
Duet Perang Dagang & Lemahnya Inflasi Bikin IHSG Terkapar
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
02 September 2019 17:07

Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan pertama di pekan ini dengan penguatan tipis sebesar 0,04% ke level 6.331,15, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dengan cepat berbalik arah ke zona merah dan tak pernah lagi merasakan manisnya zona hijau.
Per akhir sesi dua, Senin ini (2/9/2019) indeks saham acuan di Indonesia tersebut terkoreksi sebesar 0,6% ke level 6.290,55.
IHSG harus rela melihat rantai apresiasi yang sudah dibukukan selama empat hari beruntun terputus pada hari ini.
Data perdagangan mencatat, kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei jatuh 0,41%, indeks Hang Seng melemah 0,38%, dan indeks Straits Times turun 0,86%. Sementara itu, indeks Shanghai melejit 1,31% dan indeks Kospi menguat 0,07%.
Tereskalasinya perang dagang AS-China menjadi sentimen negatif yang membayangi perdagangan di bursa saham Benua Kuning pada hari ini.
Kemarin (1/9/2019), AS resmi memberlakukan bea masuk baru sebesar 15% yang menyasar produk impor asal China senilai US$ 112 miliar. Pakaian, sepatu, hingga kamera menjadi bagian dari daftar produk yang diincar AS pada kesempatan ini.
Di sisi lain, aksi balasan dari China berlaku selepas AS bersikeras menerapkan bea masuk baru terhadap Beijing. China mengenakan bea masuk baru yang berkisar antara 5-10% bagi sebagian produk yang masuk dalam daftar target senilai US$ 75 miliar. Daging babi, daging sapi, dan berbagai produk pertanian lainnya tercatat masuk dalam daftar barang yang menjadi lebih mahal per tanggal 1 September kemarin.
Untuk diketahui, AS masih akan mengenakan bea masuk baru terhadap berbagai produk impor China lainnya pada tanggal 15 Desember. Jika ditotal, nilai barang yang terdampak dari kebijakan AS pada hari ini dan tanggal 15 Desember nanti adalah US$ 300 miliar, dilansir dari CNBC International.
Sementara itu, sisa barang dalam daftar target senilai US$ 75 miliar yang hingga kini belum dikenakan bea masuk baru oleh China, akan mulai terdampak pada tanggal 15 Desember.
Dengan eskalasi lebih lanjut terkait perang dagang kedua negara yang sudah resmi terjadi, dikhawatirkan keduanya akan semakin jauh dari yang namanya kesepakatan dagang. Pada akhirnya, kedua negara bisa mengalami yang namanya hard landing.
Untuk diketahui, pada tahun 2018, International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.
Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.
Sementara untuk China, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 diproyeksikan melandai ke level 6,2%, dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Pada tahun depan, pertumbuhannya kembali diproyeksikan melandai menjadi 6%.
Kala dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi mengalami yang namanya hard landing, pastilah laju perekonomian dunia akan ikut mendapatkan tekanan yang signifikan.
Di sisi lain, sentimen positif bagi bursa saham Benua Kuning datang dari rilis data ekonomi China yang menggembirakan. Pada hari ini, Manufacturing PMI China periode Agustus 2019 versi Caixin diumumkan di level 50,4, lebih baik dari konsensus yang memperkirakannya di level 49,8, seperti dilansir dari Trading Economics.
Sebagai informasi, angka di atas 50 berarti aktivitas manufaktur membukukan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi.
Pada dua bulan sebelumnya (Juni dan Juli), aktivitas manufaktur China tercatat selalu membukukan kontraksi. Alhasil, ekspansi yang dicatatkan pada bulan Agustus sukses mendorong pelaku pasar untuk melakukan aksi beli dengan intensitas yang besar di bursa saham China, walaupun di sisi lain hal tersebut gagal mengerek kinerja bursa saham Benua Kuning secara keseluruhan.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 ->
Per akhir sesi dua, Senin ini (2/9/2019) indeks saham acuan di Indonesia tersebut terkoreksi sebesar 0,6% ke level 6.290,55.
IHSG harus rela melihat rantai apresiasi yang sudah dibukukan selama empat hari beruntun terputus pada hari ini.
Tereskalasinya perang dagang AS-China menjadi sentimen negatif yang membayangi perdagangan di bursa saham Benua Kuning pada hari ini.
Kemarin (1/9/2019), AS resmi memberlakukan bea masuk baru sebesar 15% yang menyasar produk impor asal China senilai US$ 112 miliar. Pakaian, sepatu, hingga kamera menjadi bagian dari daftar produk yang diincar AS pada kesempatan ini.
Di sisi lain, aksi balasan dari China berlaku selepas AS bersikeras menerapkan bea masuk baru terhadap Beijing. China mengenakan bea masuk baru yang berkisar antara 5-10% bagi sebagian produk yang masuk dalam daftar target senilai US$ 75 miliar. Daging babi, daging sapi, dan berbagai produk pertanian lainnya tercatat masuk dalam daftar barang yang menjadi lebih mahal per tanggal 1 September kemarin.
Untuk diketahui, AS masih akan mengenakan bea masuk baru terhadap berbagai produk impor China lainnya pada tanggal 15 Desember. Jika ditotal, nilai barang yang terdampak dari kebijakan AS pada hari ini dan tanggal 15 Desember nanti adalah US$ 300 miliar, dilansir dari CNBC International.
Sementara itu, sisa barang dalam daftar target senilai US$ 75 miliar yang hingga kini belum dikenakan bea masuk baru oleh China, akan mulai terdampak pada tanggal 15 Desember.
Dengan eskalasi lebih lanjut terkait perang dagang kedua negara yang sudah resmi terjadi, dikhawatirkan keduanya akan semakin jauh dari yang namanya kesepakatan dagang. Pada akhirnya, kedua negara bisa mengalami yang namanya hard landing.
Untuk diketahui, pada tahun 2018, International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.
Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.
Sementara untuk China, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 diproyeksikan melandai ke level 6,2%, dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Pada tahun depan, pertumbuhannya kembali diproyeksikan melandai menjadi 6%.
Kala dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi mengalami yang namanya hard landing, pastilah laju perekonomian dunia akan ikut mendapatkan tekanan yang signifikan.
Di sisi lain, sentimen positif bagi bursa saham Benua Kuning datang dari rilis data ekonomi China yang menggembirakan. Pada hari ini, Manufacturing PMI China periode Agustus 2019 versi Caixin diumumkan di level 50,4, lebih baik dari konsensus yang memperkirakannya di level 49,8, seperti dilansir dari Trading Economics.
Sebagai informasi, angka di atas 50 berarti aktivitas manufaktur membukukan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi.
Pada dua bulan sebelumnya (Juni dan Juli), aktivitas manufaktur China tercatat selalu membukukan kontraksi. Alhasil, ekspansi yang dicatatkan pada bulan Agustus sukses mendorong pelaku pasar untuk melakukan aksi beli dengan intensitas yang besar di bursa saham China, walaupun di sisi lain hal tersebut gagal mengerek kinerja bursa saham Benua Kuning secara keseluruhan.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 ->
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular