Maaf Pak Jokowi, tapi Pasar Saham Vietnam juga Lebih Seksi!

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
09 September 2019 08:33
Maaf Pak Jokowi, tapi Pasar Saham Vietnam juga Lebih Seksi!
Foto: Vietnam (Reuters)
Jakarta, CNBC Indonesia - Vietnam menjadi perbincangan hangat di kalangan pemerintah dalam beberapa waktu terakhir. Pasalnya, Indonesia sama sekali tak menjadi tujuan relokasi dari pabrik-pabrik yang sebelumnya beroperasi di China.

Untuk diketahui, belakangan pabrik-pabrik yang sebelumnya beroperasi di China banyak melakukan relokasi guna menghindari bea masuk nan-mencekik yang dikenakan oleh AS. Perang dagang antardua negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi ini sudah berlangsung selama lebih dari satu setengah tahun.

Kekesalan terkait hal tersebut diungkapkan sendiri oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Dari investor-investor yang kita temui, dan catatan yang disampaikan Bank Dunia (World Bank) kepada kita, dua bulan yang lalu ada 33 perusahaan di Tiongkok keluar, 23 memilih Vietnam, 10 lainnya pergi ke Malaysia, Thailand, Kamboja. Nggak ada yang ke kita," tegas Jokowi belum lama ini di hadapan para menteri Kabinet Kerja kala membuka rapat terbatas mengenai perkembangan ekonomi dunia.

Berbagai faktor menjadi penghambat yang membuat Indonesia harus kalah telak dari Vietnam dalam urusan menarik minat investor asing untuk menanamkan modalnya secara riil (membangun pabrik), seperti tingkat pajak korporasi yang relatif tinggi dan proses perizinan yang memakan waktu sangat lama.

Tak hanya tahun ini, sudah sedari tahun 2017 Indonesia kalah telak dari Vietnam untuk urusan tarik-menarik dana investor asing ke sektor riil.

Pada tahun 2017, Jokowi menyebut bahwa ada sekitar 73 perusahaan Jepang yang akan merelokasi bisnisnya ke sejumlah negara-negara berkembang. Namun, porsi yang bisa diraup oleh Indonesia sangatlah kecil.

"Jadi 73 perusahaan, 43 ke Vietnam, 11 ke Thailand, ke Filipina, berikutnya 10 ke Indonesia. Sekali lagi masalah itu ada di internal kita sendiri. Agar kunci kita keluar dari perlambatan ekonomi global itu ada di situ," tegasnya.


Ternyata, bukan hanya dalam urusan tarik-menarik investor asing ke sektor riil Indonesia kalah seksi dari Vietnam. Berbicara mengenai pasar saham pun, Indonesia juga kalah seksi dari Vietnam.

Melansir data yang dipublikasikan oleh Ho Chi Minh City Securities Trading Center, sepanjang tahun 2019 (hingga penutupan perdagangan tanggal 5 September), investor asing mencatatkan beli bersih senilai VND 365,4 juta (dong vietnam) di pasar saham Vietnam atau setara dengan Rp 222 juta (asumsi kurs VND = 0,61 rupiah).

Kecil sih, tapi coba tengok dulu dengan yang terjadi di Indonesia. Memang, dalam periode yang sama pasar saham Indonesia berhasil menarik dana investor asing senilai Rp 57,3 triliun, melansir data yang dipublikasikan RTI.

Namun, aksi beli investor asing tersebut banyak didominasi oleh transaksi di pasar negosiasi, seiring dengan aksi akuisisi dengan nilai jumbo yang dilakukan oleh perusahaan asing terhadap perusahaan-perusahaan terbuka di Tanah Air.

Pada awal tahun ini, Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC) selaku bank kedua terbesar di Jepang merampungkan akuisisi atas saham PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN), yakni dengan mengambil alih 3,33 miliar unit saham BTPN atau setara dengan 56,92% dari total saham BTPN yang tercatat. Nilai dari transaksi yang dieksekusi di pasar negosiasi ini mencapai Rp 14,28 triliun dan kemudian tercatat sebagai beli bersih investor asing di pasar saham Indonesia.


Lebih jumbo lagi, pada April 2019 ada akuisisi PT Bank Danamon Indonesia Tbk (BDMN) dan PT Bank Nasional Parahyangan Tbk (BBNP) oleh Mitsubishi UFJ Financial Group selaku bank terbesar di Jepang yang nilainya mencapai lebih dari Rp 52 triliun. Transaksi tersebut kembali dieksekusi di pasar negosiasi dan dicatat sebagai beli bersih investor asing di pasar saham Indonesia.

Nah, guna mengeliminasi transaksi investor asing di pasar negosiasi tersebut, kita bisa menggunakan data transaksi investor asing di pasar reguler. Hasilnya, sepanjang tahun ini investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 10,5 triliun.

Lantas, walau hanya mencatatkan beli bersih dari investor asing sekitar Rp 200 juta, pasar saham Vietnam jelas dianggap lebih seksi ketimbang Indonesia.

Ingat, transaksi di pasar negosiasi tak mempengaruhi harga saham yang terlibat dalam transaksi tersebut, sehingga kinerja indeks saham juga tidak akan terpengaruh. Oleh karena itu, walau investor asing mencatatkan beli bersih yang begitu besar di pasar negosiasi, kinerja IHSG cenderung loyo di sepanjang tahun 2019.

Sepanjang tahun 2019, seiring dengan kehadiran aliran modal investor asing yang masuk ke Vietnam, VN-Index selaku indeks saham utama di sana membukukan imbal hasil sebesar 9,44%, kedua tertinggi jika dibandingkan dengan imbal hasil dari indeks saham utama negara-negara kawasan Asia lainnya. VN-Index hanya kalah dari indeks Shanghai yang merupakan indeks saham utama di China.

Sementara itu, seiring dengan aksi jual investor asing di pasar reguler (yang mempengaruhi harga saham), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selaku indeks saham utama di Indonesia hanya membukukan penguatan tipis sebesar 1,81% pada tahun ini.



Bahkan, IHSG sempat memberikan imbal hasil negatif (secara kumulatif) pada tahun 2019, salah satunya dalam periode 13 Mei hingga 30 Mei. Sementara untuk VN-Index, walau sempat tergelincir pada awal tahun, kinerjanya selepas itu terbilang sangat-sangat oke.



BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Fundamental Menjadi Kunci

Kuatnya fundamental perekonomian Vietnam menjadi kunci utama di balik seksinya pasar saham Vietnam. Sepanjang semester-I 2019, perekonomian Vietnam tumbuh hingga 6,76% secara tahunan, melansir data yang disajikan Refinitiv, menjadikannya negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di antara negara-negara ASEAN 6 yang juga berisikan Indonesia.

Dalam periode yang sama, perekonomian Indonesia hanya bisa tumbuh sebesar 5,06%.
 

Untuk diketahui, International Monetary Fund (IMF) mencatat bahwa perekonomian Vietnam tumbuh sebesar 7,08% pada tahun 2018, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2007. 

Untuk tahun 2019, IMF memang memproyeksikan ada perlambatan ke level 6,5%. Namun tetap saja, pertumbuhan ekonomi di level 6,5% terbilang tinggi, apalagi jika mengingat ada high-base effect lantaran perekonomian Vietnam sudah melesat pada tahun sebelumnya.

Untuk tahun 2020, perekonomian Vietnam kembali diproyeksikan tumbuh sebesar 6,5%.

Beralih ke Indonesia, laju perekonomian Tanah Air saat ini sedang lesu. Terlepas dari target ambisius yang dipatok Jokowi di level 7% pada masa kampanye untuk pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2014, nyatanya pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu berkutat di batas bawah 5%. Bahkan pada tahun 2015 atau tahun pertama di mana Jokowi menjabat penuh sebagai presiden, pertumbuhan ekonomi tergelincir ke bawah 5%.

Pada tahun 2018, IMF mencatat perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,17%. Pada tahun ini, pertumbuhan ekonomi diproyeksi naik tipis menjadi 5,24%, sebelum kemudian melandai menjadi 5,17% pada tahun 2020.

Ketidakmampuan Indonesia dalam menarik investasi asing ke sektor riil menjadi penyebab di balik lesunya laju perekonomian.

Kala Jokowi mengambilalih takhta kepemimpinan dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2014, penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau Domestic Direct Investment (DDI) tercatat melesat hingga 21,76% jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2013, melansir data dari BKPM. Pada tahun 2015, pertumbuhannya sempat melambat signifikan menjadi 14,93%.

Namun dalam 3 tahun berikutnya (2016-2018), pertumbuhan PMDN selalu bisa dipacu di atas 20%. Bahkan pada tahun 2018, pertumbuhannya tercatat mencapai 25,28%.

Pada kuartal I-2019, PMDN tercatat tumbuh sebesar 14,14% secara tahunan (year-on-year/YoY), cukup jauh di atas pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu (kuartal I-2018) yang sebesar 11,05%. Sementara untuk periode 3 bulan kedua tahun ini, realisasi PMDN tercatat melejit sebesar 18,61% YoY.

Namun bagi Indonesia, yang terpenting itu memang Penanaman Modal Asing (PMA) atau Foreign Direct Investment (FDI). Pasalnya, dari total penanaman modal di Tanah Air, lebih dari 50% disumbang oleh PMA. Karena nilainya lebih besar, tentu pertumbuhan PMA yang signifikan akan lebih terasa bagi perekonomian ketimbang pertumbuhan PMDN.

Celakanya, pertumbuhan PMA di era Jokowi sangatlah mengecewakan. Pada tahun 2014, PMA tercatat tumbuh 13,54% jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2013, masih melansir data dari BKPM. Pada tahun 2015, pertumbuhannya sempat naik menjadi 19,22%.

Dalam dua tahun berikutnya (2016-2017), PMA hanya tumbuh di kisaran satu digit. Pada tahun 2018, PMA bahkan tercatat ambruk hingga 8,8%.

Untuk periode kuartal I-2019, PMA kembali jatuh yakni sebesar 0,92% secara tahunan, jauh memburuk dibandingkan capaian periode kuartal I-2018 yakni pertumbuhan sebesar 12,27%. Barulah pada kuartal II-2019, PMA berhasil tumbuh yakni sebesar 9,61% YoY, menandai pertumbuhan pertama dalam lima kuartal.

Kini, bandingkan dengan Vietnam. Mengutip World Investment Report keluaran United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), sebenarnya secara nominal jumlah investasi asing yang masuk ke Indonesia lebih tinggi ketimbang Vietnam. Misalnya pada 2018, FDI yang masuk ke Indonesia adalah US$ 21,98 miliar, sementara Vietnam ‘hanya’ US$ 15,5 miliar.

Namun, dalam periode 2013-2018 realisasi FDI di Vietnam tumbuh 74,16%. Indonesia? Tumbuh sih, tetapi 16,79% saja.

Seperti yang sudah disebutkan di halaman pertama, tingkat pajak korporasi yang relatif tinggi menjadi faktor di balik keengganan investor asing untuk membangun pabrik di Indonesia (termasuk melakukan relokasi), selain juga masalah perizinan yang memakan waktu lama.

Melansir Trading Economics, tingkat pajak korporasi di Vietnam saat ini berada di level 20%, sementara yang dikenakan oleh pemerintah Indonesia kepada perusahaan adalah sebesar 25%.

Lebih lanjut, permasalahan logistik juga mengganjal investor asing kala ingin membangun pabrik di Indonesia. Untuk diketahui, kualitas logistik menjadi elemen krusial bagi calon pemodal lantaran kualitas logistik akan menentukan biaya dalam memproduksi barang hingga biaya distribusinya, yang pada akhirnya akan menentukan harga produk.

Kala kualitas logistik di suatu negara buruk, harga produk akan menjadi mahal yang pada akhirnya akan mengurangi daya saing dari produk itu sendiri.

Dalam Logistic Performance Report 2018 yang dipublikasikan oleh World Bank, Vietnam menempati peringkat 39 dari 160 negara, sementara Indonesia berada di peringkat 46. Padahal pada tahun 2007, peringkat logistik Vietnam masih nomor 53 sementara Indonesia di posisi 43.

Ini artinya, kualitas logistik di Indonesia malah relatif tertinggal jika dibandingkan dengan Vietnam.

BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Belum Masuk Indeks Saham Bergengsi

Kembali ke masalah seksinya pasar saham Vietnam, patut diingat bahwa sejauh ini saham-saham yang melantai di sana belum masuk ke indeks saham bergengsi dunia.

Berdasarkan penilaian tahunan yang dilakukan oleh FTSE Russell pada September 2018, saham-saham di Vietnam hanya masuk ke dalam FTSE Frontier Index Series atau yang bisa dikatakan indeks-indeks saham kelas bawah bentukan FTSE Russell. Negara-negara yang membentuk FTSE Frontier Index Series selain Vietnam di antaranya adalah Argentina, Bangladesh, Nigeria, dan Sri Lanka.

Namun, saham-saham di Vietnam sudah dimasukkan ke dalam watch list untuk masuk ke kelas “Secondary Emerging” atau setingkat di atas kelas “Frontier”. Kategori “Secondary Emerging” dihuni oleh saham-saham dari negara-negara dengan nilai perekonomian yang lebih besar seperti China, India, Filipina, Rusia, dan Indonesia. Kenaikan kelas dari saham-saham di Vietnam bisa terjadi pada bulan ini juga.

Melansir Forbes, Vietnam juga bisa diklasifikasikan sebagai “Emerging Market” pada tahun depan oleh Morgan Stanley Capital International (MSCI), atau setingkat dari levelnya saat ini yakni “Frontier Market”. Masih melansir Forbes, sejauh ini kekhawatiran dari MSCI sehingga belum menaikkan kelas Vietnam menjadi “Emerging Market” adalah terkait hal teknis dan bisa diselesaikan dengan perubahan di bidang regulasi.

Nah, jika kelas dari saham-saham di Vietnam benar dinaikkan oleh FTSE Russell dan MSCI, investor asing akan semakin tergiur untuk memburunya. Aliran modal investor asing akan mengalir semakin deras ke pasar saham Vietnam.

Saat ini, pasar saham Indonesia memang nilainya lebih besar dari Vietnam. Melansir data yang dipublikasikan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI), kapitalisasi pasar dari IHSG adalah senilai Rp 7.239 triliun, sementara kapitalisasi pasar VN-Index jika dirupiahkan adalah senilai Rp 1.997 triliun.

Namun, Indonesia harus berhati-hati. Pasalnya, kini Vietnam sudah menjelma menjadi salah satu destinasi utama bagi perusahaan-perusahaan untuk menawarkan sahamnya ke publik.

Untuk diketahui, dana raihan dalam Initial Public Offering (IPO) di Indonesia pada tahun lalu adalah senilai Rp 12,56 triliun, lebih kecil dibandingkan dengan dana raihan IPO di Vietnam yang mencapai US$ 2,6 miliar atau setara dengan Rp 37 triliun (asumsi kurs Rp 14.100/US$. Padahal, jumlah perusahaan yang melantai di Vietnam pada tahun lalu tercatat hanya sebanyak lima perusahaan, sementara di Indonesia ada 56.

Setelah tahun 2018, pasar saham Vietnam diprediksi akan semakin berkembang dengan potensi IPO dari beberapa BUMN dan akan memuncaki raihan dana IPO jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, melansir riset Baker McKenzie dan Oxford Economics. Bahkan, riset tersebut memprediksi Vietnam akan terus memimpin jumlah raihan dana IPO hingga tahun 2021.

Kekesalan Jokowi lantaran Indonesia kalah jauh dari Vietnam dalam urusan tarik-menarik dana investor asing ke sektor riil memang wajar. Diperlukan solusinya yang sifatnya segera untuk meningkatkan daya tarik Indonesia di mata pemodal asing.

Pasalnya, dari paparan kami sudah terbukti bahwa lemahnya fundamental perekonomian Tanah Air telah membuat pasar saham Indonesia menjadi kalah seksi jika dibandingkan dengan Vietnam.

Kalau hal ini dibiarkan berlarut-larut, perusahaan-perusahaan akan menjadi ‘malas’ untuk melantai di tanah air. Lebih lanjut, penerbitan obligasi bisa jadi juga akan banyak yang menjadi ditunda lantaran pelaku usaha khawatir bahwa harga lelang akan rendah.

Pada akhirnya, fundamental perekonomian Tanah Air lagi-lagi akan tersakiti.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular