Bukan Nyinyiran Orang, Ini yang Bikin Sri Mulyani Pusing!

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
15 September 2019 11:26
Pasar Saham Rontok & Ekspektasi Resesi Membuncah Gara-gara Trump
Foto: Sri Mulyani (KLI)

Pada tanggal 23 Agustus waktu setempat, Trump merontokkan pasar saham dengan cuitan-cuitannya yang menyerang China. Trump mengumumkan bahwa per tanggal 1 Oktober, pihaknya akan menaikkan bea masuk bagi US$ 250 miliar produk impor asal China, dari yang saat ini sebesar 25% menjadi 30%.

Sementara itu, bea masuk bagi produk impor asal China lainnya senilai US$ 300 miliar yang akan mulai berlaku pada 1 September (ada beberapa produk yang pengenaan bea masuknya diundur hingga 15 Desember), akan dinaikkan menjadi 15% dari rencana sebelumnya yang hanya sebesar 10%.

“…Yang menyedihkan, pemerintahan-pemerintahan terdahulu telah membiarkan China lolos dari praktek perdagangan yang curang dan tidak berimbang, yang mana itu telah menjadi beban yang sangat berat yang harus ditanggung oleh masyarakat AS. Sebagai seorang Presiden, saya tak lagi bisa mengizinkan hal ini terjadi!....” cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump. 

Tak sampai disitu, Trump bahkan memerintahkan perusahaan-perusahaan AS untuk segera meninggalkan China.

"Perusahaan-perusahaan hebat asal AS dengan ini diperintahkan untuk segera mulai mencari alternatif atas China, termasuk membawa perusahaan-perusahaan Anda pulang dan membuat produk-produk Anda di AS," cetus Trump.

Pada hari itu juga, indeks S&P 500 yang merupakan salah satu indeks saham utama di AS ambruk hingga 2,59%.

Pasar saham Indonesia pun tak lepas dari ‘maut. Maklum, AS merupakan kiblat dari pasar saham dunia sehingga kinerja saham-saham di Negeri Paman Sam akan mempengaruhi kinerja saham-saham di tanah air.

Lantaran perbedaan zona waktu, pasar saham Indonesia baru bisa merespons cuitan Trump pada tanggal 23 Agustus tersebut di tanggal 26 Agustus. Pada penutupan perdagangan tanggal 26 Agustus, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang merupakan indeks saham acuan di Indonesia jatuh sebesar 0,66%. Pada titik terlemahnya di tanggal 26 Agustus, IHSG sempat jatuh hingga 1,7%.

Wajar jika serangan Trump terhadap China membuat pasar saham dunia rontok. Kala dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia terlibat dalam perang dagang yang begitu panas, arus perdagangan dan investasi akan tertekan sehingga roda perekonomian dunia akan berputar lebih lambat.

Beralih ke pasar obligasi, merespons cuitan Trump tersebut, pasar obligasi AS membunyikan gaung resesi yang begitu kencang terdengar di seantero dunia. Pada tanggal 23 Agustus 2019, untuk kali pertama sejak tahun 2005 silam, imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 2 tahun ditutup melampaui yield obligasi AS tenor 10 tahun. Fenomena ini dikenal sebagai inversi.

Untuk diketahui, inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek.

Terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi. Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harga. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.

Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang krusial bagi pasar keuangan dunia lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di AS di masa depan.

Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.

Tak hanya China yang menajdi bulan-bulanan Trump, The Federal Reserve selaku bank sentral AS ikut menjadi korban. Terhitung semenjak menjabat sebagai presiden AS pada awal 2017 silam, Trump berulang kali menyerang The Fed yang dianggapnya kelewat lamban dalam memangkas tingkat suku bunga acuan.

Pada tanggal 14 Agustus misalnya, Trump menyerang institusi yang dipimpin oleh Jerome Powell tersebut. Cuitan Trump tersebut menjadi salah satu faktor yang membuat indeks S&P 500 ambruk hingga 2,93%.

“….The Federal Reserve bertindak (menaikkan suku bunga acuan) terlalu cepat, dan sekarang mereka sangat sangat terlambat (dalam memangkas suku bunga acuan)….,” cuit Trump.

Baru-baru ini, serangan yang diluncurkan Trump kepada The Fed lebih sadis lagi. Pada tanggal 11 September, Trump menyerang The Fed dengan menyebut para pejabat dari institusi yang diketuai oleh Jerome Powell tersebut “Idiot”. Penyebabnya lagi-lagi sama, Trump geram lantaran The Fed dianggap lamban dalam memangkas tingkat suku bunga acuan.

"The Federal Reserve harus memangkas tingkat suku bunga acuan menjadi nol, atau negatif, dan sehabis itu kita harus mulai melakukan refinancing atas utang kita. BIAYA BUNGA BISA DITEKAN DENGAN SIGNIFIKAN. Kita punya mata uang yang hebat, kekuatan, dan neraca….” cuit Trump.

“….AS haruslah selalu menikmati tingkat suku bunga yang terendah (jika dibandingkan negara-negara lain). Tak ada inflasi! Itu hanyalah kenaifan dari Jay Powell dan The Federal Resrve yang tak mengizinkan kita untuk melakukan hal yang banyak negara sudah lakukan. Sebuah kesempatan sekali seumur hidup yang kita lewatkan karena para “Idiot”.”

Sehari setelahnya atau pada tanggal 12 September, Trump menyindir para pejabat The Fed hanya memakan gaji buta. Kemurkaan Trump tersebut dipicu oleh hasil pertemuan European Central Bank (ECB) selaku bank sentral Eropa. ECB mengumumkan bahwa pihaknya memangkas deposit rate sebesar 10 basis poin (bps), dari yang sebelumnya -0,4% menjadi -0,5%.

Tak sampai disitu, ECB juga mengumumkan bahwa program quantitative easing (QE) yang disetop pada akhir tahun lalu akan kembali diaktifkan. Setiap bulannya, ECB akan menyuntikkan dana senilai 20 miliar euro ke sistem perbankan atau setara dengan US$ 21,9 miliar. Program ini akan berlangsung selama yang diperlukan, dilansir dari CNBC International.

“European Central Bank, bertindak dengan cepat, memangkas bunga sebesar 10 basis poin. Mereka mencoba, dan sukses, dalam mendepresiasi Euro melawan dolar AS yang SANGAT kuat, menyakiti ekspor AS…. Dan The Fed hanya duduk, duduk, dan duduk. Mereka (negara-negara Uni Eropa) dibayar untuk meminjam uang, sementara kita harus membayar bunga!” cuit Trump.

Wajar jika serangan Trump kepada The Fed membuat pasar keuangan dunia gemetar. Pasalnya, The Fed merupakan sebuah institusi independen yang tak bisa disetir oleh kepentingan politik manapun, termasuk presiden AS sendiri.

Dikhawatirkan dengan serangan bertubi-tubi yang diluncurkan oleh Trump, The Fed akan semakin kekeh untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan di level yang tinggi guna membuktikan independensinya. Jika ini yang terjadi, tekanan yang dihadapi perekonomian AS bisa semakin besar.

BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Lebih Liar dari Era Obama

(ank)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular