Jangan-jangan BI Menembakkan Peluru Hampa...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
20 September 2019 10:49
Jangan-jangan BI Menembakkan Peluru Hampa...
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Namun di pasar spot, rupiah bernasib sebaliknya.

Pada Jumat (20/9/2019), kurs tengah Bank Indonesia (BI) atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.085. Rupiah menguat 0,1% dibandingkan posisi hari sebelumnya.

Akan tetapi perbedaan terlihat di perdagangan pasar spot. Pada pukul 10:06 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.065 di mana rupiah melemah 0,07%.

Depresiasi rupiah patut disayangkan karena mayoritas mata uang utama Asia mampu menguat terhadap dolar AS. Hanya rupiah, dolar Hong Kong, dan rupee India yang masih tertahan di zona merah.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 10:08 WIB:



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Rupiah gagal memanfaatkan dolar AS yang sebenarnya sedang lesu. Tidak hanya di Asia, mata uang Negeri Paman Sam juga melemah di tingkat global. Pada pukul 10:10 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia) melemah 0,04%.

Depresiasi mata uang Negeri Paman Sam disebabkan oleh kebijakan moneter global. Kemarin, Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) menjadi 1,75-2%.

"Informasi yang diterima sejak rapat bulan lalu mengindikasikan bahwa pasar tenaga kerja tetap kuat dan aktivitas ekonomi tumbuh secara moderat. Meski konsumsi rumah tangga tetap tumbuh, tetapi investasi tetap melambat dan ekspor melemah.

"Dengan memperhatikan perkembangan ekonomi global dan proyeksi ekonomi dalam negeri serta laju inflasi yang minimal, Komite memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan menjadi 1,75-2%. Kebijakan ini diharapkan mendukung ekspansi ekonomi, pasar tenaga kerja, dan inflasi," sebut keterangan tertulis The Fed.


Namun kebijakan tersebut tidak diikuti oleh bank sentral di beberapa negara lain. Bank of Japan (BoJ) mempertahankan suku bunga acuan di -0,1%. Kemudian Bank Sentral Swiss (SNB) dan Bank Sentral Inggris (BoE) juga mempertahankan suku bunga acuan masing-masing -0,75% dan 0,75%.

Akibatnya dolar AS menjadi kurang menarik secara relatif terhadap mata uang utama dunia. Dibayangi risiko penurunan cuan akibat pemangkasan suku bunga acuan, dolar AS mengalami tekanan jual dan akhirnya melemah.



(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Akan tetapi, faktor lain ternyata lebih kuat menarik rupiah ke zona merah. Pertama adalah harga minyak. Pada pukul 10:12 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet naik masing-masing 0,73% dan 1,15%.

Sebagai negara net importir minyak, kenaikan harga tentu sangat membebani Indonesia. Neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) akan semakin tertekan, dan aliran valas dari ekspor-impor barang dan jasa bakal seret.

Akibatnya, pijakan rupiah menjadi rapuh karena ditopang oleh arus modal portofolio di pasar keuangan (hot money) yang gampang datang dan pergi. Oleh karena itu, rupiah akan rentan melemah saat transaksi berjalan tertekan.


Kedua, ada kemungkinan pelaku pasar ragu terhadap stimulus moneter jor-joran yang diberikan BI. Kemarin, Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI memutuskan untuk menurunkan suku bunga cuan sebesar 25 basis poin (bps). Ini menjadi penurunan ketiga dalam tiga bulan beruntun.



BI juga melakukan pelonggaran Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dengan memasukkan pinjaman ke pendanaan perbankan. Plus pelonggaran Loan to Value (LTV) properti dan uang muka kredit kendaraan bermotor. Bahkan untuk properti dan kendaraan berwawasan lingkungan mendapat tambahan kelonggaran uang muka.

BI sudah all out attack, berbagai instrumen dikeluarkan dalam waktu sehari. Suku bunga acuan, RIM, sampai LTV digelontorkan dengan tujuan menggenjot pertumbuhan ekonomi.



(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Namun apa yang dilakukan BI itu adalah pendorong ekonomi dari sisi pasokan atau supply. Penurunan suku bunga acuan sampai stimulus LTV intinya adalah agar perbankan lebih banyak menyalurkan kredit.

Kalau supply aman tetapi permintaan (demand) tidak ada ya sama saja bohong. Demand yang masih lemah itu tampak dari pertumbuhan kredit yang pada Juli hanya tumbuh 9,6% year-on-year (YoY). Laju paling lambat sejak April 2018.



Bagaimana dengan sektor properti, yang menjadi salah satu sasaran BI untuk digenjot? Parah, bos...

Pertumbuhan Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) pada kuartal II-2019 hanya sebesar 1,47% (YoY). Angka pertumbuhan tersebut merupakan yang paling kecil setidaknya sejak 2012.



Oleh karena itu, masuk aka jika pelaku pasar menilai ada risiko amunisi yang ditembakkan BI hanyalah peluru hampa. Sebab kalau masalah perlambatan ekonomi domestik adalah di sisi permintaan, maka stimulus BI sulit terlihat dampaknya.



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular