
Impian Meroketnya Ekonomi Jokowi 7% & Laporan Pahit Menteri
Herdaru Purnomo & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
04 October 2019 11:38

Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini sudah begitu skeptis dalam memandang perekonomian Indonesia. Beberapa sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019. Ya, di bawah 5% seperti yang terjadi pada tahun 2015 silam.
Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.
Menteri Keuangan periode 2013-2014 Chatib Basri memandang bahwa ekonomi Indonesia pada kuartal III-2019 bisa tumbuh di bawah 5%.
Dirinya menjelaskan, Indonesia sejatinya tidak sedang berada dalam resesi. Pasalnya, indikator resesi adalah pertumbuhan ekonomi yang terkoreksi selama dua kuartal berturut-turut.
"Indonesia tidak, kita masih tumbuh around 5%. Namun harus diakui, terjadi perlambatan ekonomi di Indonesia," tutur Chatib kepada CNBC Indonesia, Kamis (3/10/2019).
"Kuartal III-2019 tidak akan mencapai 5%. Di bawah itu. Saat ini terjadi perlambatan. Daya beli turun, swasta tak mau tambah produksi karena tidak ada yang beli kemudian penjualan motor dan mobil mentok," ujarnya.
Analisis dari Tim Riset CNBC Indonesia pun menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia sangat mungkin untuk tumbuh di bawah 5% pada kuartal III-2019. Memang, konsumsi rumah tangga Tim Riset CNBC Indonesia proyeksikan masih akan mampu untuk tumbuh di kisaran 5%. Secara keseluruhan di kuartal III-2019, bisa dikatakan bahwa daya beli masyarakat Indonesia tetap kuat, walaupun tambahan kekuatannya sudah tak sebesar dulu.
Untuk diketahui, lebih dari setengah perekonomian Indonesia dibentuk oleh konsumsi rumah tangga. Pada tahun 2018, konsumsi rumah tangga menyumbang sebesar 55,7% dari total perekonomian Indonesia.
Namun, yang menjadi masalah adalah di dua pos pembentuk ekonomi lainnya yang juga penting, yakni investasi dan belanja pemerintah. Pada tahun 2018, investasi menyumbang sebesar 32,3% dari total perekonomian Indonesia, sementara kontribusi dari belanja pemerintah adalah sebesar 9%.
Pada kuartal I-2019 dan kuartal II-2019, investasi tercatat tumbuh masing-masing sebesar 5,03% dan 5,01% secara tahunan. Pertumbuhan yang hanya di batas bawah 5% tersebut jauh merosot jika dibandingkan capaian pada periode yang sama tahun lalu. Pada kuartal I-2018 dan kuartal II-2018, investasi tercatat tumbuh masing-masing sebesar 7,95% dan 5,87% secara tahunan.
Pada kuartal III-2019, ada kemungkinan bahwa pertumbuhan pos investasi justru akan melorot ke bawah level 5%. Pasalnya, aktivitas sektor manufaktur Indonesia diketahui selalu membukukan kontraksi pada bulan Juli, Agustus, dan September.
Melansir data yang dipublikasikan oleh Markit, Manufacturing PMI Indonesia pada bulan Juli, Agustus, dan September berada masing-masing di level 49,6, 49, dan 49,1.
Sebagai informasi, angka di atas 50 berarti aktivitas manufaktur membukukan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi.
Dengan aktivitas manufaktur yang terus terkontraksi, dunia usaha akan cenderung menahan investasinya sehingga sangat mungkin pertumbuhan pos investasi akan melorot ke bawah 5%.
Beralih ke belanja pemerintah, Melansir APBN KITA yang dipublikasikan oleh Kementerian Keuangan, pada bulan Juli dan Agustus 2019 total belanja negara adalah senilai Rp 354 triliun atau turun 1,55% jika dibandingkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Untuk diketahui, data untuk periode September 2019 belum dipublikasikan.
Pada Juli dan Agustus 2018, belanja negara yang senilai Rp 359 triliun mengimplikasikan pertumbuhan hingga 17,85% jika dibandingkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya.
Dengan belanja pemerintah yang seret pada dua bulan pertama di kuartal III-2019, rasanya sulit untuk mengharapkan sumbangan yang besar dari pos ini terhadap pertumbuhan ekonomi periode kuartal III-2019.
Pemerintah harus serius melihat perlambatan ini, karena perlambatan ekonomi bisa mengganggu ekonomi makro secara keseluruhan. Pemerintah bisa mengakalinya dengan beberapa langkah pada kebijakan fiskal.
Laporan Pahit dari Menteri (HALAMAN SELANJUTNYA) >> NEXT (ank/dru)
Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.
Menteri Keuangan periode 2013-2014 Chatib Basri memandang bahwa ekonomi Indonesia pada kuartal III-2019 bisa tumbuh di bawah 5%.
"Indonesia tidak, kita masih tumbuh around 5%. Namun harus diakui, terjadi perlambatan ekonomi di Indonesia," tutur Chatib kepada CNBC Indonesia, Kamis (3/10/2019).
"Kuartal III-2019 tidak akan mencapai 5%. Di bawah itu. Saat ini terjadi perlambatan. Daya beli turun, swasta tak mau tambah produksi karena tidak ada yang beli kemudian penjualan motor dan mobil mentok," ujarnya.
Analisis dari Tim Riset CNBC Indonesia pun menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia sangat mungkin untuk tumbuh di bawah 5% pada kuartal III-2019. Memang, konsumsi rumah tangga Tim Riset CNBC Indonesia proyeksikan masih akan mampu untuk tumbuh di kisaran 5%. Secara keseluruhan di kuartal III-2019, bisa dikatakan bahwa daya beli masyarakat Indonesia tetap kuat, walaupun tambahan kekuatannya sudah tak sebesar dulu.
Untuk diketahui, lebih dari setengah perekonomian Indonesia dibentuk oleh konsumsi rumah tangga. Pada tahun 2018, konsumsi rumah tangga menyumbang sebesar 55,7% dari total perekonomian Indonesia.
Namun, yang menjadi masalah adalah di dua pos pembentuk ekonomi lainnya yang juga penting, yakni investasi dan belanja pemerintah. Pada tahun 2018, investasi menyumbang sebesar 32,3% dari total perekonomian Indonesia, sementara kontribusi dari belanja pemerintah adalah sebesar 9%.
Pada kuartal I-2019 dan kuartal II-2019, investasi tercatat tumbuh masing-masing sebesar 5,03% dan 5,01% secara tahunan. Pertumbuhan yang hanya di batas bawah 5% tersebut jauh merosot jika dibandingkan capaian pada periode yang sama tahun lalu. Pada kuartal I-2018 dan kuartal II-2018, investasi tercatat tumbuh masing-masing sebesar 7,95% dan 5,87% secara tahunan.
Pada kuartal III-2019, ada kemungkinan bahwa pertumbuhan pos investasi justru akan melorot ke bawah level 5%. Pasalnya, aktivitas sektor manufaktur Indonesia diketahui selalu membukukan kontraksi pada bulan Juli, Agustus, dan September.
Melansir data yang dipublikasikan oleh Markit, Manufacturing PMI Indonesia pada bulan Juli, Agustus, dan September berada masing-masing di level 49,6, 49, dan 49,1.
Sebagai informasi, angka di atas 50 berarti aktivitas manufaktur membukukan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi.
Dengan aktivitas manufaktur yang terus terkontraksi, dunia usaha akan cenderung menahan investasinya sehingga sangat mungkin pertumbuhan pos investasi akan melorot ke bawah 5%.
Beralih ke belanja pemerintah, Melansir APBN KITA yang dipublikasikan oleh Kementerian Keuangan, pada bulan Juli dan Agustus 2019 total belanja negara adalah senilai Rp 354 triliun atau turun 1,55% jika dibandingkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Untuk diketahui, data untuk periode September 2019 belum dipublikasikan.
Pada Juli dan Agustus 2018, belanja negara yang senilai Rp 359 triliun mengimplikasikan pertumbuhan hingga 17,85% jika dibandingkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya.
Dengan belanja pemerintah yang seret pada dua bulan pertama di kuartal III-2019, rasanya sulit untuk mengharapkan sumbangan yang besar dari pos ini terhadap pertumbuhan ekonomi periode kuartal III-2019.
Pemerintah harus serius melihat perlambatan ini, karena perlambatan ekonomi bisa mengganggu ekonomi makro secara keseluruhan. Pemerintah bisa mengakalinya dengan beberapa langkah pada kebijakan fiskal.
Laporan Pahit dari Menteri (HALAMAN SELANJUTNYA) >> NEXT (ank/dru)
Next Page
Laporan Pahit dari Menteri
Pages
Most Popular