
Dalam Dua Hari, Euro Jeblok ke Level Terendah 28 Bulan
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
26 September 2019 19:58

Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang euro kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (26/9/19), melanjutkan performa buruk Rabu kemarin. Dalam dua hari, mata uang 19 negara ini sudah jeblok ke level terlemah dalam 28 bulan terakhir.
Pada pukul 19:15 WIB, euro diperdagangkan di level US$ 1,0935 atau melemah tipis 0,05% di pasar spot, melansir data Refintiiv. Sebelumnya euro sempat turun ke US$ 1,0921 yang menjadi level terendah 28 bulan terakhir. Sementara Rabu kemarin, mata uang 19 negara ini anjlok 0,7%.
Pelemahan euro dalam dua hari terakhir akibat efek ganda dari potensi resesi di Jerman, serta harapan damai dagang AS-China yang membuat dolar perkasa.
Setelah Italia mengalami resesi pada akhir 2018, kondisi ekonomi blok 19 negara itu kembali menjadi sorotan setelah rilis data indeks aktivitas bisnis (sektor manufaktur dan jasa) dari Zona Euro. Secara keseluruhan aktivitas bisnis di blok 19 negara tersebut mengalami pelambatan, sektor manufaktur bahkan mengalami kontraksi delapan bulan beruntun.
Jerman, raksasa ekonomi Benua Biru, paling menjadi sorotan. Sang raksasa kini sedang lesu, tidak lama lagi sepertinya akan mengalami resesi.
Sebagai negara yang mengandalkan ekspor sebagai roda penggerak perekonomian, sektor manufaktur Jerman justru mengalami kontraksi sembilan bulan beruntun. Di bulan ini, kontraksi bahkan mencapai yang terdalam hingga lebih dari satu dekade terakhir.
IHS Markit melaporkan indeks manufaktur Jerman bulan September sebesar 41,4, turun dari bulan sebelumnya 43,5. Sementara sektor jasa meski masih berekspansi mengalami pelambatan menjadi 52,5 dari sebelumnya 54,8.
Pertumbuhan ekonomi Negeri Panser di kuartal II-2019 mengalami kontraksi sebesar 0,1% quarter-on-quarter (QoQ). Dengan aktivitas manufaktur yang terus memburuk, maka di kuartal III-2019 Jerman berpeluang besar kembali mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi lagi, sehingga masuk ke jurang resesi.
Resesi yang dialami Jerman tentunya akan berdampak buruk ke negara-negara lainnya di Benua Biru. Ketika sang raksasa sedang lesu, tentunya permintaan impor akan menjadi berkurang, ketika permintaan berkurang negara pengekspor ke Jerman akan turut mengalami pelambatan.
Akibat data tersebut, euro terus mengalami tekanan.
Di sisi lain, dolar AS sedang perkasa setelah presiden Trump mengatakan kesepakatan dagang dengan China akan segera terjadi, bahkan lebih cepat dari perkiraan pasar.
"Mereka (China) ingin membuat kesepakatan, dan itu bisa terjadi lebih cepat dari yang Anda duga. Saya bersikap baik kepada mereka, dan kami melakukan pembicaraan yang positif. China mulai membeli kembali produk agrikultur kami seperti daging sapi dan babi, banyak sekali daging babi," ungkap Trump di New York, seperti diberitakan Reuters.
Yang lebih bagus lagi, AS sudah mencapai mencapai kesepakatan dagang baru dengan Jepang. Pernyataan dan kesepakatan tersebut disambut baik oleh pelaku pasar, ekonomi AS diharapkan akan membaik jika kesepakatan dagang dengan China akhirnya tercapai. Dolar pun menjadi perkasa.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Ekonomi AS Makin Terpuruk, Euro Berbalik Menguat 0,5%
Pada pukul 19:15 WIB, euro diperdagangkan di level US$ 1,0935 atau melemah tipis 0,05% di pasar spot, melansir data Refintiiv. Sebelumnya euro sempat turun ke US$ 1,0921 yang menjadi level terendah 28 bulan terakhir. Sementara Rabu kemarin, mata uang 19 negara ini anjlok 0,7%.
Pelemahan euro dalam dua hari terakhir akibat efek ganda dari potensi resesi di Jerman, serta harapan damai dagang AS-China yang membuat dolar perkasa.
Jerman, raksasa ekonomi Benua Biru, paling menjadi sorotan. Sang raksasa kini sedang lesu, tidak lama lagi sepertinya akan mengalami resesi.
Sebagai negara yang mengandalkan ekspor sebagai roda penggerak perekonomian, sektor manufaktur Jerman justru mengalami kontraksi sembilan bulan beruntun. Di bulan ini, kontraksi bahkan mencapai yang terdalam hingga lebih dari satu dekade terakhir.
IHS Markit melaporkan indeks manufaktur Jerman bulan September sebesar 41,4, turun dari bulan sebelumnya 43,5. Sementara sektor jasa meski masih berekspansi mengalami pelambatan menjadi 52,5 dari sebelumnya 54,8.
Pertumbuhan ekonomi Negeri Panser di kuartal II-2019 mengalami kontraksi sebesar 0,1% quarter-on-quarter (QoQ). Dengan aktivitas manufaktur yang terus memburuk, maka di kuartal III-2019 Jerman berpeluang besar kembali mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi lagi, sehingga masuk ke jurang resesi.
Resesi yang dialami Jerman tentunya akan berdampak buruk ke negara-negara lainnya di Benua Biru. Ketika sang raksasa sedang lesu, tentunya permintaan impor akan menjadi berkurang, ketika permintaan berkurang negara pengekspor ke Jerman akan turut mengalami pelambatan.
Akibat data tersebut, euro terus mengalami tekanan.
Di sisi lain, dolar AS sedang perkasa setelah presiden Trump mengatakan kesepakatan dagang dengan China akan segera terjadi, bahkan lebih cepat dari perkiraan pasar.
"Mereka (China) ingin membuat kesepakatan, dan itu bisa terjadi lebih cepat dari yang Anda duga. Saya bersikap baik kepada mereka, dan kami melakukan pembicaraan yang positif. China mulai membeli kembali produk agrikultur kami seperti daging sapi dan babi, banyak sekali daging babi," ungkap Trump di New York, seperti diberitakan Reuters.
Yang lebih bagus lagi, AS sudah mencapai mencapai kesepakatan dagang baru dengan Jepang. Pernyataan dan kesepakatan tersebut disambut baik oleh pelaku pasar, ekonomi AS diharapkan akan membaik jika kesepakatan dagang dengan China akhirnya tercapai. Dolar pun menjadi perkasa.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Ekonomi AS Makin Terpuruk, Euro Berbalik Menguat 0,5%
Most Popular