Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan Senin ini (9/9/2019) dengan apresiasi sebesar 0,31% ke level 6.328,28, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menghabiskan mayoritas waktunya hingga sore hari di zona hijau.
Sempat tergelincir ke zona merah pada sesi satu, IHSG dengan cepat kembali ke teritori positif. Per akhir sesi dua, penguatan indeks saham acuan di Indonesia tersebut adalah sebesar 0,27% ke level 6.326,21.
Apresiasi yang dibukukan IHSG pada hari ini menandai penguatan selama 4 hari beruntun.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendongkrak kinerja IHSG hari ini di antaranya: PT United Tractors Tbk/UNTR (+8%), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (+1,43%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (+1,38%), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (+5,51%), dan PT Adaro Energy Tbk/ADRO (+5,99%).
Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa utama kawasan Asia yang juga melaju di zona hijau: indeks Nikkei naik 0,56%, indeks Shanghai menguat 0,84%, dan indeks Kospi bertambah 0,52%.
Bursa saham Benua Kuning mampu menguat terlepas dari loyonya data perdagangan internasional China. Kemarin (8/9/2019), ekspor China periode Agustus 2019 diumumkan jatuh sebesar 1% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh lebih buruk dibandingkan konsensus yang memperkirakan pertumbuhan sebesar 2%, dilansir dari Trading Economics. Sementara itu, impor jatuh 5,6% YoY, menandai penurunan selama 4 bulan beruntun.
Untuk diketahui, People's Bank of China (PBOC) selaku bank sentral China sempat terus-menerus melemahkan nilai tukar yuan pada bulan lalu, yakni dengan mematok nilai tengahnya di level yang lebih rendah.
Sebagai informasi, PBOC memang punya wewenang untuk menentukan nilai tengah dari yuan setiap harinya.
Nilai tukar yuan di pasar dalam negeri (onshore) kemudian hanya diperbolehkan bergerak dalam rentang 2% (baik itu menguat maupun melemah) dari nilai tengah tersebut, sehingga pergerakannya tak murni dikontrol oleh mekanisme pasar. Implikasinya, ketika nilai tengah ditetapkan di level yang lebih lemah, yuan akan cenderung melemah di pasar onshore.
Diharapkan, pelemahan yuan tersebut akan mendongkrak kinerja ekspor Negeri Panda, namun kenyataannya tidak seperti itu.
Aksi beli dilakukan di bursa saham Benua Kuning seiring dengan rencana gelaran negosiasi dagang AS-China secara tatap muka. Pada pekan lalu, Kementerian Perdagangan China mengatakan bahwa delegasi kedua negara melakukan perbincangan via sambungan telepon.
Perbincangan via sambungan telepon ini melibatkan berbagai tokoh penting seperti Wakil Perdana Menteri China Liu He, Gubernur Bank Sentral China Yi Gang, Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin.
Hasilnya, kedua belah pihak menyepakati gelaran negosiasi dagang secara tatap muka pada awal bulan depan, dilansir dari CNBC International. AS dan China akan menggelar negosiasi tersebut di Washington, D.C. yang merupakan ibu kota dari AS.
Menurut pernyataan resmi dari Kementerian Perdagangan China, kedua belah pihak akan menggelar konsultasi pada pertengahan bulan ini sebagai bagian dari persiapan negosiasi tatap muka di awal bulan depan.
Seperti yang diketahui, hubungan AS dan China kembali memanas pasca pada tanggal 1 September AS resmi memberlakukan bea masuk baru sebesar 15% yang menyasar produk impor asal China senilai US$ 112 miliar. Pakaian, sepatu, hingga kamera menjadi bagian dari daftar produk yang diincar AS pada kesempatan ini.
Di sisi lain, aksi balasan dari China berlaku selepas AS bersikeras menerapkan bea masuk baru terhadap Beijing. China mengenakan bea masuk baru yang berkisar antara 5-10% bagi sebagian produk yang masuk dalam daftar target senilai US$ 75 miliar. Daging babi, daging sapi, dan berbagai produk pertanian lainnya tercatat masuk dalam daftar barang yang menjadi lebih mahal per tanggal 1 September kemarin.
Untuk diketahui, AS masih akan mengenakan bea masuk baru terhadap berbagai produk impor China lainnya pada tanggal 15 Desember. Jika ditotal, nilai barang yang terdampak dari kebijakan AS pada hari ini dan tanggal 15 Desember nanti adalah US$ 300 miliar, dilansir dari CNBC International.
Sementara itu, sisa barang dalam daftar target senilai US$ 75 miliar yang hingga kini belum dikenakan bea masuk baru oleh China, akan mulai terdampak pada tanggal 15 Desember.
Asa damai dagang AS-China yang kini kembali membuncah sukses memantik aksi beli di pasar saham.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> The Fed Pangkas Bunga Acuan, Ekonomi AS Aman dari Resesi?
Lebih lanjut, aksi beli dilakukan di bursa saham Asia seiring dengan ekspektasi bahwa The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS akan memangkas tingkat suku bunga acuan dalam pertemuannya pada pekan depan. Ekspektasi tersebut datang seiring dengan lemahnya pasar tenaga kerja AS.
Pada hari Jumat (6/9/2019), penciptaan lapangan kerja AS (di luar sektor pertanian) periode Agustus 2019 diumumkan sebanyak 130.000 saja, jauh di bawah konsensus yang sebanyak 163.000, dilansir dari Forex Factory. Untuk diketahui, pasar tenaga kerja merupakan satu dari dua indikator utama yang dicermati The Fed dalam menentukan keputusan terkait suku bunga acuan, selain juga inflasi.
Berbicara mengenai inflasi, saat ini tingkat inflasi AS berada di level yang rendah. Untuk diketahui, acuan yang digunakan oleh The Fed untuk mengukur tingkat inflasi adalah Core Personal Consumption Expenditures (PCE) price index.
Data teranyar, Core Personal Consumption Expenditures (PCE) price index tercatat tumbuh sebesar 1,6% secara tahunan pada Juli 2019, masih cukup jauh di bawah target The Fed yang sebesar 2%.
Lebih lanjut, Gubernur The Fed Jerome Powell juga mengeluarkan pernyataan bernada dovish yang membuat pelaku pasar kian yakin bahwa bank sentral akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada pertemuan yang akan digelar pekan depan.
Melansir CNBC International, pada hari Jumat kemarin Powell menegaskan bahwa pihaknya akan terus bertindak sebagaimana mestinya untuk mempertahankan ekspansi ekonomi yang saat ini tengah berlangsung.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 9 September 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada pertemuan minggu depan berada di level 91,2%.
Sekedar mengingatkan, The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps dalam pertemuannya pada bulan Juli, menandai pemangkasan pertama sejak tahun 2008 silam.
Pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut diharapkan akan bisa menghindarkan perekonomian AS dari yang namanya hard landing alias perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Untuk diketahui, pada tahun 2018 International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.
Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.
Dengan adanya pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut, bank akan semakin terdorong untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian AS akan berputar lebih kencang.
Bukan hanya hard landing, pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut diharapkan bisa menghindarkan perekonomian AS dari resesi. Sinyal datangnya resesi di AS sebelumnya disuarakan sendiri oleh pasar obligasinya.
Terhitung dalam periode 23-29 Agustus 2019, imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 2 tahun ditutup melampaui yield obligasi AS tenor 10 tahun. Fenomena ini disebut sebagai inversi.
Untuk diketahui, inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek.
Terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi. Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harga. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang krusial bagi pasar keuangan dunia lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di AS di masa depan. Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.
TIM RISET CNBC INDONESIA