Berbicara mengenai angka pertumbuhan ekonomi, pastilah kita berbicara mengenai inflasi. Maklum, lebih dari 50% perekonomian Indonesia dibentuk oleh konsumsi rumah tangga. Pada tahun 2018, konsumsi rumah tangga menyumbang sebesar 55,7% dari total perekonomian Indonesia.
Di kuartal III-2019, secara sekilas angka inflasi menunjukkan bahwa daya beli masyarakat Indonesia mengalami pelemahan. Jika ditotal untuk periode kuartal III-2019, Indonesia membukukan inflasi sebesar 0,16%. Inflasi pada kuartal IIhI-2019 berada jauh di bawah rata-rata inflasi kuartal III dalam empat tahun pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mencapai 0,62%.
Di era pemerintahan Jokowi, inflasi kuartal III-2019 yang hanya sebesar 0,16% merupakan inflasi kuartal III terendah kedua di eranya, pasca pada kuartal III-2018 Indonesia hanya mencatatkan inflasi sebesar 0,05%.
Namun kalau diamati, rendahnya inflasi pada kuartal III-2019 disebabkan oleh terjadinya deflasi yang dalam pada bulan September. Sebagai gambaran, deflasi pada September 2019 yang sebesar 0,27% merupakan deflasi kedua pada tahun ini, sekaligus deflasi terdalam yang terjadi di kuartal III dalam setidaknya lima tahun terakhir.
Pada Juli dan Agustus 2019, terjadi inflasi masing-masing sebesar 0,31% dan 0,12% secara bulanan, sehingga jika ditotal menjadi 0,43%. Namun, kehadiran deflasi yang sebesar 0,27% pada September 2019 membuat total inflasi pada kuartal III-2019 menjadi rendah.
Pada September 2019, terjadinya deflasi praktis hanya disumbang oleh penurunan harga bahan makanan. Sepanjang bulan lalu, harga bahan makanan tercatat merosot hingga 1,97% secara bulanan. Sementara itu, pos-pos pembentuk inflasi lainnya masih mencatatkan kenaikan harga secara bulanan.
Untuk diketahui, bahan makanan merupakan kebutuhan primer dari masyarakat, sehingga tingkat konsumsinya akan cenderung stabil, kecuali pada saat periode libur panjang di mana konsumsi biasanya akan naik secara signifikan.
Lantas, kejatuhan harga bahan makanan yang signifkan pada bulan lalu patut diinterpretasikan sebagai keberhasilan dari pemerintah dalam upayanya mengontrol pasokan di seluruh tanah air.
Guna melihat secara lebih jelas posisi daya beli masyrakat Indonesia, ada satu indikator yang sejatinya sudah disediakan oleh BPS, yakni inflasi inti. Inflasi inti merupakan indikator yang menggambarkan pergerakan harga barang dan jasa yang cenderung kecil fluktuasinya. Inflasi inti mengeluarkan barang dan jasa yang fluktuasi harganya cenderung tinggi yakni bahan makanan, serta barang dan jasa yang harganya diatur oleh pemerintah.
Ketika inflasi inti terus merangkak naik, kemungkinan besar penyebabnya adalah kenaikan permintaan yang berarti daya beli masyrakat semakin kuat.
Nah, dalam beberapa waktu terakhir, inflasi inti terus menunjukkan kenaikan.
Memang, tak bisa disangsikan bahwa ada sinyal kenaikan dari daya beli masyarakat Indonesia mulai melambat. Hal ini terlihat jelas dari data penjualan barang-barang ritel.
Melansir Survei Penjualan Eceran (SPE) yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia (BI), penjualan barang-barang ritel periode Juli 2019 tercatat hanya tumbuh sebesar 2,4% secara tahunan, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu (Juli 2018) yang sebesar 2,9%.
Untuk bulan Agustus, angka sementara menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel hanya tumbuh 3,7% YoY, jauh di bawah pertumbuhan pada Agustus 2018 yang mencapai 6,1%.
Sebagai catatan, sudah sedari bulan Mei pertumbuhan penjualan barang-barang ritel tak bisa mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan pada bulan Juni, penjualan barang-barang ritel terkontraksi 1,8% secara tahunan. Pada Juni 2018, diketahui ada pertumbuhan sebesar 2,3%.
Namun tetap saja, secara keseluruhan bisa dikatakan bahwa daya beli masyarakat Indonesia tetap kuat, walaupun tambahan kekuatannya sudah tak sebesar dulu.
Pada akhirnya, konsumsi rumah tangga yang membentuk lebih dari setengah perekonomian Indonesia kita harapkan bisa mempertahankan pertumbuhan di atas 5% pada kuartal III-2019. Untuk diketahui, pada kuartal I-2019 dan kuartal II-2019, konsumsi rumah tangga tercatat tumbuh masing-masing sebesar 5,02% dan 5,17% secara tahunan.
Hal lain yang membuat kami optimistis bahwa konsumsi rumah tangga akan kembali tumbuh di atas 5% pada kuartal III-2019 adalah pencairan gaji ke-13 PNS, TNI, Polri, dan pensiunan pada awal bulan Juli atau awal kuartal III-2019. Dengan pencairan gaji ke-13, masyarakat praktis memiliki dana lebih untuk dibelanjakan yang pada akhirnya akan membuat mereka lebih konsumtif. Tak kurang dari Rp 20 triliun disalurkan oleh pemerintah dalam bentuk gaji ke-13.
BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Investasi Sulit Diandalkan
Setelah konsumsi rumah tangga, komponen lain yang memiliki kontribusi besar dalam pembentukan ekonomi Indonesia adalah pembentukan modal tetap bruto atau singkatnya biasa disebut investasi. Pada tahun 2018, investasi menyumbang sebesar 32,3% dari total perekonomian Indonesia.
Pada kuartal I-2019 dan kuartal II-2019, investasi tercatat tumbuh masing-masing sebesar 5,03% dan 5,01% secara tahunan. Pertumbuhan yang hanya di batas bawah 5% tersebut jauh merosot jika dibandingkan capaian pada periode yang sama tahun lalu. Pada kuartal I-2018 dan kuartal II-2018, investasi tercatat tumbuh masing-masing sebesar 7,95% dan 5,87% secara tahunan.
Pada kuartal III-2019, ada kemungkinan bahwa pertumbuhan pos investasi justru akan melorot ke bawah level 5%. Pasalnya, aktivitas sektor manufaktur Indonesia diketahui selalu membukukan kontraksi pada bulan Juli, Agustus, dan September.
Melansir data yang dipublikasikan oleh Markit, Manufacturing PMI Indonesia pada bulan Juli, Agustus, dan September berada masing-masing di level 49,6, 49, dan 49,1.
Sebagai informasi, angka di atas 50 berarti aktivitas manufaktur membukukan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi.
Dengan aktivitas manufaktur yang terus terkontraksi, dunia usaha akan cenderung menahan investasinya sehingga sangat mungkin pertumbuhan pos investasi akan melorot ke bawah 5%.
Selain karena aktivitas manufaktur dalam negeri yang selalu terkontraksi pada kuartal III-2019, patut diwaspadai bahwa lemahnya realisasi penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment (FDI) akan kembali didapati di tiga bulan ketiga tahun ini.
Jika berbicara mengenai investasi, yang terpenting itu adalah PMA dan bukan penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau domestic direct investment (DDI). Pasalnya, dari total penanaman modal di tanah air, lebih dari 50% disumbang oleh PMA. Karena nilainya lebih besar, tentu pertumbuhan PMA yang signifikan akan lebih terasa bagi perekonomian ketimbang pertumbuhan PMDN. Data PMA dan PMDN sendiri dipublikasikan secara kuartalan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Terhitung dalam periode kuartal II-2018 hingga kuartal I-2019, realisasi PMA selalu tumbuh negatif secara tahunan. Barulah pada kuartal II-2019, realisasi PMA tumbuh secara positif.
Pada tiga bulan kedua tahun ini, investor asing mulai giat mengucurkan dananya untuk membangun pabrik di dalam negeri menyusul kepastian yang datang dari gelaran pemilihan presiden (Pilpres) di pertengahan bulan April, di mana Jokowi kembali terpilih sebagai presiden untuk periode keduanya, dengan wakil yang baru yakni Ma’ruf Amin.
Pada tiga bulan ketiga tahun ini, bisa jadi hasrat investor asing untuk mengucurkan dananya di Indonesia menciut lantaran kondisi di tanah air yang memanas. Seperti yang diketahui, Indonesia memanas menjelang akhir bulan September seiring dengan gelombang demo yang terjadi di berbagai daerah terkait dengan beberapa isu.
Isu-isu yang dimaksud di antaranya revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang belum lama ini sudah disahkan oleh parlemen. Disahkannya revisi UU KPK dipandang oleh banyak pihak sebagai upaya yang sistematis untuk melemahkan posisi KPK, sebuah lembaga yang memiliki rekam jejak oke dalam hal pemberantasan korupsi di Indonesia.
Selain revisi UU KPK, aksi demo juga digelar guna menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Lebih lanjut, ada RUU Permsayarakatan, RUU Ketenagakerjaan, dan juga RUU Minerba yang lagi-lagi meresahkan masyarakat.
Presiden Jokowi sejatinya sudah mengambil beberapa langkah guna mendingikan suasana, seperti berdiskusi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang pada akhirnya mendorong pengesahan RUU KUHP dan tiga RUU kontroversial lain dibatalkan.
Kepastian pembatalan pengesahan empat RUU tersebut datang pada hari Selasa (24/9/2019) dari Ketua DPR RI Bambang Soesatyo. Empat RUU yang dibatalkan pengesahannya adalah RUU KUHP, RUU Permasyarakatan, RUU Pertanahan dan RUU Minerba.
Kemudian, Jokowi menggelar pertemuan dengan sejumlah tokoh bangsa dari berbagai elemen di Istana Kepresidenan. Pasca menggelar pertemuan, Jokowi mengungkapkan bahwa dirinya akan mempertimbangkan untuk menerbitkan Perppu untuk UU KPK yang sangat kontroversial.
"Ya tentu ini akan kita segera hitung kalkulasi dan nanti setelah kita putuskan akan kami sampaikan pada senior dan guru-guru saya yang hadir," kata Jokowi.
Namun, belum semua tuntutan pendemo dipenuhi sehingga aksi demonstrasi terus saja terjadi hingga akhir bulan.
BERLANJUT KE HALAMAN 4 -> Belanja Pemerintah Seret
Selain konsumsi rumah tangga dan investasi, pos lain yang tak bisa dianggap sepele dalam memproyeksikan angka pertumbuhan ekonomi adalah belanja pemerintah. Pada tahun 2018, belanja pemerintah berkontribusi sebesar 9% dalam membentuk perekonomian Indonesia.
Sayangnya, belanja pemerintah di kuartal III-2019 agaknya seret. Melansir APBN KITA yang dipublikasikan oleh Kementerian Keuangan, pada bulan Juli dan Agustus 2019 total belanja negara adalah senilai Rp 354 triliun atau turun 1,55% jika dibandingkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Untuk diketahui, data untuk periode September 2019 belum dipublikasikan.
Pada Juli dan Agustus 2018, belanja negara yang senilai Rp 359 triliun mengimplikasikan pertumbuhan hingga 17,85% jika dibandingkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya.
Dengan belanja pemerintah yang seret pada dua bulan pertama di kuartal III-2019, rasanya sulit untuk mengharapkan sumbangan yang besar dari pos ini terhadap pertumbuhan ekonomi periode kuartal III-2019.
Dari tiga pos utama yang membentuk perekonomian Indonesia, hanya konsumsi rumah tangga yang bisa diharapkan untuk mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi di tiga bulan ketiga tahun ini, sementara dua sisanya yakni investasi dan belanja pemerintah agaknya sulit diharapkan.
Oleh karena itu, kami melihat bahwa pertumbuhan ekonomi periode kuartal III-2019 masih akan berkutat di batas bawah 5%. Bahkan, peluang pertumbuhan ekonomi tergelincir ke bawah 5% juga tak bisa dikesampingkan. Menurut kami, pertumbuhan ekonomi periode kuartal III-2019 secara tahunan akan jatuh di rentang 4,95%-5,05%.
TIM RISET CNBC INDONESIA