarkan data terakhir karena sebagian besar data 2019 belum ada. Kecuali kami melakukan semacam prognosa atau perkiraan. Tapi bisa kita lihat beberapa indikator penting" kata Bambang.

Bambang menjelaskan pelaksanaan RPJMN 2014 - 2019 yang merupakan visi misi Jokowi memang diwarnai dengan keberhasilan dan kegagalan. Namun, pemerintah mengklaim bahwa pencapaian yang diraih sudah cukup baik.

"Tentu hasil evaluasi ini akan jadi bahan bagi kami di Bappenas untuk siapkan RPJMN 2020 - 2024," jelasnya.

Berikut sejumlah pencapaian yang berhasil dan tidak dalam pelaksanaan RPJMN 2014 - 2019.

Target yang jauh dari capaian:

Pertama, pertumbuhan ekonomi yang dipatok di RPJMN 2014 - 2019 sebesar 7%. Namun, realisasinya dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak pernah menyentuh angka target yang ditetapkan.

"RPJMN ini dibuat oleh pendahulu saya waktu di tahun 2014. Memang yang saya perhatikan, mengenai pertumbuhan ekonomi misalkan yang rata-rata 7%. Bahkan 2019 itu targetnya 8%. Itu mungkin terlau tinggi," kata Bambang.

Meskipun realisasi pertumbuhan sepanjang 2019 belum dipublikasikan, pemerintah cukup pesimistis pertumbuhan ekonomi di tahun ini bisa sesuai target RPJMN 2014 - 2019. Begitupun, dengan angka tax ratio.

"Yang sulit tercapai terkait pertumbuhan ekonomi atau tax ratio yang masih di bawah sasaran atau target," jelasnya.

Kedua, target wisatawan mancanegara yang dipatok di angka 20 juta orang. Pemerintah bersikap realistis, dengan hanya memperkirakan target wisatawan mancanegara yang melancong ke Indonesia hanya 17 - 18 juta orang.

"Yang katakan sulit tercapai misalnya wisatawan mancanegara. Target 2019 20 juta. Perkiraannya 2019 ini mungkin di seputaran 17 - 18 juta," katanya.

Ketiga, adalah indeks gini yang dipatok 0,36 dalam RPJMN 2014 - 2019. Bambang tak memungkiri, indeks gini memang dalam trend menurun, namun harus diakui bahwa indikator tersebut tidak mencapai target.

"Indeks gini menurun cukup baik dari sebelumnya di atas 0,4, sekarang menjadi di seputaran 0,382. Tapi memang targetnya terlalu tinggi 0,36, sehingga belum mencapai. Tapi yang paling penting trennya sudah kita bangun," jelasnya.

Keempat, adalah yang berkaitan dengan penegakan hukum dan realisasi belanja modal pemerintah daerah yang dianggap masih relatif rendah. Hal ini, tentu dianggap menghambat pembangunan


Kesimpulannya : Jadi berat memang untuk mencapai impian ekonomi Jokowi di 7%


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular