Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham tanah air dilanda tekanan jual dengan intensitas yang begitu besar pada perdagangan perdana di pekan ini. Pada saat pembukaan perdagangan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jatuh 1,15% ke level 6.262,29. Per akhir sesi satu, koreksi IHSG adalah sebesar 1,82% ke level 6.219,28. Per akhir sesi dua, koreksi IHSG masih sebesar 1,82%. IHSG ditutup di level 6.219,44.
Koreksi pada hari ini merupakan yang terburuk sejak IHSG jatuh 2,6% pada tanggal 5 Agustus 2019, serta menandai koreksi selama tiga hari beruntun.
Sejatinya, mayoritas bursa saham utama kawasan Asia juga ditransaksikan melemah. Namun, koreksi hingga 1,8% lebih yang dibukukan IHSG menjadikannya indeks saham dengan kinerja terburuk di kawasan Asia.
Sejatinya, ada sentimen positif yang menyertai perdagangan hari ini yakni hubungan AS-China yang kian mesra di bidang perdagangan. Menjelang akhir pekan kemarin, Kementerian Perdagangan China mengumumkan bahwa produk-produk agrikultur asal AS seperti kedelai dan daging babi akan dimasukkan ke dalam daftar produk yang diberikan pembebasan atas bea masuk tambahan, dilansir dari CNBC International.
Pengumuman tersebut melengkapi pengumuman pada hari Rabu (11/9/2019) kala Kementerian Keuangan China mengumumkan daftar produk impor asal AS yang akan dibebaskan dari pengenaan bea masuk baru. Melansir CNBC International, ada sebanyak 16 jenis produk impor yang diberikan pembebasan oleh China, termasuk pakan ternak, obat untuk kanker, dan pelumas. Pembebasan ini akan mulai berlaku pada tanggal 17 September hingga September 2020.
Pembebasan produk agrikultur asal AS dari bea masuk tambahan diumumkan pasca Presiden AS Donald Trump mengumumkan melalui media sosial Twitter bahwa kenaikan bea masuk bagi produk impor asal China yang sebelumnya dijadwalkan akan mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober, diundur menjadi tanggal 15 Oktober.
Untuk diketahui, bea masuk yang diundur tersebut merupakan bea masuk yang menyasar produk impor asal China senilai US$ 250 miliar. Pemerintahan Presiden Trump akan menaikkan bea masuk bagi produk senilai US$ 250 miliar tersebut menjadi 30%, dari yang sebelumnya 25%.
Trump mengungkapkan bahwa keputusan tersebut diambil berdasarkan permintaan dari Wakil Perdana Menteri China Liu He, beserta dengan fakta bahwa tanggal 1 Oktober merupakan peringatan ke 70 tahun dari lahirnya Republik Rakyat China.
Seharusnya kehadiran sentimen positif, apalagi jika berbau damai dagang AS-China, bisa memantik aksi beli atas saham-saham di negara-negara Asia.
Namun apa daya, potensi perang antara AS dengan Iran membuat pelaku pasar panik dan melego saham-saham di Benua Kuning.
Pada akhir pekan kemarin, serangan menggunakan pesawat tanpa awak (drone) diluncurkan ke Arab Saudi dan menyebabkan kerusakan di kilang minyak terbesar dunia dan ladang minyak terbesar kedua di kerajaan tersebut. Akibat serangan tersebut, Saudi Aramco terpaksa memangkas produksinya hingga sekitar 50%.
Walau kaum pemberontak Houthi yang berasal dari Yemen sudah mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut, AS menuduh Iran sebagai dalang yang sebenarnya, sebuah tuduhan yang sudah dibantah sendiri oleh Iran.
Trump mengatakan bahwa AS kini telah siap untuk melakukan serangan, namun pihaknya menunggu konfirmasi dari Arab Saudi terkait dengan dalang di balik serangan tersebut sebelum meluncurkan aksi balasan. Perkembangan tersebut sangat mungkin membuat AS benar-benar menyerang Iran.
Untuk diketahui, tensi antar kedua negara memang sudah memanas dalam beberapa waktu terakhir. Hubungan kedua negara mulai memanas pasca AS menarik diri dari kesepakatan internasional yang bertujuan untuk membatasi ruang gerak Iran dalam mengembangkan senjata nuklir.
Menurut Trump, kesepakatan tersebut tak cukup dalam membatasi ruang gerak Iran. AS pun pada akhirnya kembali mengenakan sanksi ekonomi bagi Tehran.
Bahkan, Trump sempat hampir meluncurkan serangan kepada Iran pada bulan Juni pasca drone asal AS ditembak oleh pihak Iran. Namun, Trump akhirnya melunak lantaran khawatir akan ada banyak korban jiwa yang berjatuhan jika serangan tersebut tetap dieksekusi.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Cukai Rokok Naik Drastis, HMSP & GGRM Babak Belur
Saham-saham emiten produsen rokok menjadi momok bagi IHSG pada perdagangan hari ini. Per akhir sesi dua, harga saham PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) ambruk hingga 18,21%, menjadikannya saham dengan kontribusi negatif terbesar bagi IHSG. Sementara itu, harga saham PT Gudang Garam Tbk (GGRM) ambruk 20,64%, menjadikannya saham dengan kontribusi negatif terbesar kedua bagi IHSG.
Di titik terendahnya hari ini, harga saham HMSP sempat jatuh hingga 22% yang merupakan kinerja terburuk sejak tahun 1991. Sementara itu, di titik terlemahnya hari ini harga saham GGRM sempat turun sebanyak 22% juga, menandai kinerja terburuk sejak Mei 1998.
Saham-saham emiten produsen rokok dilego pelaku pasar seiring dengan keputusan pemerintah untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 23% mulai Januari 2020.
Keputusan tersebut dikemukakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati usai menggelar rapat secara tertutup di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (13/9/2019). Sri Mulyani mengatakan bahwa dengan kenaikan tarif cukai rokok tersebut, maka harga jual eceran (HJE) pun mengalami kenaikan hingga 35%.
"Kenaikan average 23% untuk tarif cukai, dan 35% dari harga jualnya yang akan kami tuangkan dalam Permenkeu," kata Sri Mulyani.
Untuk diketahui, untuk tahun 2019 pemerintah memutuskan untuk tak menaikkan tarif cukai rokok.
Berdasarkan data dari MUC Tax Research yang dikutip CNBC Indonesia, Senin (16/9/2019), Jokowi tercatat telah menaikkan tarif cukai rokok hingga lebih dari 50% selama menjabat dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
Pada tahun 2015, pemerintah menaikkan tarif cukai rokok sebesar 8,72%. Kemudian di 2016, 2017, dan 2018, kenaikannya adalah masing-masing sebesar 11,19%, 10,54% dan 10,04%, sehingga totalnya 40,49%.
Pada tahun lalu, pemerintah tidak menaikkan tarif cukai rokok. Tahun depan, pemerintah akan menaikkan lagi tarif cukai rokok sebesar 23%, sehingga sejak 2015-2020 total kenaikannya mencapai 63,49%.
Dikhawatirkan, kenaikan tarif cukai rokok yang begitu signifikan pada tahun depan akan menekan konsumsi masyarakat. Apalagi, saat ini tanda-tanda lemahnya daya beli masyarakat sudah sangat terlihat.
Melansir Survei Penjualan Eceran (SPE) yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia (BI) pada hari Selasa (10/9/2019), penjualan barang-barang ritel periode Juli 2019 hanya tercatat tumbuh sebesar 2,4% secara tahunan (year-on-year/YoY), lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu (Juli 2018) yang sebesar 2,9%.
Untuk bulan Agustus, angka sementara menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel hanya tumbuh 3,7% YoY, jauh di bawah pertumbuhan pada Agustus 2018 yang mencapai 6,1%.
Sebagai catatan, sudah sedari Mei 2019 pertumbuhan penjualan barang-barang ritel tak bisa mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan pada bulan Juni, penjualan barang-barang ritel terkontraksi 1,8% secara tahunan. Pada Juni 2018, diketahui ada pertumbuhan sebesar 2,3%.
BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Surplus Neraca Dagang Jauh di Bawah Ekspektasi
Lebih lanjut, tekanan bagi bursa saham tanah air datang dari rilis data perdagangan internasional periode Agustus 2019 oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Sepanjang bulan Agustus, BPS mencatat bahwa ekspor jatuh 9,99% secara tahunan (year-on-year/YoY), lebih dalam dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan kontraksi sebesar 5,7% saja.
Sementara itu, impor terkontraksi sebesar 15,6%, juga lebih dalam dibandingkan konsensus yang memperkirakan penurunan sebesar 11,295%. Alhasil, neraca dagang hanya membukukan surplus sebesar US$ 80 juta, jauh lebih kecil dari proyeksi yang sebesar US$ 146 juta.
Koreksi ekspor dan impor yang lebih dalam dari ekspektasi menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi Indonesia cenderung berada di posisi yang lebih lemah dari perkiraan. Dalam kondisi seperti ini, penjualan dari perusahaan-perusahaan yang melantai di tanah air akan tertekan sehingga pasar saham menjadi kurang seksi untuk dilirik.
Lebih lanjut, surplus neraca dagang yang lebih rendah dari ekspektasi juga membuat pelaku pasar khawatir bahwa defisit transaksi berjalan/currenct account deficit (CAD) akan terus bengkak di kuartal III-2019.
Pada kuartal I-2019, BI mencatat CAD berada di level 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih dalam ketimbang CAD pada kuartal I-2018 yang berada di level 2,01% dari PDB. Kemudian pada kuartal II-2019, CAD membengkak menjadi 3,04% dari PDB. CAD pada tiga bulan kedua tahun ini juga lebih dalam ketimbang capaian pada periode yang sama tahun lalu di level 3,01% dari PDB.
Ketika CAD tak juga bisa diredam, rupiah akan mendapatkan tekanan. Untuk diketahui, transaksi berjalan merupakan faktor penting dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil, berbeda dengan pos transaksi finansial (komponen Neraca Pembayaran Indonesia/NPI lainnya) yang pergerakannya begitu fluktuatif karena berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Hingga sore hari, rupiah melemah 0,54% di pasar spot ke level Rp 14.035/dolar AS. Pelemahan rupiah bertambah dalam jika dibandingkan dengan sebelum data perdagangan internasional dirilis, yakni sebesar 0,5%.
Pelemahan rupiah pada akhirnya membuat pelaku pasar semakin enggan untuk menyentuh saham-saham di tanah air.
TIM RISET CNBC INDONESIA