Maaf Pak Jokowi, tapi Pasar Saham Vietnam juga Lebih Seksi!

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
09 September 2019 08:33
Fundamental Menjadi Kunci
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Kuatnya fundamental perekonomian Vietnam menjadi kunci utama di balik seksinya pasar saham Vietnam. Sepanjang semester-I 2019, perekonomian Vietnam tumbuh hingga 6,76% secara tahunan, melansir data yang disajikan Refinitiv, menjadikannya negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di antara negara-negara ASEAN 6 yang juga berisikan Indonesia.

Dalam periode yang sama, perekonomian Indonesia hanya bisa tumbuh sebesar 5,06%.
 

Untuk diketahui, International Monetary Fund (IMF) mencatat bahwa perekonomian Vietnam tumbuh sebesar 7,08% pada tahun 2018, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2007. 

Untuk tahun 2019, IMF memang memproyeksikan ada perlambatan ke level 6,5%. Namun tetap saja, pertumbuhan ekonomi di level 6,5% terbilang tinggi, apalagi jika mengingat ada high-base effect lantaran perekonomian Vietnam sudah melesat pada tahun sebelumnya.

Untuk tahun 2020, perekonomian Vietnam kembali diproyeksikan tumbuh sebesar 6,5%.

Beralih ke Indonesia, laju perekonomian Tanah Air saat ini sedang lesu. Terlepas dari target ambisius yang dipatok Jokowi di level 7% pada masa kampanye untuk pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2014, nyatanya pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu berkutat di batas bawah 5%. Bahkan pada tahun 2015 atau tahun pertama di mana Jokowi menjabat penuh sebagai presiden, pertumbuhan ekonomi tergelincir ke bawah 5%.

Pada tahun 2018, IMF mencatat perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,17%. Pada tahun ini, pertumbuhan ekonomi diproyeksi naik tipis menjadi 5,24%, sebelum kemudian melandai menjadi 5,17% pada tahun 2020.

Ketidakmampuan Indonesia dalam menarik investasi asing ke sektor riil menjadi penyebab di balik lesunya laju perekonomian.

Kala Jokowi mengambilalih takhta kepemimpinan dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2014, penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau Domestic Direct Investment (DDI) tercatat melesat hingga 21,76% jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2013, melansir data dari BKPM. Pada tahun 2015, pertumbuhannya sempat melambat signifikan menjadi 14,93%.

Namun dalam 3 tahun berikutnya (2016-2018), pertumbuhan PMDN selalu bisa dipacu di atas 20%. Bahkan pada tahun 2018, pertumbuhannya tercatat mencapai 25,28%.

Pada kuartal I-2019, PMDN tercatat tumbuh sebesar 14,14% secara tahunan (year-on-year/YoY), cukup jauh di atas pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu (kuartal I-2018) yang sebesar 11,05%. Sementara untuk periode 3 bulan kedua tahun ini, realisasi PMDN tercatat melejit sebesar 18,61% YoY.

Namun bagi Indonesia, yang terpenting itu memang Penanaman Modal Asing (PMA) atau Foreign Direct Investment (FDI). Pasalnya, dari total penanaman modal di Tanah Air, lebih dari 50% disumbang oleh PMA. Karena nilainya lebih besar, tentu pertumbuhan PMA yang signifikan akan lebih terasa bagi perekonomian ketimbang pertumbuhan PMDN.

Celakanya, pertumbuhan PMA di era Jokowi sangatlah mengecewakan. Pada tahun 2014, PMA tercatat tumbuh 13,54% jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2013, masih melansir data dari BKPM. Pada tahun 2015, pertumbuhannya sempat naik menjadi 19,22%.

Dalam dua tahun berikutnya (2016-2017), PMA hanya tumbuh di kisaran satu digit. Pada tahun 2018, PMA bahkan tercatat ambruk hingga 8,8%.

Untuk periode kuartal I-2019, PMA kembali jatuh yakni sebesar 0,92% secara tahunan, jauh memburuk dibandingkan capaian periode kuartal I-2018 yakni pertumbuhan sebesar 12,27%. Barulah pada kuartal II-2019, PMA berhasil tumbuh yakni sebesar 9,61% YoY, menandai pertumbuhan pertama dalam lima kuartal.

Kini, bandingkan dengan Vietnam. Mengutip World Investment Report keluaran United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), sebenarnya secara nominal jumlah investasi asing yang masuk ke Indonesia lebih tinggi ketimbang Vietnam. Misalnya pada 2018, FDI yang masuk ke Indonesia adalah US$ 21,98 miliar, sementara Vietnam ‘hanya’ US$ 15,5 miliar.

Namun, dalam periode 2013-2018 realisasi FDI di Vietnam tumbuh 74,16%. Indonesia? Tumbuh sih, tetapi 16,79% saja.

Seperti yang sudah disebutkan di halaman pertama, tingkat pajak korporasi yang relatif tinggi menjadi faktor di balik keengganan investor asing untuk membangun pabrik di Indonesia (termasuk melakukan relokasi), selain juga masalah perizinan yang memakan waktu lama.

Melansir Trading Economics, tingkat pajak korporasi di Vietnam saat ini berada di level 20%, sementara yang dikenakan oleh pemerintah Indonesia kepada perusahaan adalah sebesar 25%.

Lebih lanjut, permasalahan logistik juga mengganjal investor asing kala ingin membangun pabrik di Indonesia. Untuk diketahui, kualitas logistik menjadi elemen krusial bagi calon pemodal lantaran kualitas logistik akan menentukan biaya dalam memproduksi barang hingga biaya distribusinya, yang pada akhirnya akan menentukan harga produk.

Kala kualitas logistik di suatu negara buruk, harga produk akan menjadi mahal yang pada akhirnya akan mengurangi daya saing dari produk itu sendiri.

Dalam Logistic Performance Report 2018 yang dipublikasikan oleh World Bank, Vietnam menempati peringkat 39 dari 160 negara, sementara Indonesia berada di peringkat 46. Padahal pada tahun 2007, peringkat logistik Vietnam masih nomor 53 sementara Indonesia di posisi 43.

Ini artinya, kualitas logistik di Indonesia malah relatif tertinggal jika dibandingkan dengan Vietnam.

BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Belum Masuk Indeks Saham Bergengsi

(ank/tas)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular