Bukan Nyinyiran Orang, Ini yang Bikin Sri Mulyani Pusing!

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
15 September 2019 11:26
Bukan Nyinyiran Orang, Ini yang Bikin Sri Mulyani Pusing!
Foto: Sri Mulyani (KLI)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sebagai seorang Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati tentu mengemban tugas yang begitu berat, yaitu menjadi arsitek keuangan bagi republik ini.

Maju-tidaknya Indonesia, sejahtera-tidak rakyatnya, akan sangat ditentukan oleh kebijakan yang diambil oleh Sri Mulyani yang sempat memegang posisi prestigius yakni Direktur Pelaksana Bank Dunia, sebelum pada akhirnya Jokowi berhasil mengetuk hatinya untuk kembali menjadi Menteri Keuangan pada Juli 2016 silam.

Seperti yang diketahui, sebelum kembali ke Indonesia untuk menjadi Menteri Keuangan lagi, Sri Mulyani sempat menjabat posisi yang sama di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).


Lantaran tugas yang diembannya sangatlah berat, tak heran jika dirinya menjadi salah satu menteri di Kabinet Kerja yang paling banyak disorot, termasuk oleh lawan politik Jokowi.

Pada masa kampanye pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2019, Prabowo Subianto yang kala itu juga mencalokan diri sebagai presiden bahkan berani menyebut menteri keuangan terbaik dunia tersebut dengan sebutan 'Menteri pencetak Utang'.

"Kalau menurut saya, jangan disebut lagi-lah ada Menteri Keuangan, mungkin Menteri Pencetak Utang. Bangga untuk utang, yang suruh bayar orang lain," ujar Prabowo pada Januari silam.

Tak hanya elit politik, masyarakat pun seringkali nyinyir ke Sri Mulyani soal masalah utang.


Tapi ternyata, bukanlah nyinyiran politikus atau masyarakat Indonesia yang membuat seorang Sri Mulyani sakit kepala, melainkan Donald Trump selaku presiden Amerika Serikat (AS).

Belum lama ini, Sri Mulyani menceritakan bagaimana cuitan dari Presiden AS Donald Trump bisa membuat seluruh dunia pusing bukan kepalang. Sri Mulyani mengungkapkan bahwa tantangan ekonomi yang terjadi saat ini sangat tidak mudah. Banyak ketidakpastian muncul dari sisi eksternal, termasuk dari seorang Donald Trump.

"Tantangan tidak mudah, ketidakpastian, banyak resesi. Policy negara jadi advance. Setiap Twitter (cuitan) Donald Trump mempengaruhi ekspektasi dan ekonomi," jelas Sri Mulyani di Djakarta Theater, Kamis (12/9/2019).

Trump memang diketahui sangat gemar mengunggah pemikirannya ke akun media sosial Twitter. Tak hanya pemikirannya, cuitan dari Trump juga seringkali menjadi tempat pertama bagi pemerintah AS untuk mengumumkan kebijakan. Untuk diketahui, Trump lebih senang mengunggah cuitan melalui akun Twitter pribadinya yakni @realDonaldTrump ketimbang akun resmi yang disiapkan pemerintah AS untuk presidennya yakni @POTUS.

Berdasarkan riset dari J.P. Morgan, sejak terpilih menjadi presiden AS ke-45 pada tahun 2016 silam, secara rata-rata Trump mengunggah lebih dari 10 cuitan per hari melalui akun personalnya, dilansir dari CNBC International. Jika ditotal semenjak dirinya terpilih menjadi presiden hingga saat ini, sekitar 14.000 cuitan sudah diunggah oleh Trump, dengan 10.000 cuitan diunggah pasca dirinya dilantik pada awal 2017.

Kegemaran Trump dalam menggunakan Twitter sebagai media komunikasinya terbukti dari total cuitan yang sudah diunggahnya semenjak membuat akun @realDonaldTrump. Dibuat pada Maret 2009, Trump sudah mengunggah cuitan hingga 44.300 hingga saat ini.

Sebagai perbandingan, Barack Obama selaku presiden AS ke-44 membuat akun Twitter pribadi dengan username @BarackObama pada Maret 2007. Hingga saat ini, total cuitannya baru mencapai 15,7 ribu.

Obama juga tak gemar mencuit melalui akun resmi yang disiapkan pemerintah AS untuknya yang kini bisa dicek dengan username @POTUS44. Pertama kali mencuit melalui akun ini pada tanggal 18 Mei 2015, hingga kini total cuitan yang diunggah melalui akun tersebut baru sebanyak 352.

Saking gemarnya Trump mengunggah cuitan, baik itu terkait pemikirannya pribadi maupun kebijakan pemerintah AS, berbagai media di seluruh belahan dunia memantau ketat akun Twitter Trump setiap saat. Maklum, pasar keuangan dunia memang seringkali "goyang" karena cuitan dari Trump.

Menurut riset J.P. Morgan, cuitan Trump yang banyak menggerakan pasar kebanyakan berkaitan dengan perdagangan dan kebijakan moneter, dengan kata kunci seperti "China," "billion," dan "products."

J.P. Morgan menemukan bahwa cuitan dengan kata kunci tersebut kini cenderung tak mendapatkan respons yang positif seperti like dan retweet dari para pengikut Trump di Twitter.

BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Pasar Saham Rontok & Ekspektasi Resesi Membuncah Gara-gara Trump

Pada tanggal 23 Agustus waktu setempat, Trump merontokkan pasar saham dengan cuitan-cuitannya yang menyerang China. Trump mengumumkan bahwa per tanggal 1 Oktober, pihaknya akan menaikkan bea masuk bagi US$ 250 miliar produk impor asal China, dari yang saat ini sebesar 25% menjadi 30%.

Sementara itu, bea masuk bagi produk impor asal China lainnya senilai US$ 300 miliar yang akan mulai berlaku pada 1 September (ada beberapa produk yang pengenaan bea masuknya diundur hingga 15 Desember), akan dinaikkan menjadi 15% dari rencana sebelumnya yang hanya sebesar 10%.

“…Yang menyedihkan, pemerintahan-pemerintahan terdahulu telah membiarkan China lolos dari praktek perdagangan yang curang dan tidak berimbang, yang mana itu telah menjadi beban yang sangat berat yang harus ditanggung oleh masyarakat AS. Sebagai seorang Presiden, saya tak lagi bisa mengizinkan hal ini terjadi!....” cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump. 

Tak sampai disitu, Trump bahkan memerintahkan perusahaan-perusahaan AS untuk segera meninggalkan China.

"Perusahaan-perusahaan hebat asal AS dengan ini diperintahkan untuk segera mulai mencari alternatif atas China, termasuk membawa perusahaan-perusahaan Anda pulang dan membuat produk-produk Anda di AS," cetus Trump.

Pada hari itu juga, indeks S&P 500 yang merupakan salah satu indeks saham utama di AS ambruk hingga 2,59%.

Pasar saham Indonesia pun tak lepas dari ‘maut. Maklum, AS merupakan kiblat dari pasar saham dunia sehingga kinerja saham-saham di Negeri Paman Sam akan mempengaruhi kinerja saham-saham di tanah air.

Lantaran perbedaan zona waktu, pasar saham Indonesia baru bisa merespons cuitan Trump pada tanggal 23 Agustus tersebut di tanggal 26 Agustus. Pada penutupan perdagangan tanggal 26 Agustus, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang merupakan indeks saham acuan di Indonesia jatuh sebesar 0,66%. Pada titik terlemahnya di tanggal 26 Agustus, IHSG sempat jatuh hingga 1,7%.

Wajar jika serangan Trump terhadap China membuat pasar saham dunia rontok. Kala dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia terlibat dalam perang dagang yang begitu panas, arus perdagangan dan investasi akan tertekan sehingga roda perekonomian dunia akan berputar lebih lambat.

Beralih ke pasar obligasi, merespons cuitan Trump tersebut, pasar obligasi AS membunyikan gaung resesi yang begitu kencang terdengar di seantero dunia. Pada tanggal 23 Agustus 2019, untuk kali pertama sejak tahun 2005 silam, imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 2 tahun ditutup melampaui yield obligasi AS tenor 10 tahun. Fenomena ini dikenal sebagai inversi.

Untuk diketahui, inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek.

Terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi. Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harga. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.

Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang krusial bagi pasar keuangan dunia lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di AS di masa depan.

Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.

Tak hanya China yang menajdi bulan-bulanan Trump, The Federal Reserve selaku bank sentral AS ikut menjadi korban. Terhitung semenjak menjabat sebagai presiden AS pada awal 2017 silam, Trump berulang kali menyerang The Fed yang dianggapnya kelewat lamban dalam memangkas tingkat suku bunga acuan.

Pada tanggal 14 Agustus misalnya, Trump menyerang institusi yang dipimpin oleh Jerome Powell tersebut. Cuitan Trump tersebut menjadi salah satu faktor yang membuat indeks S&P 500 ambruk hingga 2,93%.

“….The Federal Reserve bertindak (menaikkan suku bunga acuan) terlalu cepat, dan sekarang mereka sangat sangat terlambat (dalam memangkas suku bunga acuan)….,” cuit Trump.

Baru-baru ini, serangan yang diluncurkan Trump kepada The Fed lebih sadis lagi. Pada tanggal 11 September, Trump menyerang The Fed dengan menyebut para pejabat dari institusi yang diketuai oleh Jerome Powell tersebut “Idiot”. Penyebabnya lagi-lagi sama, Trump geram lantaran The Fed dianggap lamban dalam memangkas tingkat suku bunga acuan.

"The Federal Reserve harus memangkas tingkat suku bunga acuan menjadi nol, atau negatif, dan sehabis itu kita harus mulai melakukan refinancing atas utang kita. BIAYA BUNGA BISA DITEKAN DENGAN SIGNIFIKAN. Kita punya mata uang yang hebat, kekuatan, dan neraca….” cuit Trump.

“….AS haruslah selalu menikmati tingkat suku bunga yang terendah (jika dibandingkan negara-negara lain). Tak ada inflasi! Itu hanyalah kenaifan dari Jay Powell dan The Federal Resrve yang tak mengizinkan kita untuk melakukan hal yang banyak negara sudah lakukan. Sebuah kesempatan sekali seumur hidup yang kita lewatkan karena para “Idiot”.”

Sehari setelahnya atau pada tanggal 12 September, Trump menyindir para pejabat The Fed hanya memakan gaji buta. Kemurkaan Trump tersebut dipicu oleh hasil pertemuan European Central Bank (ECB) selaku bank sentral Eropa. ECB mengumumkan bahwa pihaknya memangkas deposit rate sebesar 10 basis poin (bps), dari yang sebelumnya -0,4% menjadi -0,5%.

Tak sampai disitu, ECB juga mengumumkan bahwa program quantitative easing (QE) yang disetop pada akhir tahun lalu akan kembali diaktifkan. Setiap bulannya, ECB akan menyuntikkan dana senilai 20 miliar euro ke sistem perbankan atau setara dengan US$ 21,9 miliar. Program ini akan berlangsung selama yang diperlukan, dilansir dari CNBC International.

“European Central Bank, bertindak dengan cepat, memangkas bunga sebesar 10 basis poin. Mereka mencoba, dan sukses, dalam mendepresiasi Euro melawan dolar AS yang SANGAT kuat, menyakiti ekspor AS…. Dan The Fed hanya duduk, duduk, dan duduk. Mereka (negara-negara Uni Eropa) dibayar untuk meminjam uang, sementara kita harus membayar bunga!” cuit Trump.

Wajar jika serangan Trump kepada The Fed membuat pasar keuangan dunia gemetar. Pasalnya, The Fed merupakan sebuah institusi independen yang tak bisa disetir oleh kepentingan politik manapun, termasuk presiden AS sendiri.

Dikhawatirkan dengan serangan bertubi-tubi yang diluncurkan oleh Trump, The Fed akan semakin kekeh untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan di level yang tinggi guna membuktikan independensinya. Jika ini yang terjadi, tekanan yang dihadapi perekonomian AS bisa semakin besar.

BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Lebih Liar dari Era Obama

Aktifnya Trump dalam mencuit terbukti membuat pasar saham AS menjadi lebih liar dari era Obama.

Di sepanjang era pemerintahan Obama (20 Januari 2009-20 Januari 2017), terdapat sebanyak 141 hari di mana indeks S&P 500 ditutup menguat atau melemah lebih dari 2%.

Namun, kala ditelisik lebih jauh ternyata volatilitas di era Obama banyak terjadi di periode satu pemerintahannya (20 Januari 2009-20 Januari 2013). Di periode satu pemerintahan Obama, terdapat sebanyak 113 hari di mana indeks S&P 500 ditutup menguat atau melemah lebih dari 2%.

Hal ini memang bisa dimaklumi. Pasalnya, di periode satu pemerintahan Obama, pasar keuangan dunia mencoba bangkit pasca dilanda tekanan jual yang begitu dahsyat seiring dengan kehadiran krisis keuangan global. Volatilitas pasar keuangan dunia di periode satu pemerintahan Obama pun menjadi begitu besar.

Supaya lebih fair, kita bisa membandingkan pergerakan pasar saham AS di bawah pemerintahan Trump dengan yang terjadi di periode dua pemerintahan Obama (20 Januari 2013-20 Januari 2017).

Di periode dua pemerintahan Obama, terdapat sebanyak 28 hari di mana indeks S&P 500 ditutup menguat atau melemah lebih dari 2%, sementara di era Trump sejauh ini (20 Januari 2017-13 September 2019), jumlahnya ada 27 hari.

Padahal, masa bakti Trump sebagai presiden masih ada sekitar 16 bulan lagi. Untuk diketahui, masa bakti Trump sebagai presiden AS akan berakhir pada 20 Januari 2020, dengan asumsi bahwa dirinya tak terpilih lagi pada pilpres tahun depan.

Terbukti, pasar saham AS lebih liar di bawah pemerintahan Trump ketimbang Obama.

Namun begitu, walau suka membuat onar, secara keseluruhan Donald Trump terbilang oke untuk pasar saham AS. Terhitung selama dirinya menjabat sebagai presiden AS (20 Januari 2017-13 September 2019), indeks S&P 500 melejit hingga 32,85%, utamanya karena pemangkasan tingkat pajak dan penyedehanaan regulasi yang dieksekusi oleh suami dari Melania Trump tersebut.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular