AS-China Boleh Panas, Rupiah Tetap Terbaik Ketiga di Asia

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
02 September 2019 18:12
AS-China Boleh Panas, Rupiah Tetap Terbaik Ketiga di Asia
Foto: Muhammad Luthfi Rahman
Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang rupiah melemah tipis melawan dolar Amerika Serikat pada perdagangan Senin (2/9/19). Sejak awal perdagangan mata uang Garuda tidak banyak bergerak, dibuka di level 14.181/US$ nyaris stagnan dibandingkan dengan penutupan perdagangan Jumat (30/8/19).

Dalam perjalanannya, data perdagangan mencatat, rupiah kemudian melemah ke level 14.198/US$, hingga mengakhiri perdagangan di level 14.190/US$ atau melemah 0,07%.

Hanya di rentang itu saja rupiah bergerak hari ini, padahal sentimen pelaku pasar sedang tidak bagus akibat babak baru perang dagang AS dengan China resmi dimulai.


Performa rupiah pada hari ini membawanya menduduki peringkat ketiga di Asia, hanya kalah dari dolar Hong Kong, dan yen Jepang yang menguat masing-masing 0,03% dan 0,01% pada pukul 16:00 WIB.



Sementara mata uang lainnya melemah cukup besar, rupee India memimpin pelemahan sebesar 0,7% disusul dengan mata uang tetangga yakni ringgit Malaysia dan dolar Singapura yang masing-masing melemah sebesar 0,28%.

Berikut perkembangan dolar AS melawan mata uang utama Asia sore ini.



Melihat pergerakan dolar AS di Asia, bisa dikatakan performa rupiah cukup bagus pada hari ini. Rupiah cukup terbantu data inflasi dari dalam negeri yang stabil.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Babak baru perang dagang antara AS dengan China yang resmi dimulai 1 September kemarin memberikan sentimen negatif bagi rupiah. 

AS mulai mengenakan bea masuk 15% untuk importasi produk asal China senilai US$ 125 miliar di antaranya smartwatch, televisi layar datar, dan alas kaki. Sebelumnya, total produk China yang sudah terkena bea masuk di AS mencapai US$ 250 juta. 

Sementara China mengenakan bea masuk 5-10% untuk importasi produk made in the USA senilai US$ 75 miliar. Bea masuk baru ini mencakup 1.717 produk, termasuk minyak mentah. Ini adalah kali pertama minyak asal AS dibebani bea masuk di China. 

Meski kedua negara resmi mengenakan tarif baru, tapi perundingan dagang tetap akan berlangsung. Hal tersebut ditegaskan Presiden AS Donald Trump yang mengatakan China dan AS memang masih akan melanjutkan dialog di bulan September, tetapi penambahan tarif pada produk Negeri Tirai Bambu tetap berlaku, dikutip dari Reuters.


Belum jelas kapan perundingan dagang AS-China akan kembali berlangsung, tapi yang pasti tarif impor baru yang diterapkan kedua negara mengancam perekonomian global akan semakin melambat.

Efek dari perang dagang sebelumnya sudah memberikan dampak pelambatan ekonomi yang signifikan, apalagi dengan adanya tarif baru ini, kondisi ekonomi global bisa saja semakin memburuk. 

Untuk diketahui, pada tahun 2018, International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.

Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.

Sementara untuk China, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 diproyeksikan melandai ke level 6,2%, dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Pada tahun depan, pertumbuhannya kembali diproyeksikan melandai menjadi 6%.


Dua negara tersebut merupakan raksasa ekonomi dunia, lalu lintas arus barang menjadi tersendat akibat perang dagang AS-China yang membuat ekonominya melambat, dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi global. 

Sentimen negatif tersebut sebenarnya bisa saja menekan rupiah cukup dalam, tetapi nyatanya rupiah tetap mampu bertahan di bawah 14.200/US$.

Dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Agustus 2019.



Kepala BPS Suhariyanto mengungkapkan terjadi inflasi pada Agustus 2019 ini hingga 0,12% secara bulanan.

"Harga komoditas di Agustus ini cenderung ada kenaikan. Agustus 2019 ini terjadi inflasi 0,12% (on month)," kata Suhariyanto di Gedung BPS, Senin (2/9/2019). Sementara secara year-on-year (tahunan) inflasi berada pada 3,49%. 

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi bulanan (month-on-month/MoM) berada di 0,16%. Sementara inflasi tahunan (year-on-year/YoY) diperkirakan sebesar 3,54% dan inflasi inti tahunan adalah 3,18%.

Stabilnya inflasi tentunya menjadi kabar bagus bagi rupiah. Bank Indonesia (BI) memiliki ruang untuk kembali menurunkan suku bunga di masa yang akan datang, sehingga laju perekonomian bisa dipercepat lagi. 

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/tas) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular