
Sentimen Campuk-Aduk, Harga Surat Utang RI Naik-Turun
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
09 September 2019 10:05

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga obligasi pemerintah Indonesia variatif di perdagangan pagi ini. Tenor yang mengalami penurunan dan kenaikan harga sama jumlahnya.
Pada Senin (9/9/2019) pukul 09:30 WIB, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun berada di 7,316%. Naik tipis 0,1 basis poin (bps) dibandingkan posisi akhir pekan lalu.
Di pasar obligasi, yield menjadi acuan karena mencerminkan harga, suku bunga, dan risiko sekaligus. Saat yield naik, harga obligasi berarti sedang turun dan demikian pula sebaliknya.
Berikut perkembangan yield obligasi pemerintah berbagai tenor pada pukul 09:31 WIB:
Sentimen eksternal yang campur aduk membuat harga Surat Berharga Negara (SBN) bergerak variatif pagi ini. Akhir pekan lalu, China merilis data ekonomi yang kurang impresif.
Pada Agustus, ekspor China turun 1% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/YoY). Lebih buruk dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters yang memperkirakan naik 2% YoY.
Sementara di AS, penciptaan lapangan kerja pada Agustus tercatat 130.000. Lebih sedikit ketimbang konsensus yang dihimpun Reuters yaitu 158.000. Angka 130.00 juga lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 159.000.
Dua data ini membuat pelaku pasar semakin yakin bank sentral AS dan China akan melanjutkan pelonggaran kebijakan moneter. Bank Sentral China (PBoC) sudah memutuskan kembali menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 50 bps untuk semua bank. Kebijakan ini diperkirakan mampu memompa likuiditas sebanyak CNY 900 miliar dan menurunkan suku bunga kredit perbankan.
Sedangkan Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) memang baru melaksanakan rapat pada 18 September. Namun aura penurunan suku bunga acuan sudah begitu terasa.
Mengutip CME Fedwatch, probabilitas penurunan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 1,75-2% pada rapat The Fed 18 September mencapai 91,2%. Naik dibandingkan posisi akhir pekan lalu yaitu 90%.
Suku bunga yang global yang sedang dalam tren turun menjadi sentimen negatif bagi obligasi. Sebab, obligasi sangat sensitif dengan suku bunga. Ketika suku bunga turun, yield obligasi akan ikut turun sehingga kurang menarik bagi investor.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Akan tetapi, masih ada sentimen positif yang mampu menahan penurunan harga obligasi. Sepertinya hawa damai dagang AS-China masih terasa dan membuat pelaku pasar tetap memburu instrumen di negara-negara berkembang Asia, termasuk SBN.
Pekan lalu, Kementerian Perdagangan China memberi konfirmasi bahwa Wakil Perdana Menteri China Liu He dan Gubernur PBoC Yi Gang telah menelepon Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin. Mereka sepakat untuk melanjutkan dialog dagang di Washington pada awal Oktober.
"Semua isu akan dibahas di sana. Pencurian hak atas kekayaan intelektual, liberalisasi jasa keuangan, cyber space, pembelian produk-produk AS, termasuk halangan tarif dan non-tarif. Anda sebut saja. Kalau ada hasil yang memuaskan, berarti hubungan kami akan membaik," ungkap Penasihat Ekonomi Gedung Putih Lawrence 'Larry' Kudlow, seperti diwartakan Reuters.
Presiden AS Donald Trump pun sepertinya tidak sabar ingin segera berdialog dengan China. "Dialog akan segera terlaksana, ini baik untuk semua!" cuit Trump di Twitter.
Peluang AS-China menuju damai dagang membuat dunia berbunga-bunga. Artinya ke depan ada harapan arus perdagangan, investasi, dan pertumbuhan ekonomi akan membaik. Persepsi ini membuat arus modal kembali mengalir ke pasar keuangan negara berkembang Asia dan pasar SBN pun turut kecipratan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Mantap Bu Sri Mulyani, Yield Obligasi RI Terendah Sejak 2018!
Pada Senin (9/9/2019) pukul 09:30 WIB, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun berada di 7,316%. Naik tipis 0,1 basis poin (bps) dibandingkan posisi akhir pekan lalu.
Di pasar obligasi, yield menjadi acuan karena mencerminkan harga, suku bunga, dan risiko sekaligus. Saat yield naik, harga obligasi berarti sedang turun dan demikian pula sebaliknya.
Sentimen eksternal yang campur aduk membuat harga Surat Berharga Negara (SBN) bergerak variatif pagi ini. Akhir pekan lalu, China merilis data ekonomi yang kurang impresif.
Pada Agustus, ekspor China turun 1% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/YoY). Lebih buruk dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters yang memperkirakan naik 2% YoY.
Sementara di AS, penciptaan lapangan kerja pada Agustus tercatat 130.000. Lebih sedikit ketimbang konsensus yang dihimpun Reuters yaitu 158.000. Angka 130.00 juga lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 159.000.
Dua data ini membuat pelaku pasar semakin yakin bank sentral AS dan China akan melanjutkan pelonggaran kebijakan moneter. Bank Sentral China (PBoC) sudah memutuskan kembali menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 50 bps untuk semua bank. Kebijakan ini diperkirakan mampu memompa likuiditas sebanyak CNY 900 miliar dan menurunkan suku bunga kredit perbankan.
Sedangkan Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) memang baru melaksanakan rapat pada 18 September. Namun aura penurunan suku bunga acuan sudah begitu terasa.
Mengutip CME Fedwatch, probabilitas penurunan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 1,75-2% pada rapat The Fed 18 September mencapai 91,2%. Naik dibandingkan posisi akhir pekan lalu yaitu 90%.
Suku bunga yang global yang sedang dalam tren turun menjadi sentimen negatif bagi obligasi. Sebab, obligasi sangat sensitif dengan suku bunga. Ketika suku bunga turun, yield obligasi akan ikut turun sehingga kurang menarik bagi investor.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Akan tetapi, masih ada sentimen positif yang mampu menahan penurunan harga obligasi. Sepertinya hawa damai dagang AS-China masih terasa dan membuat pelaku pasar tetap memburu instrumen di negara-negara berkembang Asia, termasuk SBN.
Pekan lalu, Kementerian Perdagangan China memberi konfirmasi bahwa Wakil Perdana Menteri China Liu He dan Gubernur PBoC Yi Gang telah menelepon Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin. Mereka sepakat untuk melanjutkan dialog dagang di Washington pada awal Oktober.
"Semua isu akan dibahas di sana. Pencurian hak atas kekayaan intelektual, liberalisasi jasa keuangan, cyber space, pembelian produk-produk AS, termasuk halangan tarif dan non-tarif. Anda sebut saja. Kalau ada hasil yang memuaskan, berarti hubungan kami akan membaik," ungkap Penasihat Ekonomi Gedung Putih Lawrence 'Larry' Kudlow, seperti diwartakan Reuters.
Presiden AS Donald Trump pun sepertinya tidak sabar ingin segera berdialog dengan China. "Dialog akan segera terlaksana, ini baik untuk semua!" cuit Trump di Twitter.
Peluang AS-China menuju damai dagang membuat dunia berbunga-bunga. Artinya ke depan ada harapan arus perdagangan, investasi, dan pertumbuhan ekonomi akan membaik. Persepsi ini membuat arus modal kembali mengalir ke pasar keuangan negara berkembang Asia dan pasar SBN pun turut kecipratan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Mantap Bu Sri Mulyani, Yield Obligasi RI Terendah Sejak 2018!
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular