Ada Hantu Resesi, Cuan Emas di Kuartal III Bisa Sampai 6,35%

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
01 October 2019 17:59
Ada Hantu Resesi, Cuan Emas di Kuartal III Bisa Sampai 6,35%
Foto: Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)
Jakarta, CNBC Indonesia - Performa harga logam mulia emas di kuartal III 2019 memang kinclong. Tercatat dalam kurun waktu tiga bulan terakhir atau sejak Juli hingga September 2019 harga telah emas naik 6,35%.

Harga emas dunia di pasar spot pada awal Juli 2019, mencapai US$ 1.384/oz. Harga tersebut sudah tergolong tinggi dibandingkan dengan harga emas pada dua kuartal awal 2019 yang bergerak di rentang US$ 1.270,29-1422,85/oz.

Di bulan Juli harga emas global di pasar spot mencapai level tertingginya pada 18 Juli 2019 hingga US$ 1.446/oz. Harga kembali mencetak rekor tertingginya pada 27 Agustus mencapai US$ 1.542,39/oz.

Harga emas ternyata masih ogah turun dan kembali mencetak rekor harga tertingginya pada 4 September lalu ke level US$ 1.552,35/oz. Setelah itu harga emas mulai terkapar. Namun harga emas belum turun kembali ke level harga tertinggi di bulan Juli.



Harga emas yang cenderung menanjak naik di sepanjang kuartal ke III 2019 mencerminkan adanya risiko ekonomi global yang nyata. Pemantiknya apalagi kalau bukan perang dagang raksasa ekonomi dunia, AS-China.

Perang dagang yang terjadi antara keduanya dalam kurun waktu lebih dari satu tahun terakhir ini memang sangat berdampak pada perekonomian global. Dampak perang dagang yang terjadi bukan main-main mulai dari rantai pasok global yang terganggu hingga menyeret ke dunia ke dalam jurang resesi yang menganga.

Ketika dua raksasa ekonomi global terkontraksi, maka tentu dampak tersebut akan dirasakan oleh negara di berbagai belahan dunia. Pasalnya Amerika sebagai kekuatan ekonomi global dengan PDB lebih dari US$ 19 triliun dan China dengan PDB lebih dari US$ 12 triliun merupakan negara importir dan tempat investor berada.

Konflik dagang antara dua negara tersebut kembali memanas di bulan Agustus lalu. China mengumumkan bahwa pihaknya akan membebankan bea masuk bagi produk impor AS senilai US$ 75 miliar. Pembebanan bea masuk tersebut akan mulai berlaku 1 September dan 15 Desember pada kisaran 5-10%.

Lebih lanjut, China juga mengenakan tarif 25% terhadap produk mobil pabrikan AS dan 5% untuk komponen mobil yang efektif berlaku pada 15 Desember. Kebijakan ini sebelumnya telah dihentikan sejak April lalu. Namun kembali diberlakukan.

Tak mau kalah AS balik membalas dengan meningkatkan tarif impor dari 25% menjadi 30% untuk produk impor asal Negeri Tirai Bambu sebesar US$ 250 miliar.

Namun untungnya ketegangan tersebut tidak berlangsung lama dan kedua negara tersebut memilih untuk melakukan gencatan tarif untuk sementara dan menjadwalkan negosiasi di Washington 10-11 Oktober mendatang

(LANJUT KE HALAMAN 2)

Akibat perang dagang tersebut ekonomi AS harus mengalami perlambatan pertumbuhan terutama di aktivitas investasi bisnis, sektor manufaktur hingga pertanian. Pembacaan final angka pertumbuhan ekonomi AS kuartal 2 tercatat 2% dibandingkan pada kuartal pertama yang mencapai 3%.  

Hal yang sama juga terjadi pada China, ekonomi Negeri Tirai Bambu tersebut harus mencatatkan pertumbuhan terendah sejak 27 tahun terakhir ke level 6,2% pada periode April-Juni.

Selain perang dagang AS-China yang bikin seluruh dunia khawatir, ancaman resesi global juga sudah menunjukkan tanda-tanda yang bikin ketar-ketir juga. Wabah resesi sudah mulai menjangkiti Eropa. Sebut saja Jerman, Inggris dan Italia yang terancam masuk ke dalam jurang resesi yang mengerikan.

Pada periode Mei-Juli ekonomi Negeri Ratu Elizabet tercatat tumbuh 0%, alias tidak tidak tumbuh. Sentimen yang juga memperparah kondisi ini adalah tensi geopolitik yang tak kunjung mereda akibat tidak ditemukannya kesepakatan yang berarti terkait keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau Brexit.

Italia dan Jerman juga terancam kena resesi. Pertumbuhan ekonomi Italia periode April-Juni tercatat tidak tumbuh alias 0%. Begitu juga Jerman yang mengalami kontraksi pada sektor manufakturnya yang terus menurun.

Mimpi buruk tersebut ternyata tidak hanya melanda daratan benua biru, benua kuning seolah jadi sasaran selanjutnya. Hong Kong dan Singapura adalah kandidat kuat yang akan masuk ke jurang resesi. Melansir data Refinitiv, perekonomian Negeri Singa terkontraksi sebesar 3,3% pada kuartal II-2019 (QoQ annualized). Jika perekonomian di kuartal III-2019 masih terkontraksi, Singapura akan resmi mengalami resesi.

Tak hanya Singapura, Hong Kong juga berada di ujung jurang resesi. Pada kuartal II-2019, perekonomian Hong Kong terkontraksi sebesar 0,4% QoQ, sangat kontras dengan kuartal I-2019 kala perekonomian Negeri Jackie Chan mampu tumbuh sebesar 1,3%. Jika perekonomian di kuartal III-2019 masih terkontraksi, Hong Kong akan resmi jatuh ke jurang resesi.

Ancaman perlambatan ekonomi global tersebut yang membuat investor buru-buru memindahkan asetnya dari yang berisiko tinggi ke aset-aset safe haven seperti emas. Ketika resesi terjadi risk appetite investor global jadi menurun. Alhasil emas jadi diburu dan harganya jadi melambung tinggi seperti sekarang ini.

Kenaikan harga emas global juga turut mengerek instrumen investasi yang dinilai seksi dalam negeri. Apalagi kalau bukan emas Antam. Pada awal Juli 2019, harga emas Antam di gerai Butik Emas LM Pulau Gadung adalah Rp. 650.000/gram. Harga melambung tinggi hingga di tutup ke level Rp. 712.000/gram di akhir September secara point-to-point. Itu artinya dalam kurun waktu tiga bulan terakhir harga emas Antam naik Rp. 62.000 atau terapresiasi hingga 9,54%. Kenaikan yang lebih tinggi daripada emas global.



(TIM RISET CNBC INDONESIA)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular