Pasar saham tanah air mengawali perdagangan di bulan September dengan kurang mengenakan. Pada perdagangan pertama di bulan September yang jatuh hari Senin (2/9/2019), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) membukukan koreksi sebesar 0,6%. Pada perdagangan kemarin (3/9/2019), indeks saham acuan di Indonesia tersebut kembali membukukan koreksi, yakni sebesar 0,46%.
Di sisa bulan ini, pelaku pasar harus benar-benar berhati-hati. Pasalnya, ternyata September merupakan bulan yang kurang bersahabat bagi bursa saham AS alias Wall Street.
menghitung imbal hasil indeks S&P 500 secara bulanan dalam periode lima tahun terakhir (2014-2018). Hasilnya, secara rata-rata indeks S&P 500 membukukan koreksi secara bulanan pada bulan September.
Jika berbicara mengenai Wall Street, indeks yang paling tepat untuk digunakan memang adalah indeks S&P 500 dan bukan dua indeks lainnya yakni Dow Jones dan Nasdaq Composite. Pasalnya, indeks S&P 500 memiliki jumlah emiten terbanyak, berikut juga kapitalisasi pasarnya merupakan yang terbesar jika dibandingkan dengan dua indeks lainnya.
Secara rata-rata dalam lima tahun terakhir, indeks S&P 500 membukukan koreksi sebesar 0,39% pada bulan September. Sejatinya, hanya ada tiga bulan di mana indeks S&P 500 membukukan rata-rata imbal hasil negatif secara bulanan, yakni Januari, September, dan Desember.
Bahkan kalau ditarik lebih jauh, performa indeks S&P 500 pada bulan September lebih mengecewakan lagi. LPL Financial mencatat, jika dihitung sejak tahun 1950, bulan September merupakan bulan terburuk bagi indeks S&P 500.
"Sejak 1950, September telah menjadi bulan terburuk bagi indeks S&P 500, di mana indeks S&P 500 membukukan rata-rata penurunan sebesar 0,5% pada bulan September," tulis Ryan Detrick selaku Senior Market Strategist di LPL Financial dalam risetnya tertanggal 30 Agustus 2019, dilansir dari Bloomberg.
Lantas, bagaimana dengan bulan September tahun ini? Agaknya, catatan buruk yang dimiliki oleh indeks S&P 500 pada bulan September akan kembali terulang pada bulan September tahun ini.
Pada perdagangan kemarin, indeks S&P 500 melemah sebesar 0,69%. Untuk diketahui, pada hari Senin perdagangan di bursa saham AS diliburkan seiring dengan peringatan Hari Buruh. Lantas, perdagangan kemarin menjadi perdagangan pertama di bulan September bagi Wall Street.
Ada sejumlah faktor yang berpotensi membuat Wall Street melemah di sepanjang bulan ini. Pertama, perang dagang AS-China yang kian hari kian membuat gemetar.
Seperti yang diketahui, pada tanggal 1 September waktu setempat AS resmi memberlakukan bea masuk baru sebesar 15% yang menyasar produk impor asal China senilai US$ 112 miliar. Pakaian, sepatu, hingga kamera menjadi bagian dari daftar produk yang diincar AS pada kesempatan ini.
Di sisi lain, aksi balasan dari China berlaku selepas AS bersikeras menerapkan bea masuk baru terhadap Beijing. China mengenakan bea masuk baru yang berkisar antara 5-10% bagi sebagian produk yang masuk dalam daftar target senilai US$ 75 miliar. Daging babi, daging sapi, dan berbagai produk pertanian lainnya tercatat masuk dalam daftar barang yang menjadi lebih mahal per tanggal 1 September kemarin.
Untuk diketahui, AS masih akan mengenakan bea masuk baru terhadap berbagai produk impor China lainnya pada tanggal 15 Desember. Jika ditotal, nilai barang yang terdampak dari kebijakan AS pada hari ini dan tanggal 15 Desember nanti adalah US$ 300 miliar, dilansir dari CNBC International.
Sementara itu, sisa barang dalam daftar target senilai US$ 75 miliar yang hingga kini belum dikenakan bea masuk baru oleh China, akan mulai terdampak pada tanggal 15 Desember.
Perkembangan terbaru, menurut sumber-sumber yang mengetahui masalah tersebut, pejabat pemerintahan AS dan China kini sedang kesulitan untuk menyetujui gelaran negosiasi dagang secara tatap muka antar delegasi kedua negara yang rencananya akan digelar pada bulan ini, melansir Bloomberg.
Penyebabnya, AS menolak permintaan dari Beijing untuk menunda pengenaan bea masuk baru bagi produk impor asal China yang dimulai pada akhir pekan kemarin.
Padahal, sebelumya Presiden AS Donald Trump mengungkapkan bahwa negosiasi dagang masih terjadwal, sembari mengindikasikan bahwa kedua negara berada di jalur yang tepat untuk menggelar pertemuan tatap muka yang sangat dinantikan oleh pelaku pasar tersebut.
“Kami berbicara dengan China, pertemuan (tatap muka) masih terjadwal seperti yang kalian ketahui, di bulan September. Itu belumlah berubah – mereka belum mengubahnya, kami juga belum. Kita lihat saja apa yang akan terjadi,” kata presiden AS ke-45 tersebut pada akhir pekan kemarin, dilansir dari Bloomberg.
Ada potensi yang sangat besar bahwa perang dagang AS-China akan kembali tereskalasi dalam waktu dekat dan membawa perekonomian keduanya mengalami hard landing alias perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Untuk diketahui, pada tahun 2018, International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.
Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.
Sementara untuk China, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 diproyeksikan melandai ke level 6,2%, dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Pada tahun depan, pertumbuhannya kembali diproyeksikan melandai menjadi 6%.
Tanda-tanda bahwa perekonomian AS akan mengalami hard landing kemarin kembali terlihat. Manufacturing PMI periode Agustus 2019 versi Institute for Supply Management (ISM) diumumkan di level 49,1, menandai kontraksi aktivitas manufaktur pertama di AS sejak tahun 2016.
Kala dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia mengalami yang namanya hard landing, maka perekonomian dunia dipastikan akan mengalami tekanan yang signifikan juga.
Pada akhirnya, instrumen yang relatif berisiko seperti saham akan ditinggalkan pelaku pasar.
BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Bukan Cuma Perang Dagang, Brexit Juga Bikin Gemetar
Bukan cuma perang dagang AS-China, proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa alias Brexit juga membuat gemetar. Beberapa waktu yang lalu, Ratu Elizabeth memberikan restunya kepada Perdana Menteri Inggris Boris Johnson untuk menskors parlemen Inggris.
Sejatinya, parlemen Inggris akan kembali dari masa reses dan mulai beraktivitas pada pekan ini hingga tanggal 9 September, sebelum kemudian menikmati masa reses lagi selama tiga minggu. Kini, kebijakan dari Johnson untuk menskors parlemen akan memperpanjang masa reses menjadi lima minggu. Parlemen akan kembali dibuka pada tanggal 14 Oktober.
Langkah Johnson ini dipandang sebagai taktik untuk mencegah para anggota parlemen Inggris yang berambisi untuk mematikan opsi perceraian Inggris dengan Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun (No-Deal Brexit). Sebelumnya, Johnson memang sudah berjanji untuk membawa Inggris keluar dari Uni Eropa selambat-lambatnya pada 31 Oktober, baik dengan atau tanpa kesepakatan.
Sebelum Johnson memutuskan untuk menskors parlemen, anggota parlemen dari partai oposisi sudah memberi sinyal bahwa mereka akan bersatu dalam membuat sebuah hukum yang akan memblokir Johnson dari mengeksekusi No-Deal Brexit.
Ingat, tanggal perceraian Inggris dengan Uni Eropa adalah 31 Oktober sehingga diberikannya masa reses yang lebih panjang oleh Johnson akan menyulitkan parlemen untuk menggolkan hukum yang bisa mencegah No-Deal Brexit.
Bank of England yang merupakan bank sentral Inggris telah memperingatkan bahwa No-Deal Brexit bisa mendorong Inggris jatuh ke jurang resesi.
Perkembangan teranyar, kemarin parlemen Inggris berhasil mengambil alih agenda parlemen dari tangan Johnson, sebuah upaya nyata untuk kemudian mencoba menggolkan hukum yang akan memblok No-Deal Brexit.
Merespons hal tersebut, Johnson kembali bermanuver dengan menyatakan bahwa dirinya akan mengadakan pemilu sela. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengubah komposisi parlemen agar diisi lebih banyak pendukungnya. Strategi ini bisa berhasil jika mengingat masyarakat Inggris sepertinya sudah lelah dengan tarik-ulur masalah Brexit, sehingga Johnson dan Partai Konservatif pimpinannya bisa memenangi pemilu dan memperbanyak kursi di parlemen.
BERLANJUT KE HALAMAN 4 -> Akankah The Fed Kecewakan Pelaku Pasar?
Sentimen terakhir yang bisa menekan kinerja Wall Street pada bulan ini adalah hasil pertemuan The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS. Pada tanggal 17-18 September mendatang, The Fed akan menggelar pertemuan guna menentukan tingkat suku bunga acuan terbarunya. Hasil dari pertemuan tersebut akan diumumkan pada tanggal 19 September waktu Indonesia.
Saat ini, pelaku pasar begitu yakin bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan dalam pertemuannya bulan ini, minimal sebesar 25 basis poin (bps). Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 3 September 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada pertemuan bulan ini berada di level 97,3%. Sementara itu, probabilitas tingkat suku bunga acuan dipangkas sebesar 50 bps berada di level 2,7%.
Walaupun pelaku pasar sudah 100% yakni bahwa akan ada pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada bulan ini, ada baiknya pelaku pasar tetap berhati-hati. Pasalnya, sejauh ini belum ada sinyal yang kuat dari The Fed terkait dengan pemangkasan tingkat suku bunga acuan di bulan ini.
Berbicara dalam simposium tahunan bank sentral belum lama ini di Jackson Hole, Wyoming, sejatinya Gubernur The Fed Jerome Powell sempat mengeluarkan pernyataan bernada dovish yang menyejukkan hati pelaku pasar. Dirinya menyebut bahwa The Fed akan melakukan apa yang mereka bisa untuk mempertahankan ekspansi ekonomi yang saat ini tengah dirasakan di AS.
"Tantangan bagi kita sekarang (The Fed) adalah untuk mengeksekusi kebijakan moneter yang bisa mempertahankan ekspansi (ekonomi) sehingga manfaat dari kuatnya pasar tenaga kerja bisa dirasakan oleh mereka yang belum merasakannya, dan sehingga tingkat inflasi bergerak dengan stabil di kisaran dua persen," kata Powell, dilansir dari CNBC International.
Namun kemudian, nada hawkish keluar dari mulut Powell. Dirinya menyebut bahwa setelah perkembangan yang ditempuh dalam satu dekade terakhir menuju tingkat penyerapan tenaga kerja yang maksimum dan stabilitas harga, "perekonomian AS saat ini sudah mendekati kedua target tersebut", mengindikasikan bahwa The Fed tak akan kelewat agresif dalam memangkas tingkat suku bunga acuan di masa depan.
Kalau sampai tak ada pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada bulan ini, kekhawatiran bahwa perekonomian AS akan mengalami hard landing bisa kembali membuncah, yang pada akhirnya akan menekan kinerja Wall Street.
Mengingat Wall Street merupakan kiblat pasar keuangan dunia, tentu lesunya kinerja Wall Street akan menjadi momok bagi bursa saham Indonesia. Waspadalah!
TIM RISET CNBC INDONESIA