Khawatir AS Kian Dekati Resesi, Rupiah Lesu Lagi

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
26 September 2019 10:39
Khawatir AS Kian Dekati Resesi, Rupiah Lesu Lagi
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Rupiah pun kesulitan menghadapi dolar AS di 'arena' pasar spot.

Pada Kamis (26/9/2019), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.162. Rupiah melemah 0,2% dan menyentuh titik terlemah sejak 4 September.

Rupiah juga sudah melemah selama tiga hari beruntun di kurs tengah BI. Dalam periode tersebut, depresiasi rupiah tercatat sebesar 0,6%.



Sementara di pasar spot, rupiah juga melemah. Pada pukul 10:12 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.155 di mana rupiah melemah 0,07%.

Kala pembukaan pasar, rupiah belum melemah meski bukan berarti menguat. Stagnan saja di Rp 14.145/US$. Namun selepas itu, depresiasi rupiah sudah tidak bisa ditahan lagi meski dalam rentang terbatas.

Sedangkan di Asia, mata uang utama Benua Kuning bergerak variatif di hadapan dolar AS. Selain rupiah, mata uang yang juga melemah adalah rupee India, won Korea Selatan, dan ringgit Malaysia.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 10:15 WIB:

 

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)



Hari ini sepertinya investor memang masih memilih bermain aman, wait and see. Sebab sentimen eksternal yang beredar juga agak mixed.

Di satu sisi ada berita gembira dari perkembangan hubungan AS-China. Presiden AS Donald Trump mengungkapkan proses dialog Washington-Beijing berjalan mulus. Bahkan sang presiden ke-45 Negeri Adidaya sudah berani sesumbar bahwa kesepakatan damai dagang bisa segera terwujud.

"Mereka (China) ingin membuat kesepakatan, dan itu bisa terjadi lebih cepat dari yang Anda duga. Saya bersikap baik kepada mereka, dan kami melakukan pembicaraan yang positif. China mulai membeli kembali produk agrikultur kami seperti daging sapi dan babi, banyak sekali daging babi," ungkap Trump kepada para jurnalis di New York, seperti diberitakan Reuters.


Perkembangan ini tentu positif bagi pasar, dan seluruh pelaku ekonomi. Saat AS-China benar-benar sudah berdamai, maka arus perdagangan dan investasi global akan pulih sehingga pertumbuhan ekonomi bisa ditingkatkan.

Akan tetapi, di sisi lain ada yang membuat investor harap-harap cemas. Malam ini waktu Indonesia, US Bureau of Economic Analysis akan mengumumkan data pembicaraan final angka pertumbuhan ekonomi AS kuartal I-2019.

Pada pembacaan awal, pertumbuhan ekonomi AS kuartal II-2019 adalah 2,1% secara kuartalan yang disetahunkan. Namun kemudian pada pembacaan kedua direvisi menjadi 2%.

Konsensus pasar yang dihimpun Trading Economics memperkirakan ekonomi AS pada periode April-Juni 2019 adalah 2%, tidak berubah dari pembacaan kedua. Jika terjadi, maka ada pelambatan yang lumayan karena pada kuartal I-2019 ekonomi AS masih bisa tumbuh 3,1%.






(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Data pertumbuhan ekonomi sangat ditunggu oleh pasar, apalagi saat isu resesi mengemuka selama beberapa waktu terakhir. Sejumlah lembaga mulai memperkirakan kans AS untuk terjebak dalam resesi pada 2020 semakin tinggi.

Dengan melihat tren imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 3 bulan dan 10 tahun, Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) New York sampai pada kesimpulan bahwa probabilitas resesi di AS pada Agustus 2020 adalah 37,93%. Ini adalah angka tertinggi sejak Maret 2008.

The Fed Cleveland bahkan punya prediksi yang lebih seram lagi. Dengan memperhatikan yield obligasi pemerintah tenor 3 bulan dan 10 tahun serta proyeksi pertumbuhan ekonomi, maka peluang terjadinya resesi pada Agustus 2020 mencapai 44,13%. Juga tertinggi sejak Maret 2008.

Apalagi The Fed Atlanta dalam perangkat GDPNow memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS kembali melambat menjadi 1,9% pada kuartal III-2019. Apabila ekonomi AS terus melambat, maka jurang resesi akan kian sulit untuk dihindari.


Padahal kalai AS resesi dampaknya akan dirasakan oleh seluruh dunia. Maklum, AS adalah perekonomian terbesar di dunia, konsumen nomor satu.

Jadi kalau AS resesi, maka permintaan di sana tentu bakal berkurang. Akibatnya, sulit bagi negara-negara lain untuk mengandalkan ekspor sebagai mesin penggerak pertumbuhan ekonomi.







TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular