Harga Minyak Bisa di Atas US$ 75/barel, Berapa Idealnya?

tahir saleh, CNBC Indonesia
26 September 2019 07:10
Harga Minyak Bisa di Atas US$ 75/barel, Berapa Idealnya?

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga mentah dunia diprediksi bisa meloncat di atas US$ 75 per barel jika kekurangan pasokan minyak dunia tidak segera dipenuhi oleh produsen, usai serangan pesawat nirawak (drone) yang menyebabkan kebakaran pada dua fasilitas perusahaan minyak Arab Saudi, Saudi Aramco.

Ari Kuncoro, Guru Besar dan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, mengatakan, serangan drone pada Sabtu (14/9) dini hari itu menghilangkan produksi minyak sekitar 5,7 juta barrel per hari dari pasar dunia.

Hal ini, jika tidak dikompensasikan, akan meningkatkan harga minyak, baik melalui jalur selisih permintaan dengan pasokan maupun melalui ekspektasi perdagangan instrumen derivatif keuangan berjangka.

Ari yang baru terpilih menjadi Rektor UI periode 2019-2024 pada Rabu (25/9) ini mengatakan serangan ke fasilitas Aramco itu membuat perekonomian dunia yang sudah tidak menentu akibat perang dagang Amerika Serikat-China menjadi semakin tak menentu.


"Serangan itu sempat membangkitkan kepanikan di pasar minyak dunia yang tercermin dari kenaikan harga minyak, segera setelah serangan itu. Kualitas minyak mentah standar diwakili WTI [West Texas Intermediate], sementara kualitas premium diwakili Brent. Ada selisih harga kurang lebih US$ 10 per barel di antara dua kualitas tersebut," kata Ari kepada CNBC Indonesia, Selasa (24/9/2019).

Dia mengatakan, harga minyak Brent (untuk patokan Eropa dan Asia) sudah naik saat ini hampir 20% ke US$ 72 per barel atau kenaikan tertinggi sejak 14 Januari 1991 pada saat Perang Teluk pecah.

Sementara itu, harga minyak jenis WTI (untuk patokan Amerika) juga naik menjadi sekitar US$ 65 per barel.

"Situasi ini sempat menimbulkan kepanikan sehingga terjadi spekulasi harga minyak akan naik ke US$ 100 per barel, bahkan lebih. Hal ini mendorong anggaran bahwa resesi dunia yang belum pasti kapan terjadinya, akan menjadi kenyataan dalam waktu dekat," jelas Ari yang juga dikenal sebagai ekonom ini.

PAGI-Harga Minyak Bisa di Atas US$ 75/barel, Berapa Idealnya?Foto: Kondisi fasilitas minyak Aramco usai serangan drone (REUTERS/Hamad l Mohammed)



Harga minyak berpotensi rekor


Dia menganalisis, jika kekurangan pasokan minyak sekitar 5,7 juta barel per hari dari pasar dunia itu tidak dikompensasi, maka ada beberapa skenario kenaikan harga minyak dunia.

Bila dalam 6 pekan situasi kekurangan pasokan itu tidak bisa diatasi, harga minyak Brent bisa meloncat sampai US$ 9 per barel menjadi US$ 75 per barel.

Skenario lain, jika kekurangan suplai ini tidal kunjung diatasi, maka harga minyak dunia akan melesat di atas US$ 75 per barel. "AS mungkin akan mengeluarkan cadangan strategisnya untuk mencegah harga mendekati US$ 100 per barel," jelasnya.


Menurut Ari, pasar minyak saat ini sudah berbeda dengan periode tahun 1980-an dan 1900-an karena Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak atau OPEC tidak lagi menjadi pemain dominan.

Ekspor minyak negara-negara anggota OPEC saat ini Hanya meliputi 60% dari ekspor minyak dunia sehingga lebih mirip model oligopoli Cournot (biasa disebut duopoli) yang contestable (persaingan). Lazimnya, pasar duopoli hanya terdapat dua perusahaan yang menjual produk yang homogen, dengan demikian hanya terdapat satu harga pasar.

Lalu berapa idealnya harga minyak dunia?

LANJUT HALAMAN 2 >>

Menurut Ari, OPEC atau Arab Saudi sebagai pemimpin de facto OPEC berisiko kehilangan pangsa pasar jika harga minyak terlalu tinggi dan sebaliknya, bisa merugi jika harga minyak terlalu rendah.

"Negara-negara non-OPEC, yang ongkos produksinya lebih tinggi, dapat masuk ke pasar jika harga minyak terlalu tinggi. Harga minyak yang optimal berkisar antara US$ 50-60 per barel untuk WTI," kata Ari menganalisis.

Sebagai perbandingan, data oilprice.com mencatat, setahun terakhir, harga minyak WTI tembus rekor tertinggi pada 3 Oktober 2018 yakni US$ 76,41 per barel, sementara Brent di level US$ 86,29 per barel. Sebaliknya, harga terendah WTI terjadi pada 25 Desember 2018 yakni US$ 42,53 per barel dan Brent US$ 50,77 per barel.

Lebih lanjut Ari mengatakan, guna memberikan dampak penggentar agar harga minyak tidak terlalu tinggi, perusahaan minyak Aramco memberi pernyataan, pasokan minyak akan pulih pada akhir September.

Secara bersamaan, AS juga mengeluarkan cadangan minyak strategisnya. Efeknya, harga minyak WTI turun ke sekitar US$ 59 per barel.

Menurut dia, peluang harga minyak akan naik lagi tetap tinggi karena bukan tidak mungkin akan terjadi eskalasi antara Arab Saudi yang didukung AS versus Iran.


Namun AS tampaknya lebih memilih memberikan sanksi tambahan kepada Iran ketimbang melakukan serangan militer. Bayang-bayang resesi di AS tampaknya mendasari keputusan ini.

"Tanpa guncangan di pasar minyak, diperkirakan akan terjadi resesi di AS dalam 12 bulan mendatang. Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi [OECD] meramalkan, perekonomian AS akan tumbuh 2,4% tahun ini dan akan turun lagi menjadi 2,0% pada 2020. Sementara, pertumbuhan ekonomi dunia akan turun dari 3,2% ke 2,9%.

Data Refinitiv menunjukkan, pada perdagangan Rabu kemarin (25/9/2019), harga minyak mentah memang masih mengalami koreksi. Risiko penurunan permintaan masih menjadi pemberat laju harga si emas hitam.

Pada Rabu pagi pukul 09:07 WIB, harga minyak jenis Brent berada di US$ 62,44/barel. Sementara harga minyak jenis light sweet (WTI) sebesar US$ 62,56/barel. Harga minyak terus turun sejak awal pekan.




Harga minyak harus kembali turun di tengah kekhawatiran adanya penurunan permintaan bahan bakar setelah komentar Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang menyinggung praktik dagang China. Hal tersebut membuat optimisme damai dagang agak luntur.

Sentimen lain yang juga turut mengerek turun harga minyak adalah kenaikan stok minyak mentah AS pekan lalu. Menurut American Petroleum Institute (API) persediaan minyak mentah AS naik 1,4 juta barel pekan lalu.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular